Showing posts with label Artikel Opini. Show all posts
Showing posts with label Artikel Opini. Show all posts

Tuesday, 20 December 2016

Pendidikan dan Korupsi

Pendidikan dan Korupsi
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukan pendidikan sama sekali” Aristoteles, Filsuf Yunani.
Sumber Gambar :https://www.flickr.com/photos/87913776@N00/4363265760

Dalam kepustakaan pendidikan, A. Coleman menyatakan bahwa fungsi pendidikan sebagai sarana pengembangan dan pertumbuhan ekonomi, sarana sosialisai nilai dan rekonstruksi sosial, serta sarana penyadaran dan pembangunan politik (A. Coleman, “Education and the Political Development”, Princeton, New Jersey, 1969). Maka pendidikan pada dasarnya merupakan aspek sentral yang akan menentukan wajah pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang. Sebab, pendidikan hakikatnya proses menggarap realitas masyarakat, sehingga terjadi refleksi dan aksi guna memperbaiki realitas masyarakat yang kurang manusiawi agar lebih manusiawi.
Menurut Budi Setiyono dalam Jurnal Politika, Vol. I, No. 1, April 2010 berjudul Korupsi, Transisi Demokrasi & Peran Organisasi Civil Society, secara umum, korupsi biasanya digambarkan sebagai perilaku yang melibatkan penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber-sumber kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Rose- Ackerman 1978; Moodie 1980; Andvig et al 2000: 11; Huther & Syah 2000: 1). Dalam spektrum ini, seperti Shah & Schacter (2004) berpendapat, korupsi bisa meliputi tiga jenis kategori luas: (a) „grand corruption‟, yaitu sejumlah kecil pejabat melakukan pencurian atau penyalahgunaan sejumlah besar sumber daya publik, (b) „state or „regulatory capture‟, yaitu kolusi yang dilakukan oleh lembaga publik dengan swasta untuk memperoleh keuntungan pribadi, dan (c) „bureaucratic or petty corruption‟, yaitu keterlibatan sejumlah besar pejabat publik dalam menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan sogokan kecil atau uang semir.
Berdasarkan pengertian – pengertian di atas, kita dapat memahami relasi yang kuat antara proses pendidikan dengan persoalan korupsi. Dalam hal ini, saya kira semua sepakat bahwa korupsi merupakan persoalan budaya bangsa yang sudah mengakar dan sangat sulit untuk diberantas meskipun sudah ada lembaga „ad hoc‟ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beserta payung hukumnya. Namun nampaknya perilaku korupsi semakin marak dan berevolusi dan bentuk dan cara – cara yang semakin komplek. Di sisi lain, budaya korupsi yang sudah membudaya tersebut, menunjukan kegagalan proses pendidikan kita selama ini. Mengapa demikian? Jelas bahwa pendidikan sebagaimana diungkapkan di atas bermaksud untuk membentuk karakter/watak kepribadian bangsa yang manusiawi dan bermartabat. Artinya dalam pendidikan berusaha untuk membantu setiap pribadi memiliki watak keutamaan hidup yang bermartabat, salah satunya perilaku hidup jujur yang mengarah pada perilaku anti pada tindakan korupsi.
Melihat persoalan tersebut, pertanyaannya kemudian adalah masihkah budaya korupsi itu kita minimalisir dan pelan – pelan akan menjadi hilang? Kedua, cara apakah yang paling efektif untuk mewujudkannya?
Pendidikan sebagai sarana pembudayaan anti korupsi
Guna menjawab tantangan tersebut, menurut penulis sangat mungkin untuk secara perlahan menghilangkan budaya korupsi tersebut, dan caranya adalah dengan membangun kebiasaan atau habitus hidup anti korupsi. Semua ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan baik secara formal dan informal (keluarga). Hal ini bukan tanpa alasan, sebab korupsi merupakan perilaku yang tidak manusiawi, tidak bermartabat, dan tidak beradab. Perilaku ini dapat kita hilangkan dengan dibantu memalui proses pendidikan yang tidak hanya mengolah pikiran tetapi juga hati. Pertanyaannya kemudian, sudahkah pendidikan kita juga mengolah hati?
Diakui atau tidak, sadar atau tidak sadar, sebagai insan pendidikan yang berkecimpung dalam proses pendidikan itu sendiri, kita melihat dan mengalami bahkan melakukan proses pendidikan yang lebih mengutamakan pikiran (akademik dan kognitif), tetapi kurang menekankan pada aspek afektifnya (mengolah hati). Hal ini terjadi karena tuntutan sistem kehidupan bangsa yang hanya memaknai dan membingkai pendidikan bergitu sempit pada aspek nilai. Sederhananya, orientasi pendidikan kita menitikberatkan pada nilai. Pemahaman ini terjadi karena perspektif yang salah, dimana pendidikan diharapkan mampu menciptakan lulusan yang terampil dan berpengetahuan pragmatis guna memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini tak ubahnya dengan semangat pendidikan politik etis kolonial.
Berdasarkan hal tersebut, dalam pelaksanaan proses pendidikan kita akhirnya jauh dari menggarap dan mempertajam hati nurani sebagai timbangan manusia secara sadar untuk menilai dan mengambil keputusan mana yang benar dan mana yang salah. Karena orientasi pada nilai itulah, pengelolaan pendidikan kita lebih mengutamakan kompetisi daripada gotong royong, dan akibatnya perilaku dalam dunia pendidikan sarat dengan perilaku koruptif serta minim keteladanan hidup yang baik. Menurut Paul Suparno, SJ (Pendidikan Karakter Di Sekolah, PT. Kanisius, Yogyakarta, 2015), dalam dunia pendidikan korupsi muncul dalam tindakan menyontek, plagiat, penipuan laporan dalam akreditasi maupun sertifikasi, kebocoran soal – soal ujian, pengatrolan nilai ujian, ijazah palsu. Hal ini jelas menunjukan kepada kita, bagaimana carut marutnya pendidikan kita selama ini dan kita akan sangat sulit memahami dan mencari orang yang memang berkompeten dan yang tidak. Inilah realitasnya dan secara tidak sadar kita ikut melanggengkan sistem tersebut. Pertanyaannya adalah, masihkah pendidikan relevan dan signifikan untuk membangun habitus anti korupsi? Bagaimana modelnya?
Pendidikan karakter sebagai solusi
Dengan memperhatikan segala yang telah diuraikan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam rangka membangun habitus anti korupsi, kita masih membutuhkan pendidikan sebagai sarana untuk mengobati penyakit budaya yang korupsi tersebut. Hanya saja diperlukan model pendidikan yang benar – benar mampu untuk mengobati penyakit tersebut, bukanya menjadi racun yang memperparah budaya hidup yang semakin koruptif. Maka, pendidikan karakter ditengarai mampu menjadi obat mujarab anti korupsi.
Sebagaimana dikutip dalam Paul Suparno,SJ (2015: 40 – 41), Kevin Ryan dan Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character menekankan 3 unsur penting dalam pendidikan karakter, yaitu unsur pengertian moral, perasaan moral dan tindakan moral. Pendidikan tersebut dapat dilakukan dengan cara pembiasaan pada hal – hal yang baik. Tugas pendidikan adalah membantu mengembangkan karakter yang sudah baik dan membantu menghilangkan karakter yang tidak baik dalam diri anak didik.
Driyarkara menekankan sebagai pribadi manusia kita tidak boleh hanya mengikuti bakat bawaan, tetapi harus berani mengembangkan dan mengubah bila tidak baik (2006: 488 – 494).
Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan karakter sangat cocok untuk membangun watak lulusannya yang tidak hanya cerdas secara intelektuil tetapi juga cerdas secara moril (hati). Hal ini semakin kuat didukung dengan cakupan secara teknis unsur – unsur pendidikan karakter yang bersumber pada pertimbangan moral (nilai). Dengan demikian, nilai moral tersebut tidak hanya menjadi ilmu pengetahuan semata, tetapi dapat terwujud dalam tindakan nyata, karena dalam pendidikan karakter siswa akan dilatih untuk merasionalisasi moral (alasan mengapa harus melakukan hal itu?), melakukan pertimbangan melalui suara hati/afeksi moral (kesadaran akan mana yang baik dan tidak baik), dan melakukan tindakan moral (kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan perasaan moral ke tindakan konkret. Tentu hal ini tidak akan mudah untuk dilakukan, sebab dibutuhkan kesiapan dari semua „stakeholder‟ dalam dunia pendidikan, yaitu yayasan, guru dan karyawan, orang tua/keluarga, masyarakat dan siswa itu sendiri. Persoalannya kemudian, mau atau tidak, siap atau tidak kita sebagai pemangku kepentingan pendidikan ini mewujudkannya? Mau tidak untuk saling bekerja sama satu sama lain untuk mewujudkannya?
Misalnya dalam pendidikan kita mengharap pembentukan karakter budaya anti korupsi, maka kita perlu kita memberikan alasan moral kenapa korupsi itu tidak baik untuk dilakukan?, tindakan – tindakan mana yang termasuk koruptif dan tidak koruptif (afeksi moral), dan mau mempraktikan dalam kehidupan sehari – hari misal dalam keluarga. Tujuan pendidikan ini tentunya akan sulit dapat tercapai jika tiada kerjasama yang solid antar pemangku kepentingan. Bisa saja anak akan menjadi tertib, disiplin dan berperilaku jujur (tidak korupstif), namun bisa jadi berlawanan ketika berada di dalam keluarga yang tidak mendukung. Maka kuncinya adalah ada kemauan dan kerjasama dari para pemangku kepentingan untuk mau mewujudkan pendidikan karakter tersebut.
Kunci dari semua upaya ini adalah niat atau kemauan untuk berubah menjadi lebih baik (selaras dengan revolusi mental pemerintah). Berubah dari kebiasaan/habitus yang koruptif menjadi habitus yang anti koruptif, melalui sarana pendidikan dalam bentuk pembiasaan dan keteladanan yang menunjukan sikap anti korupsi baik di sekolah dan rumah. Hanya saja berani tidak kita sebagai isntitusi pendidikan untuk tidak mempraktikan perilaku korupsi sebagaimana dijelaskan pada awal – awal tulisan ini?
Sebagai penutup kita ingat perlu mengingat dan meresapkan kata – kata Balian, seorang ksatria di Kerajaan Yerusalem ketika ia menolak untuk menikahi Sybila adik Raja Yerusalem agar tetap terjadi perdamaian antara Nasrani dan kaum muslim pimpinan Sallahudin, yang berkata “ini kerajaan hati nurani, jika harus dibangun dengan cara – cara yang tidak benar, maka kerajaan ini tidak berarti apa – apa”. Ia katakan demikian karena jika ia menerima tawaran raja tersebut, Guy de Lusignan akan dieksekusi mati. Dari penggalan kisah perang salib tersebut, kita dapat menimba nilai – nilai luhur watak seorang ksatria untuk tetap mau berjuang mewujudkan "The Kingdom of Heaven‟ yang sesungguhnya dengan cara – cara yang pantas. Demikian halnya dengan kita yang hedak membangun habitus baru yang anti korupsi, sebagai individu maupun institusi pendidikan, kiranya mau untuk mewujudkannya dengan cara – cara yang benar pula (non-kontradiksi) dengan tujuan yang hendak kita capai. Sederhananya, jika kita ingin mengubah budaya koruptif menjadi anti koruptif, maka kita harus berani mewujudkannya dengan cara – cara yang tidak koruptif. Semoga.


FX. Hengki Parahate
SD Kanisius Sanjaya Sukorejo
(Tulisan ini dimuat dalam majalah Gema Kanisius Edisi Desember 2016)

Tuesday, 11 October 2016

Artikel Opini : Agama dan Religiousitas

Agama dan Religiousitas
(FX. Hengki Parahate)

Semua agama yang ada di dunia ini tidaklah sama (sinkretisme). Masing masing memiliki ciri yang khas dan unik yang tidak patut untuk diperdebatkan atau pun dihina dengan alasan apapun. Ibarat manusia, agama merupakan manusia – manusia yang berbeda baik secara fisik maupun rohani yang melekat pada manusia – manusia itu. Keberadaan manusia dengan segala yang melekatnya padanya itulah, merupakan ciri yang khas dari setiap pribadi yang harus dihormati dan dihargai sebagai hak yang paling hakiki. Demikian halnya agama. Meski berbeda cara, budaya/ritus keagamaan, bahkan isi ajaranya, harus ditempatkan sebagai sesuatu yang hakiki yang perlu dihargai dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia yang berbudaya.

Meski agama memiliki kekhasan, dan cara pandang yang berbeda – beda, namun semua agama di dunia ini memiliki muara yang sama, yaitu menuju pada Tuhan, Allah, Bapa, Yahwe, Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Esa. Dalam hal inilah cara yang digunakan oleh setiap agama berbeda – beda. Namun demikian, pada intinya sama (bukan dalam pengertian sinkretisme), bahwa agama memberikan cara pandang, cara mendoa, cara pengaktualisasian ajaran agama yang tertuju pada penganggungan Tuhan yang disebut dengan berbagai sebutan. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana itu pengagungan Tuhan?

Semua agama mengakui bahwa Tuhan merupakan pencipta kehidupan ini dengan segala yang ada dengan baik, termasuk diri kita. Maka pengagungan itu dapat kita lakukan dengan menjaga segala sesuatu ciptaan-Nya yang sejak awal mulanya memang sudah baik adanya. Menjaga alam semesta, hewan, tumbuhan, bahkan saling menjaga dan mengasihi sesama manusia yang adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Dalam konteks inilah, terkadang manusia – manusia yang beragama tidak penuh memahami ajaranya masing – masing, sehingga dalam usaha pengagunga Tuhan ini, menimbulkan konflik – konflik yang sebenarnya disayangkan. Dengan demikian, persoalanya bukan terletak pada agama beserta ajaranya, akan tetapi manusia – manusia yang kurang memahami ajaran masing – masing sehingga menumbuhkan sikap fanatik sempit.

Penghayatan agama dan aktualisasi agama

Pemahaman agama yang baik mustahil dapat tercapai apabila tanpa dibarengai penghayatan agama yang sungguh – sungguh. Dalam rangka inilah, sekiranya dapat kita sadari tingkatan penghayatan dari setiap agama yang akan sangat berpengaruh pada pengaktualisasian penghayatan akan agama. Tingkatan tersebut dapat terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu tingkatan teoritis, tingkatan ritual budaya, dan tingkatan praxis.

Tingkatan teoritis adalah tingkat penghayatan agama yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan cara hanya memahami isi ajaran agama saja. Contoh orang membaca kitab suci, mempelajari ajaran agama sehingga dia sungguh memahami isi ajaran agama yang dianutnya. Akan tetapi hanya sebatas memahami isi ajaran saja.

Pada tingkatan yang kedua yaitu tingkatan ritus budaya adalah tingkat penghayatan agama oleh individu atau kelompok yang telah memahami isi ajaran agamanya lalu mempraktikannya dalam bentuk – bentuk ritual dan budaya peribadahan agama. Sedangkan pada tingkat yang ketiga yaitu penghayatan agama secara praxis yang adalah penghayatan agama oleh individu maupun kelompok untuk mewujudnyatakan isi ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari agar peranan agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia sungguh dapat dirasakan. Dalam konteks inilah agama akan menjadi semakin relevan bagi kehidupan manusia, bukan sebagai candu masyarakat sebagaimana yang dituduhkan. Dalam proses praxis inilah terkadang ditemui berbagai macam hambatan. Bisa dikatakan bahwa setiap agama berangkat dari cara pandang yang berbeda sesuai dengan kekhasanya masing – masing, yang memang terkadang tidak bisa disinkretiskan. Maka titik temunya adalah pada tingkat religiousitasnya.


Religiousitas (keberagaman) adalah derajat keterkaitan seseorang dengan nilai – nilai agama, keyakinan dan kemampuanya dalam mempraktikan serta menggunakannya dalam kehidupan keseharian (Worthington Jr, et al, The Religious Comitment Investor, 2003). Menurut Mohamad Nuh (Jawa Pos, Selasa, 5 Juli 2016), menjelaskan bahwa pengabaian (ketidakpedulian) terhadap urusan kemasyarakatan bisa dikategorikan pendustaan terhadap agama. Dari pengertian – pengertian tersebut, maka dapat kita pahami bahwa kualitas relgiousitas seseorang dapat dilihat dan ditentukan dari peranya untuk mau terlibat dalam menangani persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, serta ketidakadilan. Demikianlah harapanya.

Monday, 10 October 2016

Artikel Opini : Pendidikan Hati Nurani

Pendidikan Hati Nurani
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukan pendidikan sama sekali”
Aristoteles, Filsuf Yunani.

Keberadaan pendidikan memiliki peranan penting dalam pembangunan multidimensional bangsa dan negara. Terlepas dari segala macam terori tentang hakikatnya, pendidikan sesungguhnya menitikberatkan pada pengolahan manusia (sebagai proses humanisasi), agar lebih bermartabat dan beradab. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat melahirkan manusia – manusia yang dapat menjadi motor peradaban hidup yang semakin bermartabat. Namun demikian, pendidikan
Secara ekonomis, pendidikan merupakan variabel independen yang sangat berpengaruh pencapaian pembangunan. Dalam kepustakaan pendidikan, A. Coleman menyatakan bahwa fungsi pendidikan sebagai sarana pengembangan dan  pertumbuhan ekonomi, sarana sosialisai nilai dan rekonstruksi sosial, serta sarana penyadaran dan pembangunan politik (A. Coleman, Education and the Political Development, Princeton, New Jersey, 1969). Maka pendidikan pada dasarnya merupakan aspek sentral yang akan menentukan wajah  pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang. Sebab, pendidikan hakikatnya proses menggarap realitas masyarakat, sehingga terjadi refleksi dan aksi guna memperbaiki realitas masyarakat yang kurang manusiawi agar lebih manusiawi. Sederhananya, secara matematis kualitas pembangunan merupakan fungsi dari pendidikan.
Namun demikian, kenyataan berbicara lain dari teori. Nampak bahwa pendidikan selama ini mengalami irrelevansi atas perkembangan dan pembangunan masyarakat dewasa ini yang mengalami berbagai persoalan dan mendesak untuk segera di atasi, seperti kemiskinan, ketidakadilan, separatisme, sikap esklusifisme sektarian, intoleran, budaya korup dan egoisme sosial yang semakin akut dan menghambat pembangunan. Inilah potret konstruksi masyarakat kita dewasa ini. Maka, dalam hal ini pendidikan telah gagal menjadi sarana sosialisasi nilai dan rekonstruksi sosial yang telah berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus mengalami demoralisasi (kehilangan nilai – nilai moral dalam hidup bersama untuk kebaikan bersama), sekaligus sarana penyadaran dan pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Dengan kata lain, pendidikan telah gagal memobilisasi manusia – manusia lulusanya menjadi agen perubahan, sebaliknya menciptakan disinherited masses (Paulo Freire, 2007), yaitu manusia – manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.
Akar persoalan
Kegagalan pendidikan sebagai lokomotif perubahan dalam masyarakat yang kurang beradab seperti diuraikan di atas, menurut hemat penulis terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena kurangnya pemahaman tentang hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini berdampak pada bangunan fondasi sistem pendidikan kita yang rapuh, sehingga orientasi pendidikan kita lebih pada pencapaian nilai akademik saja, tetapi kurang menggarap karakter manusianya secara utuh meski selalu di dengung – dengungkan. Kita dapat melihat dan rasakan bagaimana pendidikan kita lebih mengutamakan transfer pengetahuan yang tidak dibarengi dengan proses penyadaran manusia – manusia yang terlibat di dalamnya, yaitu proses memahami pertentangan – pertentangan sosial ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur – unsur yang menindas dari situasi pertentangan itu. Dalam hal inilah pendidikan kita kurang mengolah rasa dan hati manusia – manusia di dalamnya, sehingga cenderung mencetak generasi yang cenderung buta akan jati dirinya sebagai mahkluk sosial yang mengusahakan bonum commune (kebaikan bersama) bukan hanya untuk mengejar kebaikan sendiri maupun kelompok tertentu.
Kedua,  tidak adanya politic will dari pemerintah untuk menggarap pendidikan kita dengan serius. Terbukti dari realisasi anggaran untuk pendidikan yang tidak pernah mencapai dua puluh persen sebagaimana yang diamanatkan undang – undang. Padahal anggaran tersebut diperlukan untuk melakukan pembangunan infrastruktur pendidikan yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, pendidikan telah terpolitisasi sehingga bersifat tidak netral. Karena penyelenggaraan pendidikan rentan ditunggangi dengan kepentingan politis untuk mencari status quo kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika sendi –sendi pendidikan kita begitu keropos dan kehilangan sense – nya untuk mengolah daya, cipta dan karsa manusia secara utuh pada hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian seharusnya kesadaran pemerintah harus dan wajib dihidupkan dengan semangat konstitusi yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tidak hanya anggaran yang perlu didorong sesuai amanat undang – undang, tetapi perlu grand designe kurikulum pendidikan nasional yang tetap dan menunjang pada prioritas pembangunan bangsa, bukan kurikulum proyek, dimana setiap ganti menteri mesti selalu ada perubahan kurikulum dan kebijakan tentang pendidikan nasional kita.
Pendidikan hati nurani sebagai solusi
Dengan melihat dan merasakan bagaimana kondisi pendidikan kita yang sangat jauh menyimpang dari hakikatnya tersebut, tentu kita akan bertanya, lalu apa solusi dari persoalan ini? Tentu tidak cukup hanya beretorika dengan teori – teori, namun harus diwujud nyatakan dalam langkah konkret untuk membangun pendidikan kita yang relevan dan signifikan dalam konteks masyarakatnya sendiri. Akan tetapi tindakan tanpa dasar teori yang jelas dan valid juga tidak akan berguna. Maka kedua – duanya harus seiring dan sejalan. Dengan demikian perlu pengkajian lebih lanjut untuk mereorientasi pendidikan kita kembali pada hakikatnya yang sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat Indonesia guna menemukan sebuah desain pendidikan yang holistik, yang tidak hanya memerangi buta aksara dan pengetahuan, tetapi juga mampu memerangi buta sosial dan buta ekologi atau lingkungan.
Tidak sepatutnya pendidikan hanya mengolah intelengensia pikiran tanpa mengasah intelegensia hati nurani. Jika demikan yang terjadi maka, pendidikan hanya membangun manusia itu secara separo saja, tidak penuh. Dan hal ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan manusia itu sendiri dan juga orang lain. Contohnya adalah setiap pendidikan kita selama ini telah menghasilkan sekian juta orang pandai dari tingkat sarjana, master hingga doktor dan profesor. Namun demikian, apa yang dapat kita harapakan dari para kaum elit pendidikan ini bagi masyarakat yang sedang berjuang untuk tetap hidup? Selama ini jawabnya belum jelas. Adakah keberadaan mereka mampu memberikan kontribusi sebagai ‘agent of change’ bagi masyarakat yang sakit ini? Saya kira belum nampak nyata kontribusinya. Paling kentara, mereka hanya mampu menyumbang ide, gagasan, dan mau mengabdi pada masyarakat lewat jalur pendidikan formal yang tidak semua rakyat bisa menjangkau. Artinya pendidikan telah menjadi komunitas ekslusif dari masyarakatnya.
Dari segala keprihatinan di atas, kita dapat menyadari bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus berani mengakui bahwa pendidikan kita selama ini berjalan ‘out of track’. Sistem pendidikan kita lebih menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir (teoritis) sekaligus teknis operasional dari suatu alat, tapi pengajaran atau pendidikan hati dan jiwanya tidak pernah terjadi. Pendidikan jauh dari tujuan mulianya untuk membangun manusia secara utuh sehingga memiliki kesadaran untuk menjadi agen – agen perubahan pada masyarakatnya yang tertindas. Disinilah sentuhan penting yang terabaikan dalam sistem pendidikan kita.
Hal ini bukan perkara mudah untuk diobati. Namun mengobati sekarang lebih bijak daripada nanti setelah penyakit ini menjadi lebih akut. Hanya tinggal menunggu keberanian dari mereka yang diberi kuasa untuk memikirkan perkara ini dengan bijaksana serta menentukan arah yang tepat bagi pendidikan nasional kita, sehingga pendidikan sungguh – sungguh menjadi relevan bagi pembangunan suatu bangsa.

Pageruyung, 23 September 2016

FX. Hengki Parahate

Cerpen : Sang Guru Nara dan Kerbau

Sang Guru  Nara dan Kerbau
Manusia adalah panggung kehidupan pengadilan jiwa. Dalam relung kedalamannya ia akan menjadi hakim bagi dirinya sendiri sebagai yang terhakimi. Ini bukan perkara benar dan salah, akan tetapi ini semua berbicara tentang menyelaraskan hati dan jiwa dalam gejolak. Siapa yang menang dan berjaya? Ialah hati dan jiwa yang merdeka dari segala rasa tertawan.
Tinggalah di Desa Saloka seorang pertapa yanng dikenal dengan sebutan Guru Nara. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana dan banyak persoalan orang – orang desa yang tidak terpecahkan oleh para pamong desa, diselesaikan dengan meminta petuah ajaib dari sang guru.
Perawakannya kecil, berkumis dan berjenggot putih. Rambutnya disanggul bak para empu – empu sakti pada zaman dahulu kala. Ia hidup dalam gubuk yang berdinding anyaman bambu dan beratap ijuk. Ia hidup sederhana dengan cara berkebun dan tinggal seorang diri. Hanya seekor kerbau saja yang menemani setiap harinya.
Suatu ketika, di siang hari nan terik, tatkala Guru Nara sedang berkebun sambil mengangon kerbaunya, datanglah segerombolan orang desa menemuinya. Nampak para pamong desa pun ikut serta dalam rombongan orang yang sedang menuju ke arah Guru Nara berkebun. Sekejap Guru Nara menebak adanya sesuatu  persoalan penting yang harus ia pecahkan dengan hati – hati. Maka ia hentikan pekerjaannya lalu menuju gubuk kecil di tepian kebun itu dan menenggak air putih dari kendi.
“Guru Nara! Guru !”, teriak Darsam salah satu pamong desa bersama gerombolan warga menuju gubug tempat Guru Nara beristirahat.
“Guru, Guru Nara. Cilaka ini Guru !”, hatur Darsam mengetuai rombongan.
“Ada apa Darsam? Mengapa begitu banyak orang kau bawa kemari? Apa kiranya yang sedang terjadi? Apanya yang cilaka?”, sergah sang Guru.
“Begini Guru, banyak kerbau dari kami mati tanpa sebab yang jelas!”, tegas Darsam melaporkan masalah yang ada. “ Bagaimana kami bisa menggarap sawah kami Guru jika tiada kerbau pada kami? Jika demikian, kamipun tidak bisa makan karena sawah kami tidak bisa kami olah”, imbuhnya.
Sang Guru Nara hanya terkekeh mendengar laporan Darsam bersama rombonganya itu. Darsam pun merasa tidak senang dengan sikap Sang Guru menanggapi persoalan pelik ini. Lalu Sang Guru berkata kepada mereka “tenanglah Darsam! Mari duduklah disini dan kita menikmati bersama ubi rebus hasil dari kebunku ini. Hari ini lumayan banyak kurebus ubi ini, sehingga cukuplah untuk kita makan bersama disini”.
Darsam dan rombongan itu bingung menghadapi tingkah Guru Nara. “Bagaimana bisa guru mengajak kami makan ubi rebus itu ketika anak istri kami menantikan kami untuk kembali bekerja di sawah agar dapat makan. Dan kami tidak bisa melakukan semua itu tanpa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab”, protes Darsam pada guru Nara.
Namun Guru Nara kembali terkekeh hingga terlihat giginya yang mulai ompong itu tersungging membalas Darsam yang bersungut – sungut.
“Baiklah, apa kiranya yang bisa kulakukan untuk kalian Darsam?”, tanya Guru Nara dengan raut muka yang agak serius sambil menelan ubi yang masih ia kunyah didalam mulutnya.
“Kembalikan nyawa kerbau kami Guru, supaya kami bisa membajak ladang kami kembali! Guru kan memiliki kekuatan sakti yang bisa menyembuhkan penyakit, pula mengembalikan nyawa manusia. Kali ini kembalikan nyawa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab itu guru, kami mohon!”, pinta Darsam memelas.
Guru Nara tetap tidak bergeming dengan pinta Darsam yang mewakili kemauan orang banyak bersamanya. Darsam dan rombongan pun merasa bingung dengan sikap Guru Nara menenggapi pinta mereka yang hanya diam sambil tetap mengunyah ubi rebusnya itu. Semua menjadi hening dan hanya memperhatikan tingkah Guru Nara yang belum juga memberikan jawaban. Setelah selesai menelan habis ubi yang dikunyahnya, lalu Guru Nara mengambil kendi berisi air putih minumannya. Lalu ia mulai berkata, “Baiklah akan kulakukan itu untuk kalian Darsam. Tetapi ada syarat yang harus kalian penuhi agar nyawa kerbau kalian bisa kuhidupkan kembali. Apakah kalian bisa memenuhi syarat – syaratnya itu?”.
“Baik Guru. Kami akan memenuhi semua syarat permintaan Guru agar kami bisa mendapatkan kembali kerbau kami yang telah mati itu”, kata Darsam yang diiyakan oleh rombongannya.
“Baiklah jika kalian memang menginginkan nyawa kerbau kalian kembali, kalian harus bisa menghitung jumlah bulu rambut yang dimiliki oleh setiap kerbau kalian dalam waktu tiga hari. Jika kalian berhasil menghitungnya tanpa ada yang terlewatkan sehelai bulu pun, maka pada hari ketiga itulah kerbau kalian akan hidup kembali. Dan segeralah kalian memandikan mereka dan memberinya makanan rumput yang segar”, kata Guru Nara menyampaikan syarat – syarat kepada Darsam dan kelompoknya.
“Guru, bagaimana mungkin kami bisa menghitungnya tanpa terlewatkan dalam waktu tiga hari saja?”, keluh Darsam.
“Ya memang demikian caranya aku dapat menolong memenuhi permintaan kalian. Jika kalian tidak selesai menghitungnya dalam waktu tiga hari maka kerbau kalian tetap akan mati dan tidak terselamatkan Darsam. Jika kalian mau lakukan saja syarat itu, kalau tidak aku tidak tahu lagi cara menolong kesusahan kalian”, jawab Guru Nara.
Meski dengan bersungut – sungut mendengar syarat yang disampaikan oleh Guru Nara, Darsam dan rombongannya menerima syarat yang diajukan oleh sang Guru. “Baiklah Guru, kami akan segera pulang dan kami akan segera memulai menghitung bulu rambut kerbau kami masing – masing mulai malam ini”, katanya.
Lalu bubarlah rombongan itu meninggalkan pondok Guru Nara dan bergegas pulang untuk mempersiapkan acara untuk penghitungan bulu rambut kerbau mereka masing - masing. Kebetulan hari pun sudah mulai sore dan malam akan segera tiba.
Keesokan harinya, Guru Nara bekerja seperti biasa di ladangnya dengan kerbaunya yang selalu menemani di belakang pondoknya yang sedang memakan rumput. Semua sepi dan tenang. Hanya pemandangan gunung hutan dan perbukitan yang nampak hijau permai dengan cakrawala nan biru yang sangat meneduhkan hati setiap manusia yang bisa menikmatinya. Dengan angin pegunungan yang segar sungguh melegakan jiwa.
Namun Guru Nara menyadari dibalik segala kenikmatan itu, dibalik perbukitan tempat tinggalnya sedang berkecamuk manusia – manusia yang resah dan gelisah berkejaran dengan waktu. Sejenak Guru Nara memikirkan nasib mereka dan merasa iba kepada Darsam beserta orang – orang di kampungnya. Tapi inilah hidup. Setiap orang harus berani memilih dan menekuni pilihan itu beserta segala resikonya. Tak terasa hari mulai gelap dan Guru Nara telah melewati hari itu seperti hari – hari biasanya. Nampaknya Darsam bersama dengan orang – orang lain yang bersamanya tidak menemui kendala apapun dalam melakukan syarat yang diajukan oleh Guru Nara. Maka ia merasa tenang dengan itu semua dan berharap Darsam dengan orang – orang yang bersamanya berhasil melalui syarat itu.
Meski demikian, tiada jalan yang mudah untuk mencapai sesuatu sekecil apapun apa yang akan dituju. Semua tetap membutuhkan perjuangan dan pengorbanan serta niatan yang mantap untuk mencapai segala sesuatu. Demikian halnya apa yang dilakukan oleh Darsam bersama orang – orang itu. Permasalahan mulai muncul pada malam di hari kedua.   
“Guru! Guru!”, teriak Darsam mendekati pondok Guru Nara pada malam itu dengan tergopoh – gopoh. Guru Nara pun segera membuka pintu pondoknya dan menyambut kedatangan Darsam dengan raut muka yang cukup panik mengikuti mimik Darsam yang juga terlihat panik.
“Kenapa engkau Darsam?”, sahut sang guru menanyai Darsam yang telah tiba di depan pintu pondoknya. “Mengapa engkau kemari? Bukankah engkau harus selesaikan penghitunganmu atas rambut bulu kerbaumu itu bersama yang lain?” lanjutnya.
“Guru, sepertinya kami tidak akan berhasil menyelesaikan pekerjaan kami. Kini kami hanya punya waktu semalam lagi untuk menyelesaikan perhitungan kami. Padahal kami sangat lelah dan kepayahan karena sudah dua malam ini kami tidak tidur untuk melakukannya. Bahkan ada salah seorang dari kami kini jatuh sakit karena tidak sempat memakan sesuatu apapun guru”, jelas Darsam dengan raut muka yang penuh dengan kecemasan.
“Bisakah kami diberi waktu tambahan lagi Guru agar kami bisa menyelesaikan perhitungan kami?”, imbuhnya.
Guru Nara hanya terdiam menerima laporan Darsam sambil melimbang – limbang dalam hatinya tentang laporan Darsam tersebut. Ia kemudian berkata kepada Darsam, “Aku sudah menduga bahwa kalian tak akan sanggup melakukan pekerjaan itu Darsam”. Sontak Darsam kaget mendengar tanggapan sang guru sambil terus menunggu kelanjutan jawaban darinya.
“Maka aku pun tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa kerbau kalian yang telah mati itu”, lanjut Guru Nara.
“Bagaimana mungkin bisa begini guru? Guru orang yang sakti dan bijaksana tentu ada cara lain yang lebih mudah persyaratannya untuk kami lakukan demi kerbau – kerbau kami dan demi kami bisa mengolah tanah untuk makan anak dan istri kami?”, protes Darsam memelas.
“aku turut prihatin dengan kemalangan ini Darsam. Tapi aku tidak bisa membantumu lagi dengan cara – cara lain yang tidak aku ketahui. Kesaktianku bukan untuk menghidupkan mahkluk yang telah mati, namun kesaktianku untuk membunuh”, jawab sang guru yang membuat Darsam melonggo tak mengerti maksud perkataan sang guru.
“Apa maksud semua perkataan guru?”, tanya Darsam
“Ketahuilah Darsam! Jika engkau menganggapku sakti memang demikian adanya diriku ini”, kata Guru Nara, lalu melanjutkan lagi “namun demikian, aku tidak pernah kuasa untuk mengembalikan nyawa kerbaumu yang sudah mati itu”.
“Mengapa demikian Guru?”, Darsam menanya. Guru Nara menghela nafas dan berfikir sejenak seolah tidak tega untuk melanjutkan penjelasannya kepada Darsam. Hatinya bergejolak antara kebaikan dan kejahatan dalam batinnya.
“Jika kukembalikan nyawa kerbaumu dan kerbau – kerbau orang – orang di desamu itu, maka nyawaku dan nyawa kerbauku akan hilang. Dengan demikian aku akan mati bersama kerbau kesayanganku itu Darsam”, jelas sang Guru.
Mendengar semua penjelasan guru Nara yang dianggap bijak dan sakti itu, Darsam sangat kecewa. Ia telah serahkan segala harapan akan hidupnya dan juga hidup para tetangganya di desa kepada guru bijak dan sakti itu, namun tiada hasil. Tak layak bagi kita menggantungkan hormat kepada orang seperti guru Nara atas hidup kita ini, sekalipun ia berkuasa atas kebijaksanaan dan kesaktian. Sesungguhnya ialah serigala berbulu domba itu, yang tetap haus untuk memangsa yang lain demi dirinya sendiri. Darsam pun berlalu dalam segala kekecewaannya, memilih jalan sendiri tanpa bergantung dan menyerahkan nasibnya pada siapapun, meski jalan itu berbatu dan lebih menyakitkan. Berbahagialah engkau Darsam karena buwana akan menyertaimu dengan segala kemegahannya yang tak terjangkau oleh manusia sekalipun sakti dan bijaksana.

FX. Hengki Parahate

Friday, 7 October 2016

Artikel Opini : Negara, FPI dan Rakyat

Negara, FPI dan Rakyat
Hampir tidak dapat dipercayai bagi kita semua, terutama warga masyarakat Sukorejo Kendal atas musibah sosial yang kini telah dialami oleh masyarakat setempat, pasca insiden bentrokan yang terjadi antara Front Pembela Islam (FPI) dengan masyarakat pada Kamis, 18 Juli 2013 lalu. Meski saat ini peroalan tersebut telah masuk dalam ranah hukum dalam kepolisian Kendal, namun nampaknya insiden tersebut telah membangun stigma ketidaknyamanan masyarakat Sukorejo meski situasi sudah berangsur kondusif.
Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, sebagaimana telah kita ketahui bersama sepak terjang ormas FPI di berbagai wilayah nusantara memang selalu indentik dengan tindak anarkis, kekerasan dan bergerak di luar kerangka hukum yang berlaku. Persolaanya sekarang, bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan ini sebagai anak Bangsa?
Empat Pilar Kebangsaan
Tindakan anarkisme, kekerasan, pelanggaran hukum dan meresahkan senantiasa dilakukan oleh FPI dalam setiap aksi yang berlandaskan azas keagamaan “amar makruf nai munkar”, jelas telah menodai nilai – nilai hidup masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia merupakan negara atas dasar kemajemukan yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun dan oleh apapun juga. Maka empat pilar kebangsaan yang menjadi soko guru hidup berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan, hendaknya dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Demikianlah kiranya pedoman kebangsaan kita yang telah dibangun oleh para founding father’s kita.
Maka dalam kasus insiden bentrokan FPI dengan masyarakat di berbagai wilayah, termasuk yang terbaru terjadi di Sukorejo tersebut, merupakan sinyalemen perong-rongan empat pilar kebangsaan tersebut. Jika senantiasa dilestarikan, tak ayal bangsa ini akan menemui kehancuranya. Dengan demikian, dalam kerangka berfikir dan kepentingan inilah hendaknya Negara, FPI dan masyarakat menginsyafkan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hendaknya masing-masing pihak memposisikan diri pada kapsitasnya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, menjadi jelas bahwa apa yang dilakukan oleh FPI mengambil porsi yang mestinya menjadi bagian kewenangan dan tugas kepolisian.
Negara Tetap Bertanggung Jawab
Dalam konteks persoalan gesekan horizontal ini, pada dasarnya negara telah lalai akan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Pada dasarnya negara berupaya untuk senantiasa melakukan pembangunan demi mencapai kesehateraan bagi seluruh rakyatnya. Pembangunan yang dimaksud sebenarnya bukan sekedar pembangunan dalam aspek ekonomi semata, melainkan juga meliputi pembangunan dalam aspek sosial dan politik. Dengan kata lain, kesejhateraan yang hendaknya dicapai harus lebih meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik dan bermartabat secara manusiawi.
Pada dasarnya, satu sisi apa yang diperangi oleh FPI dalam hal ini kemaksiatan memang merupakan hal yang dapat kita apresiasi, akan tetapi cara yang digunakan adalah salah. Berbicara soal kemaksiatan (dalam terminologi agama) atau ‘penyakit masyarakat’ (dalam terminologi sosial) seperti pelacuran dan perjudian, hakekatnya berbicara soal penghidupan. Dari sudut pandang ekonomi-sosial, jelas merajalelanya pelacuran dan perjudian merupakan tanda ketidakmampuan negara memberikan ruang pekerjaan yang layak secara kemanusiaan bagi setiap warganya. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang begitu kita banggakan dengan kisaran 6% per tahun, tidak mampu merata diterima bagi seluruh lapisan masyarakat yang ada sekaligus tidak mampu membuka kesempatan kerja. Maka sesungguhnya kemaksiatan ataupun yang kita sebut sebagai penyakit sosial dalam bentuk pelacuran dan perjuadian merupakan penyakit pembangunan kita selama ini. Negara sudah layak dan sepantasnya untuk menuntaskan persoalan ini dengan segala kewenangan dan segala alat-alat negara yang ada.
Penutup
Yakinlah bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini. Demikianlah kiranya iman, pengharapan dan kasih yang seharusnya kita perjuangkan bersama untuk membangun negeri menuju kejayaannya. Dan diantara ketiga hal tersebut, kasih merupakan yang terbesar diantara ketiganya, karena dengan kasih itu pulalah kita akan mampu mengatasi setiap persoalan yang ada tanpa anarkisme dan kekerasan. Dengan demikian, insiden bentrokan FPI dan masyarakat di Sukorejo dan di beberapa daerah lain pada waktu-waktu sebelumnya, pada dasarnya merupakan perpecahan antar anak bangsa yang sangat merugikan bagi pembangunan bangsa dan negara. Padahal musuh bersama kita saat ini adalah kemiskinan dan penderitaan rakyat dalam gerusan liberalisasi yang semakin menjadi-jadi. Maka yang diuntungkan sesungguhnya para kapitalis-kapitalis yang mementingkan diri sendiri dengan mengeksploitasi kekayaan alam kita dan para komparadornya yakni para koruptor.
Maka persatuan menjadi penting, bagi kita untuk mengawal pembangunan yang lebih nyata bagi masyarakat kita. Hendaklah hal ini menjadi kesadaran kita bersama. Menegakan hukum, memberantas korupsi, dan melawan liberalisme, inilah agenda nasional yang lebih penting bagi kita. Semoga saja, agenda itu dapat diawali dengan proses penyelidikan hukum yang sedang berjalan mengenai insiden bentrokan antara FPI dan masyarakat di Sukorejo. Kita berharap momentum tersebut dapat menjadi langkah awal penegakan hukum secara obyektif dan adil. Semoga.


Yogyakarta, 23 Juli 2013.
Oleh: FX. Hengki Parahate

Artikel Opini : Kelengahan Negara di Era Teknologi; Ancaman Kedaulatan Bangsa

Kelengahan Negara di Era Teknologi; Ancaman Kedaulatan Bangsa
Kemajuan teknologi tentunya begitu memberikan dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan kita dewasa. Teknologi semakin hari semakin kian dibutuhkan oleh masyarakat kita. Salah satu kemajuan teknologi yang kain ramai digemari hampir diseluruh negara di dunia yaitu akses akan fasilitas internet. Untuk Indonesia sendiri, negara bahkan telah memfasilitasi pelayanan akses internet hingga pelosok-pelosok kecamatan di Indonesia.
Sebagaimana kita sadari, bahwa dewasa ini internet dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan yang cukup penting bagi masyarakat kita. Banyak keuntungan serta manfaat, baik secara ekonomis maupun sosial yang dapat kita peroleh dengan adanya pelayanan akan internet. Melalui internet, kita bisa mengembangkan berbagai macam bisnis dengan cakupan pemasaran hampir seluruh dunia. Betapa efisiennya transaksi hingga marketing bisnis dapat dilakukan melalui internet. Lebih dari itu, dengan internet kita dapat menambah investasi pengetahuan kita tentang segala macam ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia secara cepat dan mudah.
Namun demikian, tidak selalu keberadaan internet ini memberikan manfaat baik bagi kehidupan kita. Ada dampak negatif yang perlu diantisipasi dari adanya kemajuan kemudahan akses akan internet dewasa ini. Disamping masih mudahnya akses akan situs-situs pornografi  yang dapat berdampak pada negatif bagi perkembangan psikologi anak, meski pemerintah telah melakukan kebijakan pemblokiran terhadap situs-situs porno tersebut, lebih dari itu internet dapat mengancam kedaulatan suatu negara, termasuk Indonesia sendiri. Ancaman ini lebih berbentuk pada semakin mudahnya dunia dapat melihat profil dan data startegis dari suatu negara secara bebas. Mengapa ini menjadi penting?
Sebagaimana kita ketahui, terutama bagi kita kalangan mahasiswa yang sedang melakukan tugas akhir skripsi, setidaknya akan menemukan kendala untuk menemukan data yang dibutuhkan dalam penelitian yang sedang dikerjakan. Dengan berbagai macam topik yang dibahas dalam skripsi tentunya akan semakin banyak jenis data yang dibutuhkan sesuai dengan topik tentang yang menyangkut kemaslahatan di Indonesia, akan tetapi sayangnya data yang kita butuhkan tersebut, tidak selalu tersedia seperti yang kita harapkan. Biasanya kita tidak akan pernah menemukan data untuk periode-periode yang lebih lama tentang data suatu hal atau profil data pada tingkat yang lebih kecil dari nasional maupun daerah dari BPS Pusat dan maupun daerah atau dari link-link lembaga pemerintah terkait secara rigidity. Anehnya, kita dapat menemukan berbagai macam jenis data yang kita butuhkan dari sumber-sumber luar negeri yang menyediakan jasa data-data secara rigidity untuk suatu negara. Misalnya saja kita dapat mendapatkan data-data yang lebih rigid tentang berbagai macam indikator sosial, ekonomi maupun politik negara kita dari situs www.ceid.com dan www.asia-monitor.com. Jika kita hendak memperoleh data dengan mengakses situs tersebut, kita harus membayar dengan kata lain kita harus membeli data-data tentang negara kita sendiri dari pihak luar.
Bagi saya kondisi tersebut merupakam sebuah keanehan yang paling aneh. Keanehan itu dapat kita lihat dari beberapa hal dan patut untuk diwaspadai. Pertama, pihak asing justru lebih memiliki sistem database yang lebih rigiditytentang berbagai macam keindonesiaan kita terutama dalam bisnis dan ekonomi dibanding bangsa Indonesia sendiri. Kedua, menjadi aneh ketika hak kita sebagai warga negara untuk dapat memperoleh segala informasi yang kita butuhkan secara transparan tetapi tidak dapat kita peroleh selain dengan cara harus membeli data-data informasi yang kita butuhkan tersebut dari pihak luar. Dari kaca mata bisnis hal ini sah-sah saja, tapi apakah wajar jika kita harus membeli padi yang kita tanam sendiri, membayar makanan yang kita buat sendiri kepada pihak yang sama sekali tidak menanam dan membuatnya?
Berdasarkan keanehan tersebut, saya menduga hal itu terjadi karena tidak adanya budaya kedisiplinan dari bangsa kita untuk mendokumentasikan atau mengarsipkan segala data dan informasi yang kita miliki secara tertib dan teratur, sehingga dapat berguna bagi segala macam perencanaan pembangunan kita. Namun secara faktual, pendokumentasian data-data dan berbagai macam informasi penting tentang Indonesia, lebih banyak dimiliki oleh pihak asing dan diperjualbelikan secara bebas untuk keperluan ekonomis. Kondisi ini akan menjadi sangat rawan tentunya bagi kedaulatan bangsa kita sendiri. Dengan jual beli data tentang profil kenegaraan itu, tidak menutup kemungkinan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk ‘menguasai’ negeri kita. Misalkan saja, bagaimana wilayah maritim kita dapat dimasuki oleh kapal-kapal nelayan asing, wilayah udara kita dengan mudahnya dapat dimasuki pesawat-pesawat asing, hilangnya pulau-pulau seperti Ligitan dan Sipadan, hingga pencurian-pencurian potensi alam yang lainya oleh asing. Artinya, semakin bebas data-data dan informasi yang kita punya untuk diperdagangkan dan justru dimilki oleh asing akan semakin rapuh negara ini dalam mengahadapi ‘serangan-serangan’ dari pihak luar dalam bentuk apapun.
Dengan demikian, internet memang penting keberadaanya bagi peningkatan kehidupan masyarakat luas baik dalam negeri dan luar negeri dalam kebebasan segala informasi. Akan tetapi, pemerintah perlu selektif dalam menentukan macam informasi dan data tentang negeri ini untuk dapat diakses bagi khalayak umum, terutama bagi pihak luar negeri. Dalam era digitalisasi ini, data-data dan informasi penting suatu negara merupakan komoditas ekonomi dan tidak menutup kemungkinan untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang dapat mengancam kedaulatan negara. Dalam strategi perang dunia, kebocoran informasi dan data-data penting dari suatu negara ke pihak musuh, merupakan awal kehancuran bagi negara tersebut dan hampir dipastikan akan kalah dalam peperangan. Dalam strategi perang modernisasi dewasa ini, data dan informasi merupakan hal amat penting apalagi menyangkut sebuah negara dengan kelimpahan alam yang melimpah seperti Indonesia ini.
FX. Hengki Parahate
Ngaglik, Yogyakarta, 2013

Tuesday, 14 June 2016

Artikel Opini : Radikalisme OPM: Separatisme atau Perjuangan Kemanusiaan?

Radikalisme OPM: Separatisme atau Perjuangan Kemanusiaan?
Sejak 28 April 2013 gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) resmi membuka kantor di Oxford Inggris. Sontak hal itu membuat protes dan keberatan dari pemerintah Indonesia yang dilayangkan pada 4 Mei 2013 kepada pemerintah Inggris. Sikap Inggris yang telah mengakomodir gerakan yang dianggap sebagai gerakan separatis itu dinilai telah  menciderai hubungan bilateral antar kedua negara selama ini. Mungkin memang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk melayangkan protes atas sikap Inggris semacam itu, akan tetapi tepat pulakah bahwa gerakan OPM sejatinya dianggap sebagai gerakan separatis?
Menurut hemat penulis, gerakan OPM semata-mata bukanlah gerakan separatism, melainkan  lebih merupakan sikap protes yang mewakili warga papua  atas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Mereka tidak memperoleh pembagian hasil pembangunan yang adil, padahal Papua telah menjadi penyumbang besar atas hasil tambang bagi pembangunan Indonesia. Menurut data yang disampaikan oleh Sekretariat Kabinet dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hingga 2012, tanah Papua terbukti mengandung cadangan  mencapai 2,52 Miliar ton bijih terdiri dari 0,97 persen Tembaga 0,83 gram/ton emas 4,13 gram/ton perak Maka gerakan OPM adalah bentuk tuntutan hak atas kekayaan alam yang selama ini telah dikuras dan tidak dirasakan oleh warga Papua sendiri.
Data Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Papua  yang dirilis oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2011, menunjukan tingkat rata-rata  kemiskinan di Papua mencapai 36,80 persen lebih tinggi dibanding tingkat rata-rata kemiskinan nasional sebesar 13,33 persen pada tahun 2010 atau jumlah penduduk miskin  di Papua meningkat dari  709.388 jiwa pada tahun 2009 menjadi 972.454 jiwa pada tahun 2010. Kondisi ini terjadi justru ketika jumlah penduduk miskin secara nasional telah mengalami penurunan dari 32.530.000 jiwa pada tahun 2009 menjadi 31.023.390 jiwa pada tahun 2010. Indek Pembangunan Manusia tercatat paling rendah dibanding dengan provinsi lainya dengan angka indek sebesar 64,94 persen dibawah rata-rata nasional sebesar 72,27 persen pada tahun 2010. Dari segi ketahanan pangan pada tahun 2009 tercatat hanya lima daerah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus yaitu Kabupaten/Kota Tolikara, Merauke, Jayawijaya, Waropen dan Yahukimo dari Sembilan belas Kabupaten/Kota yang ada,.
Lebih dari itu, kehadiran PT. Freeport McMoran Indonesia yang telah mengeksplorasi tambang emas, tembaga dan perak disana, mengusai saham sebesar 81,28 persen, sedangkan untuk PT. Indocopper Investama dan Pemerintah Indonesia hanya sebesar 9, 36 persen saja. Bahkan  dengan kegiatan eksplorasinya di Papua dinilai telah banyak memberikan kerugian dibanding manfaat bagi warga Papua sendiri. Menurut Tim Riset Global Future Institute tahun 2009, lahan pertambangan yang dikuasai merupakan lahan gusuran dari tujuh suku adat di pegunungan tengah yang merupakan sumber penghidupan bagi suku adat disana. Disamping itu, limbah yang  dihasilkan telah mencemari lingkungan. Setidaknya 20-40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur akibat pembuangan limbah disana.
Demikianlah kiranya situasi yang dihadapi oleh warga Papua jauh tertinggal di tengah modernisasi pembangunan yang sedang kita jalankan. Ketika telah mencapai pada suatu tingkat ketimpangan pembangunan yang semakin tinggi dirasakan oleh warga Papua, maka pembukaan kantor OPM di Oxford Inggris merupakan puncak dari kekecewaan itu semua. Mereka menyuarakan kemerdekaan bagi Papua dan berharap simpati Dunia Internasional terhadap nasib rakyat mereka yang merasa telah ‘tertindas’  oleh pemerintah mereka sendiri yaitu Indonesia.
Menuju perdamaian demi kemanusiaan
Belajar dari pengalaman penyelesaian konflik beberapa tahun yang silam terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dengan kekuatan senjata, tentunya hanya akan memberikan kerugian bagi negara secara lebih besar. Tentunya dibutuhkan anggaran dari APBN yang cukup besar guna melaksanakan misi tersebut yang sebenarnya lebih berdaya guna untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan persoalan urgent lainnya. Maka dalam hal ini perlu kearifan dalam menyelesaikan kasus gerakan OPM ini. Jalan perundingan merupakan jalan terbaik sebagaimana pengalaman penanganan kasus atas GAM.
Keberhasilan perundingan ini, sangat ditentukan oleh pemahaman akan visi masing – masing pihak, Pemerintah RI dan OPM. Pemerintah RI bervisi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedang OPM bervisi untuk memperjuangkan kemerdekaan dan terlepas dari NKRI. Maka perbedaan visi ini harus dikerangkai dalam nilai kemanusiaa sebagai dasar perundingan. Sebab tidak penting lagi merdeka atau masih menjadi bagian integral dari NKRI, selama nilai-nilai kemanusiaan itu tidak pernah dijunjung tinggi.
Fakta berbicara bahwa selama menjadi wilayah kesatuan NKRI masyarakat Papua masih miskin dan tertinggal dalam pembangunanya. Ini merupakan bukti rasa kemanusiaan yang belum terwujud di papua. Namun demikian, seandainya telah melepaskan diri dari NKRI dan menjadi bangsa yang merdeka, adakah jaminan bahwa rasa kemanusiaan itu juga akan lebih mewujud bagi masyarakat Papua nantinya. Maka apapun cara dan hasil dari penyelesaian konflik yang sudah berkepanjangan ini hendaknya dapat memberikan angin segar dan perubahan yang signifikan bagi Papua yang lebih sejahtera dan lebih humanis. Semoga.


Ngaglik, 15 Mei 2013

FX. Hengki Parahate

Artikel Opini :Membangun Habitus Politik Demi Indonesia

Membangun Habitus Politik Demi Indonesia
Oleh: FX. Hengki Parahate



Politik tak ubahnya merupakan sebuah proses tawar menawar antara para “pengemis”, yang mengemis akan kekuasaan untuk kepentingan mereka. Demikianlah kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi perpolitikan kita saat ini yang penuh diliputi oleh kebohongan karena adanya sandera-menyandera kepentingan para elit politik kita saat ini. Hati nurani telah tertutup oleh napsu kekuasaan yang tamak.
Secara nyata, kondisi ini berdampak pada kondisi hidup manusia di Indonesia yang masih jauh dari sejahtera. Memang benar, tingkat pembangunan ekonomi tumbuh dengan rata-rata sebesar 6 % pertahun, akan tetapi kue pembangunan ekonomi tersebut tidak terbagikan secara nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara nyata kemiskinan juga semakin menonjol dalam lingkungan kita dalam segala bentuknya. Lebih dari itu indikasi keruntuhan nilai – nilai budaya kebangsaan yang santun serta toleran dalam khazanah pluralisme juga semakin luntur adanya. Jelas bagi kita bahwa kondisi tersebut sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan untuk mencapai kesejahteraan yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.   
Berdasarkan situasi kebangsaan tersebut, semakin jelas bagi kita bahwa demokrasi politik yang seharusnya sebagai seperangkat tatanan alat sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan tidak terbukti. Saat ini tiga alat sosial demokrasi dalam bernegara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif telah berbudaya korup. Meminjam istilah Budiharto Sambassy wartawan senior Metro TV, ketiga pilar sistem demokrasi kenegaraan tersebut, disebut sebagai Trias Koruptika.
Demokrasi politik yang telah bergulir saat ini, sebenarnya merupakan bangunan demokrasi politik yang begitu rapuh dan sangat jauh dari visi kesejahteraan rakyat. Sebagaimana kita ketahui bersama, euforia demokrasi pasca tumbangnya rezim orde baru sebenarnya tidak menemui tempat yang tepat. Ibarat sebuah benih, benih demokrasi itu telah tersebar pada tanah yang berbatu. Benih itu tumbuh kemudian mati karena tidak mengakar dengan kuat. Hal ini menunjukan pemahaman demokrasi yang begitu dangkal dalam alam pikir politik kita. Demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan bertindak semau gue tanpa menghiraukan kepentingan hak orang lain maupun umum. Demokrasi hanya menjadi legitimasi bagi mereka yang memiliki modal dan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Maka sesungguhnya demokrasi yang kita bangun ini merupakan demokrasi yang tidak mengakar dari budaya dan karakter kebangsaan kita sendiri. Dia hanya merupakan demokrasi fotocopy Barat yang diterapkan di alam Indonesia yang tidak mengalami kesesuaian dan tetap dipaksakan.
Lebih dari itu, buruknya kinerja bangunan demokrasi politik yang ada saat ini terjadi oleh karena ketiadaan seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan. Politikus memang banyak, Presiden juga punya, tetapi pemimpin tidak kita miliki. Maksdunya sederhana saja, bahwa pemimpin yang kita maksud adalah mereka yang mau melayani bukan dilayani. Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang rela menyerahkan segala-galanya bahkan nyawanya sendiri jika perlu, demi kepentingan bangsa dan negaranya tanpa pamrih mengharapkan imbalan. Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang memiliki keutaman dalam hidup yang berdasar pada cinta terhadap sesama sebagai manusia. Maka pemimpin harus dapat memberdayakan bukan memperdaya sesamanya sendiri (humanis).
Berdasarkan semua hal di atas, persoalannya kemudian adalah bagaimana cara kita membangun model demokrasi politik yang lebih sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa kita? Jawabanya adalah dengan membangun habitus (budaya) politik yang sesuai dengan jiwa kepribadian bangsa kita sendiri. Dan hal ini dapat kita mulai dengan mengelola sistem pendidikan secara benar, yang lebih mengedepankan nilai-nilai humanis dan membangun kesadaran kebangsaan yang kuat. Pendidikan harus dibangun berdasarkan model dialektis antara pendidik dengan anak didik dengan berdasarkan prinsip kemanusiaan. Pendidikan harus mampu mengolah semua manusia yang terlibat didalamnya hingga mencapai pada kesadaran yang praxis. Artinya, mereka menyadari keberadaan mereka sebagai bagian dari entitas sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara, mampu menganalisa persoalan yang ada di lingkungan sekitarnya, serta mampu merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah nyata untuk memperbaiki keadaan yang tidak adil. Karena pendidikan pada dasarnya merupakan proses mengolah manusia secara utuh serta melatih keselarasan dalam cara berfikir dan bertindak untuk mengupayakan situasi yang lebih adil dan beradab bagi kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, harapanya bahwa dari sistem pendidikan tersebut akan dapat melahirkan generasi manusia Indonesia yang dapat dipercaya sebagai pemimpin di masa yang akan datang. Sehingga dengan sumber daya manusia yang sedemikian rupa, pada akhirnya kita akan dapat membangun kepeloporan demokrasi politik yang asli dan benar-benar tumbuh dari akar budaya bangsa kita sendiri, bukan sistem demokrasi fotocopy. Jika hal ini yang terjadi, maka habitus politik yang terbangun juga akan bernfaskan akan falsafah hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila. Maka sistem pendidikan yang diharapakan tersebut, sudah layak dan sepantasnya untuk dapat segera dilakukan dalam rangka membangun keseluruhan sistem demokrasi politik kita secara utuh. Pendidikan merupakan kunci utama.
Namun demikan, upaya tersebut memerlukan sinergi antara seluruh komponen anak bangsa agar dapat berhasil. Diperlukan sinergi dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), institusi penegakan hukum, serta masyarakat secara luas baik tokoh agama, seniman, budayawan dan masyarakat biasa, sehingga dengan segala macam perbedaan yang melekat dalam setiap komponen anak bangsa tersebut merupakan sebuah tantangan. Artinya upaya sinergi ini harus diletakan dalam kerangka mencapai kepentingan bangsa yang lebih mendesak dan sudah menjadi keharusan untuk segera dilakukan. Sebab, jika tidak segera dilakukan maka akan mengancam keberadaban kita sebagai entitas bangsa. Maka seyogyanya khazanah pluralisme yang ada justru dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa, bukan menjadi batu sandungan.