Tuesday, 14 June 2016

Artikel Opini :Membangun Habitus Politik Demi Indonesia

Membangun Habitus Politik Demi Indonesia
Oleh: FX. Hengki Parahate



Politik tak ubahnya merupakan sebuah proses tawar menawar antara para “pengemis”, yang mengemis akan kekuasaan untuk kepentingan mereka. Demikianlah kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi perpolitikan kita saat ini yang penuh diliputi oleh kebohongan karena adanya sandera-menyandera kepentingan para elit politik kita saat ini. Hati nurani telah tertutup oleh napsu kekuasaan yang tamak.
Secara nyata, kondisi ini berdampak pada kondisi hidup manusia di Indonesia yang masih jauh dari sejahtera. Memang benar, tingkat pembangunan ekonomi tumbuh dengan rata-rata sebesar 6 % pertahun, akan tetapi kue pembangunan ekonomi tersebut tidak terbagikan secara nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara nyata kemiskinan juga semakin menonjol dalam lingkungan kita dalam segala bentuknya. Lebih dari itu indikasi keruntuhan nilai – nilai budaya kebangsaan yang santun serta toleran dalam khazanah pluralisme juga semakin luntur adanya. Jelas bagi kita bahwa kondisi tersebut sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan untuk mencapai kesejahteraan yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.   
Berdasarkan situasi kebangsaan tersebut, semakin jelas bagi kita bahwa demokrasi politik yang seharusnya sebagai seperangkat tatanan alat sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan tidak terbukti. Saat ini tiga alat sosial demokrasi dalam bernegara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif telah berbudaya korup. Meminjam istilah Budiharto Sambassy wartawan senior Metro TV, ketiga pilar sistem demokrasi kenegaraan tersebut, disebut sebagai Trias Koruptika.
Demokrasi politik yang telah bergulir saat ini, sebenarnya merupakan bangunan demokrasi politik yang begitu rapuh dan sangat jauh dari visi kesejahteraan rakyat. Sebagaimana kita ketahui bersama, euforia demokrasi pasca tumbangnya rezim orde baru sebenarnya tidak menemui tempat yang tepat. Ibarat sebuah benih, benih demokrasi itu telah tersebar pada tanah yang berbatu. Benih itu tumbuh kemudian mati karena tidak mengakar dengan kuat. Hal ini menunjukan pemahaman demokrasi yang begitu dangkal dalam alam pikir politik kita. Demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan bertindak semau gue tanpa menghiraukan kepentingan hak orang lain maupun umum. Demokrasi hanya menjadi legitimasi bagi mereka yang memiliki modal dan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Maka sesungguhnya demokrasi yang kita bangun ini merupakan demokrasi yang tidak mengakar dari budaya dan karakter kebangsaan kita sendiri. Dia hanya merupakan demokrasi fotocopy Barat yang diterapkan di alam Indonesia yang tidak mengalami kesesuaian dan tetap dipaksakan.
Lebih dari itu, buruknya kinerja bangunan demokrasi politik yang ada saat ini terjadi oleh karena ketiadaan seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan. Politikus memang banyak, Presiden juga punya, tetapi pemimpin tidak kita miliki. Maksdunya sederhana saja, bahwa pemimpin yang kita maksud adalah mereka yang mau melayani bukan dilayani. Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang rela menyerahkan segala-galanya bahkan nyawanya sendiri jika perlu, demi kepentingan bangsa dan negaranya tanpa pamrih mengharapkan imbalan. Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang memiliki keutaman dalam hidup yang berdasar pada cinta terhadap sesama sebagai manusia. Maka pemimpin harus dapat memberdayakan bukan memperdaya sesamanya sendiri (humanis).
Berdasarkan semua hal di atas, persoalannya kemudian adalah bagaimana cara kita membangun model demokrasi politik yang lebih sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa kita? Jawabanya adalah dengan membangun habitus (budaya) politik yang sesuai dengan jiwa kepribadian bangsa kita sendiri. Dan hal ini dapat kita mulai dengan mengelola sistem pendidikan secara benar, yang lebih mengedepankan nilai-nilai humanis dan membangun kesadaran kebangsaan yang kuat. Pendidikan harus dibangun berdasarkan model dialektis antara pendidik dengan anak didik dengan berdasarkan prinsip kemanusiaan. Pendidikan harus mampu mengolah semua manusia yang terlibat didalamnya hingga mencapai pada kesadaran yang praxis. Artinya, mereka menyadari keberadaan mereka sebagai bagian dari entitas sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara, mampu menganalisa persoalan yang ada di lingkungan sekitarnya, serta mampu merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah nyata untuk memperbaiki keadaan yang tidak adil. Karena pendidikan pada dasarnya merupakan proses mengolah manusia secara utuh serta melatih keselarasan dalam cara berfikir dan bertindak untuk mengupayakan situasi yang lebih adil dan beradab bagi kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, harapanya bahwa dari sistem pendidikan tersebut akan dapat melahirkan generasi manusia Indonesia yang dapat dipercaya sebagai pemimpin di masa yang akan datang. Sehingga dengan sumber daya manusia yang sedemikian rupa, pada akhirnya kita akan dapat membangun kepeloporan demokrasi politik yang asli dan benar-benar tumbuh dari akar budaya bangsa kita sendiri, bukan sistem demokrasi fotocopy. Jika hal ini yang terjadi, maka habitus politik yang terbangun juga akan bernfaskan akan falsafah hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila. Maka sistem pendidikan yang diharapakan tersebut, sudah layak dan sepantasnya untuk dapat segera dilakukan dalam rangka membangun keseluruhan sistem demokrasi politik kita secara utuh. Pendidikan merupakan kunci utama.
Namun demikan, upaya tersebut memerlukan sinergi antara seluruh komponen anak bangsa agar dapat berhasil. Diperlukan sinergi dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), institusi penegakan hukum, serta masyarakat secara luas baik tokoh agama, seniman, budayawan dan masyarakat biasa, sehingga dengan segala macam perbedaan yang melekat dalam setiap komponen anak bangsa tersebut merupakan sebuah tantangan. Artinya upaya sinergi ini harus diletakan dalam kerangka mencapai kepentingan bangsa yang lebih mendesak dan sudah menjadi keharusan untuk segera dilakukan. Sebab, jika tidak segera dilakukan maka akan mengancam keberadaban kita sebagai entitas bangsa. Maka seyogyanya khazanah pluralisme yang ada justru dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa, bukan menjadi batu sandungan.



No comments:

Post a Comment