Mahasiswa dan Perubahan Sosial
Sedih
rasanya akhir-akhir ini bila kita melihat aksi-aksi demontrasi yang dilakukan
oleh mahasiswa di beberapa wilayah di Indonesia, yang selalu berkahir ricuh
bahkan bersifat destruktif terhadap fasillitas umum. Kesedihan ini muncul
karena menyayangkan tindakan para mahaiswa sebagai kaum intelektual tapi telah
menunjukan perilaku yang jauh dari kesan intelektual.
Persoalanya
adalah bukan ketidaksetujuan pada aksi-aksi demontrasi yang dilakukan oleh para
mahasiswa dalam menolak kebijakan publik yang cenderung tidak berpihak pada
rakyat, akan tetapi ketidaksetujuan itu muncul untuk menolak gerakan demontrasi
yang bersifat destruktif. Maka perlu dipahami bahwa kebebasan dalam
berdemokrasi dewasa ini, bukan pengaktrualisasian kebebasan tanpa memperhatikan ketertiban
umum. Ini menjadi penting untuk kita, guna menunjukan bahwa demokrasi pada
dasarnya bukanlah kebebasan individu/kelompok tertentu yang dilindungi
melainkan kepentingan rakyat banyak. Banyak dari kita
baik sebagai politisi, pejabat pemerintahan, dan mahasiswa yang kadang salah
kaprah dalam menafsirkan demokrasi dewasa ini.
Namun
demikian, masih beryukur rasanya bagi kita dengan adanya aksi-aksi yang
dilakukan oleh mahasiswa dalam menolak dan mengkritisi kebijakan publik yang
tidak merakyat tersebut. Dengan hal itu setidaknya masih menunjukan kepada kita
akan harapan di masa depan untuk bisa dikelola oleh mereka yang memang peduli
dan memahami persolaan bangsa, yaitu kepada mahasiswa. Ditengah hegemoni globalisasi masih ada sebagian anak
muda yang adalah mahasiswa masih memiliki kesadaran untuk berfikir dan
mengkritisi situasi negaranya. Paling tidak agen perubahan yang tersemat dalam
identitas intelektual mahasiswa bukan sebagai isapan jempol belaka di masa
sekarang ini.
Dalam
perjalanan sejarah panjang bangsa ini, mahasiswa memiliki peran strategis dalam
menentukan arah perubahan bangsa dan negara dalam kapasitasnya sebagai golongan
intelektual. Munculnya organisasi – oraganisasi pergerakan nasional seperti Boedi
Utomo, Perhimpunan Indonesia dan sebagainya merupakan manifestasi kaum
intelektual pertama pribumi seperti Soekarno, Moh. Hatta, dr. Soetomo, Sutan
Syahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Tergulingnya rezim demokrasi terpimpin Sokearno pada akhir tahun 1965 hingga
rezim orde baru pada akhir 1998, merupakan bukti nyata peran kaum intelktual
(mahasiswa) dalam membawa angin perubahan nasional. Dengan demikian semakin
kita sadari betapa penting peran kaum intelektual dalam pembangunan bangsa saat
ini dan di masa yang akan datang.
Reorientasi Kaum Intelektual
Melihat
perkembangan pembangunan dewasa ini, paling tidak setelah 15 tahun reformasi
kondisi kehidupan bangsa ini belum juga sejahtera. Patut dipahami bahwa
pembangunan tidak sebatas pada pencapaian kestabilan ekonomi secara statistik,
akan tetapi lebih luas mencakup sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam segala
hal, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Fakta dilapangan
menunjukan bahwa, kemiskinan, kriminalistas, kekerasan sosial, korupsi para
pejabat publik masih masih tumbuh subur di bumi Indonesia kita tercinta ini.
Dalam kondisi demikianlah peran kaum intelektual (mahasiswa) yang adalah kaum
terdidik itu sendiri seharusnya menggenapi keterpanggilan sebagai agen perubahan,
tentunya dengan tata cara yang santun.
Ditengah
gerusan budaya hedon dan materialistik dalam segala sendi kehidupan termasuk
dalam pendidikan dewasa ini, hendaknya mahasiswa tidak terjerumus didalam
pusaran tersebut. Maka hendaknya kampus
dapat dijadikan sebagai ruang ideologisasi kebangsaan, bukan hanya sekedar
‘bank’ pengetahuan. Kampus merupakan ruang radikalisasi kaum intelektual dalam
mengoperasionalisasikan segala macam teori yang diterima oleh mahasiswa dalam
mengkritisi persoalan kebangsaan yang ada. Ini yang dinamakan dengan kaum
intelektual (mahasiswa) organik yang bersifat elastis terhadap situasi sosial
yang berkembang, bukan kaum intelektual (mahasiswa) robot atau dalam bahasa
gaul hari ini disebut mahasiwa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang).
Pendidikan
merupakan gerakan humanisasi, maka kesadaran akan panggilan kemanusiaan dalam
agen perubahan bagi setiap mahasiswa bagi setiap kaum intelektual adalah sebuah
keniscayaan. Menurut Pramoedya Ananta Toer, setiap kaum terpelajara harus bersikap
adil sejak mulai dalam pikiran, apalagi dalam sikap praksisnya. Maka sebagai
mahasiswa, sebagai golongan terdidi, golongan terpelajar dari golongan
masyarakat kita yang masih belum terdidik, menjadi tanggung jawab kita bersama
sebagai kaum terdidik untuk memimpin mereka menuju masa kebahagiaan bagi
manusia Indonesia sekarang dan di masa yang akan datang. Inilah tugas mulia
kita sebagai mahasiswa. Viva Mahasiswa Indonesia.
FX. Hengki Parahate
Ngaglik, Jogjakarta, Mei 2013
No comments:
Post a Comment