Lelaki Berpayung Kabut
Terkadang
kematian lebih mempesona daripada menakutkan. Ia bagaikan hujan yang dinantikan
petani di musim kemarau nan gersang untuk segera bertanam dan bagaikan
pembebasan bagi orang – orang yang tertawan hatinya. Ia kemilau termegah dari
segala kemilau yang ada di dunia ini, sehingga ia begitu menggiurkan untuk
dicumbui bagi mereka yang menghendaki keabadian, pun juga bagi mereka yang
bosan dengan dunia dan berputus asa.
Sebentar
lagi surya segera berlabuh dalam peraduan senja jingga. Dan malam menanti untuk
menampakan diri dalam keperkasaannya gelap menyelubung. Tiada jiwa manapun yang
mampu melawan geliat malam yang perkasa, pun tiada guna menyangkal diri sebab
malam akan menguak dan menelanjangi segala pedalaman jiwa. Malam pun tiba
menggelayut bersama kabut dalam keremangan menyentuh relung jiwa.
Lelaki
paruh baya itu, berdiri tercenung seakan sedang meratapi nasib hidupnya yang
menyakitkan. Layaknya pohon jati yang meranggas di musim kemarau, ia merasakan
kedinginan jiwanya yang telah mengerak di palungnya. “masihkah ada harapan itu
bagiku?”, gumamnya membatin dan meratap.
Sesekali
ia mendongak ke atas awan yang berkabut. Hanya gambaran buram yang terbentang
di hadapanya, sesuai dengan nasib yang ia alami. Sedih, pilu dan sesal
bercampur menjadi sebuah batu yang menggumpal di tenggorokannya lalu turun
mengendap di dalam dada, sehingga tiada lagi mampu berkata dan hanya
mencucurkan air mata. “Biarlah kiranya malam meredakan segala risau yang
menjadi ini bersama dengan segala kemauannya”, batinya pasrah menahan kesesakan
batin tiada terkira.
Angin
berhembus bersama balutan kabut malam nan dingin, ia berjalan ke dalam hutan
dan besembunyi dalam keremangan, seakan tiada mampu menjalani lagi kenyataan
hidupnya yang memilukan itu. Ia menyusuri lorong gelap masa lalunya yang kelam
dan kini menyisakan penyesalan yang tiada terperikan. Cahya rembulan tiada
mampu meyibak bayangannya dalam kegelapan itu, dan tak tahu apa yang ia lakukan
dan terjadi di sana. Semua begitu sunyi. Hanya gemericik air yang mengalun –
alun, menyanyikan lagu – lagu pujian kepada malam yang gelap, dingin dan berkabut itu. Ia hilang
dalam keremangan dan tiada satu pun pernah mengetahui dimana rimbanya.
Segagah
apa pun malam menancapkan keperkasaan gelapnya, rembulan pancaran dewi kelemah
– lembutan akan meruntuhkannya. Terang
akan senantiasa mengalahkan gelap walau hanya setitik. Ia akan menyingkap
segala gelap bahkan yang paling pekat dengan pancaran sinar kasihnya nan lembut
menyapa. Perlahan ia mulai memberi terang alam di bawahnya dan memberikan
terang pengharapan pada jiwa – jiwa yang dirundung kegelapan dosa. Tak ayal
keremangan itu pun menyibak keberadaan lelaki paruh baya yang terkoyak itu di
tepi danau di dalam hutan tak bernama.
ia
sedang mengiba kepada malam, tertelungkup kepada tanah di tepian danau itu dan
mengharap belas kasihan atas nasib. Ia sedang memohon indulgensi dan
pengampunan atas dosa – dosa di masa lalunya. “Oh malam nan agung, jangan
biarkan jiwa malang ini tenggelam dalam kegelapanmu nan agung. Percikanlah
setitik cahya terangmu untuk menembusi segala relung gelap jiwaku yang terbekap
oleh penyesalan ini!”, katanya di tengah kesunyian rimba sambil terus telungkup
dan bercuruan air mata. Malam pun tiada
bergeming menanggapi jiwa yang meronta tiada henti itu hingga malam semakin
larut. Tiada jawaban atas segala kegundahan itu. Dan malam masih bersembunyi
dalam ribaanya yang perkasa dalam keremangan.
“Sungguh
aku telah menyesal atas semua yang kulakukan pada masa itu. Aku telah salah
meninggalkan istri dan anak – anaku tanpa peduli lagi pada mereka!”, rintihnya
pilu.
“aku
telah salah menelantarkan jiwa – jiwa yang tiada berdosa itu! Aku telah berdosa
!”, pekiknya miris dan malam masih tetap
membisu.
Semakin
meronta, semakin malam menancapkan perih pada rasa sesal yang menggumpal di
dalam jiwanya itu. Dan itu semua sungguh tak tertahankan lagi bagi jiwa si
lelaki paruh baya itu.
Sejenak
lelaki itu mulai memberanikan diri menatap malam yang tiada bersahabat baginya
itu. Ia berdiri memanggul segala beban sesal yang memilukan itu. Langkahnya
terhuyung – huyung mendekati tepian danau di tengah rimba itu, lalu rubuh
kembali dalam simpuh layu.
Lelaki
paruh baya itu menyemburatkan tatapan kosong, menembusi genangan air danau nan
tenang. Lentera jiwanya semakin meredup menembusi pandangan pada air danau itu,
yang semakin lama, semakin jelas ia melihat seraut gambaran masa lalunya yang
menyedihkan. Dalam cerminan itulah ia semakin jelas menjelajah masa lalunya,
menghadirkan kembali ingatan akan peristiwa demi peristiwa bagaimana ia telah
salah mengambil keputusan untuk meninggalkan istri dan anak – anaknya yang
tiada berdosa itu, dan lalu pergi bersama semilir angin kefasikan yang
memabukan.
Ia
semakin hanyut dalam pusaran masa lalunya itu dan tiada lagi tahu apa yang
harus ia perbuat sekarang. Hanya menunggu pengadilan nasib sajalah kiranya
harapnya. Dan kematian merupakan hal yang sungguh ia rindukan untuk mengkahiri
segala perih jiwa yang tiada termaafkan itu. Namun demikianlah hidup, apa yang
terjadi tidak selalu seperti yang kita harapkan. Kepasrahan atas hidup hanya berlaku bagi
orang – orang yang seharusnya tidak berhak untuk dilahirkan, sebab hidup
membutuhkan keberanian untuk menjawab segala tanda tanya.
Gelap
sudah semua itu, dan lelaki paruh baya itu tenggelam bersama segala rasa sesal
masa lalu dan bermaksud pula menenggelamkan dirinya ke dalam pusaranya hingga
tiada berbekas dalam kesunyian malam. Namun tiba – tiba angin berhembus semakin
kencang hingga air danau menjadi beriak – riak terhempas angin yang dingin dan
membawa debu – debu kehampaan. Lelaki paruh baya itu pun rebah tak kuasa
menahan terpaan badai malam dan telungkup merunduk rendah kepadanya.
Setelah
beberapa saat berlalu, badai pun reda. Tetapi lelaki paruh baya itu tetap rebah
meniduri tanah dan terpejam. Ia melayang dalam mimpi yang melelapkan tidurnya
dan seakan tak ingin kembali lagi ke alam nyata. Entah sampai kapan ia akan terbangun
lagi. Dan angin masih saja berdesis menyanyikan nyanyian pilu penyesalan lelaki
paruh baya itu yang tak pernah diketahui ribaannya. Hanya malam yang akan meyimpan
segala rahasianya dalam keremangan dan kebisuan.
FX. Hengki Parahate
No comments:
Post a Comment