Membangun
Habitus Politik Demi Indonesia
Oleh: FX. Hengki
Parahate
Politik tak ubahnya merupakan sebuah
proses tawar menawar antara para “pengemis”, yang mengemis akan kekuasaan untuk
kepentingan mereka. Demikianlah kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan
kondisi perpolitikan kita saat ini yang penuh diliputi oleh kebohongan karena
adanya sandera-menyandera kepentingan para elit politik kita saat ini. Hati
nurani telah tertutup oleh napsu kekuasaan yang tamak.
Secara nyata, kondisi ini berdampak pada
kondisi hidup manusia di Indonesia yang masih jauh dari sejahtera. Memang
benar, tingkat pembangunan ekonomi tumbuh dengan rata-rata sebesar 6 %
pertahun, akan tetapi kue pembangunan ekonomi tersebut tidak terbagikan secara
nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara nyata kemiskinan juga semakin
menonjol dalam lingkungan kita dalam segala bentuknya. Lebih dari itu indikasi
keruntuhan nilai – nilai budaya kebangsaan yang santun serta toleran dalam
khazanah pluralisme juga semakin luntur adanya. Jelas bagi kita bahwa kondisi
tersebut sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan untuk mencapai
kesejahteraan yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.
Berdasarkan situasi kebangsaan tersebut,
semakin jelas bagi kita bahwa demokrasi politik yang seharusnya sebagai
seperangkat tatanan alat sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
tidak terbukti. Saat ini tiga alat sosial demokrasi dalam bernegara yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif telah berbudaya korup. Meminjam istilah
Budiharto Sambassy wartawan senior Metro TV, ketiga pilar sistem demokrasi
kenegaraan tersebut, disebut sebagai Trias Koruptika.
Demokrasi politik yang telah bergulir
saat ini, sebenarnya merupakan bangunan demokrasi politik yang begitu rapuh dan
sangat jauh dari visi kesejahteraan rakyat. Sebagaimana kita ketahui bersama,
euforia demokrasi pasca tumbangnya rezim orde baru sebenarnya tidak menemui
tempat yang tepat. Ibarat sebuah benih, benih demokrasi itu telah tersebar pada
tanah yang berbatu. Benih itu tumbuh kemudian mati karena tidak mengakar dengan
kuat. Hal ini menunjukan pemahaman demokrasi yang begitu dangkal dalam alam
pikir politik kita. Demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan bertindak semau gue tanpa menghiraukan kepentingan hak
orang lain maupun umum. Demokrasi hanya menjadi legitimasi bagi mereka yang
memiliki modal dan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Maka
sesungguhnya demokrasi yang kita bangun ini merupakan demokrasi yang tidak
mengakar dari budaya dan karakter kebangsaan kita sendiri. Dia hanya merupakan
demokrasi fotocopy Barat yang
diterapkan di alam Indonesia yang tidak mengalami kesesuaian dan tetap
dipaksakan.
Lebih dari itu, buruknya kinerja
bangunan demokrasi politik yang ada saat ini terjadi oleh karena ketiadaan
seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan. Politikus memang banyak, Presiden
juga punya, tetapi pemimpin tidak kita miliki. Maksdunya sederhana saja, bahwa
pemimpin yang kita maksud adalah mereka yang mau melayani bukan dilayani.
Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang rela menyerahkan segala-galanya
bahkan nyawanya sendiri jika perlu, demi kepentingan bangsa dan negaranya tanpa
pamrih mengharapkan imbalan. Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang
memiliki keutaman dalam hidup yang berdasar pada cinta terhadap sesama sebagai
manusia. Maka pemimpin harus dapat memberdayakan bukan memperdaya sesamanya
sendiri (humanis).
Berdasarkan semua hal di atas,
persoalannya kemudian adalah bagaimana cara kita membangun model demokrasi
politik yang lebih sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa kita?
Jawabanya adalah dengan membangun habitus (budaya) politik yang sesuai dengan
jiwa kepribadian bangsa kita sendiri. Dan hal ini dapat kita mulai dengan
mengelola sistem pendidikan secara benar, yang lebih mengedepankan nilai-nilai
humanis dan membangun kesadaran kebangsaan yang kuat. Pendidikan harus dibangun
berdasarkan model dialektis antara pendidik dengan anak didik dengan
berdasarkan prinsip kemanusiaan. Pendidikan harus mampu mengolah semua manusia
yang terlibat didalamnya hingga mencapai pada kesadaran yang praxis. Artinya,
mereka menyadari keberadaan mereka sebagai bagian dari entitas sosial dalam
hidup berbangsa dan bernegara, mampu menganalisa persoalan yang ada di
lingkungan sekitarnya, serta mampu merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah
nyata untuk memperbaiki keadaan yang tidak adil. Karena pendidikan pada
dasarnya merupakan proses mengolah manusia secara utuh serta melatih
keselarasan dalam cara berfikir dan bertindak untuk mengupayakan situasi yang
lebih adil dan beradab bagi kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, harapanya bahwa dari
sistem pendidikan tersebut akan dapat melahirkan generasi manusia Indonesia
yang dapat dipercaya sebagai pemimpin di masa yang akan datang. Sehingga dengan
sumber daya manusia yang sedemikian rupa, pada akhirnya kita akan dapat
membangun kepeloporan demokrasi politik yang asli dan benar-benar tumbuh dari
akar budaya bangsa kita sendiri, bukan sistem demokrasi fotocopy. Jika hal ini yang terjadi, maka habitus politik yang
terbangun juga akan bernfaskan akan falsafah hidup bangsa Indonesia yakni
Pancasila. Maka sistem pendidikan yang diharapakan tersebut, sudah layak dan
sepantasnya untuk dapat segera dilakukan dalam rangka membangun keseluruhan
sistem demokrasi politik kita secara utuh. Pendidikan merupakan kunci utama.
Namun demikan, upaya tersebut memerlukan
sinergi antara seluruh komponen anak bangsa agar dapat berhasil. Diperlukan
sinergi dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), institusi penegakan
hukum, serta masyarakat secara luas baik tokoh agama, seniman, budayawan dan
masyarakat biasa, sehingga dengan segala macam perbedaan yang melekat dalam
setiap komponen anak bangsa tersebut merupakan sebuah tantangan. Artinya upaya
sinergi ini harus diletakan dalam kerangka mencapai kepentingan bangsa yang
lebih mendesak dan sudah menjadi keharusan untuk segera dilakukan. Sebab, jika
tidak segera dilakukan maka akan mengancam keberadaban kita sebagai entitas
bangsa. Maka seyogyanya khazanah pluralisme yang ada justru dapat menjadi kekuatan
pemersatu bangsa, bukan menjadi batu sandungan.
No comments:
Post a Comment