Partai Politik
dan Pembangunan
Sebagaimana telah tertuang dalam pembukaan UUD 1945
alinea ke – IV, salah satu tujuan adalah menciptakan kesejahteraan umum bagi
seluruh takyat Indonesia dengan berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan
beradab. Pada dasarnya pembangunan itu sendiri meliputi pembangunan dalam aspek
ekonomi, aspek sosial serta aspek politik. Maka tolok ukur untuk melihat
tingkat keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari tingkat kualitas kehidupan
ekonomi, sosial maupun politik dari masyarakat yang ada.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham welfare state, hendaknya mengatur
sedemikian rupa sistem dan perangkat penyelenggaraan negara guna mendorong
pencapaian tujuan dari pembangunan itu sendiri. Oleh Karena itu, sistem dan
perangkat penyelenggaraan negara baik dalam bentuk sistem pemerintahan, hukum
dan lembaga kenegaraan harus dapat menunjang bagi pembangunan kesejahteraan
masyarakat.
Dengan melihat situasi dan perkembangan pembangunan
dewasa ini, nampaknya kualitas pembangunan di negara kita ini masih rendah. Pembangunan
itu sendiri pada dasarnya meliputi pebangunan pada aspek ekonomi maupun sosial-politik.
Maka tanpa mengesampingkan peran penting pembangunan pada aspek ekonomi yang
ada, pembangunan demokrasi sebagai bagian pembangunan nasional pada aspek sosial-politik
, kiranya menjadi isu yang amat penting dewasa ini. Ya, sadar atau tidak sadar
sistem demokrasi yang telah berhasil diperjuangkan pasca reformasi, kini tidak cukup memberikan angin
perubahan pada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrasi yang kita
capai ini tidak dipahami secara benar dan semestinya.
Sebagaimana kita ketahui akhir-akhir ini tentang adanya wacana pembubaran partai politik. Isu
ini berkembang seiring sejalan dengan semakin banyaknya beberapa kasus besar korupsi yang menjerat
para petinggi partai yang terkuak. Dari kasus Hambalang yang menyeret nama
Nazarudin, Angelina sondakh, Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum, dimana
semua itu merupakan politisi dan petinggi partai demokrat. Sedangkan kasus
paling terkini adalah kasus suap impor daging yang menyeret nama mantan
presiden PKS Lutfi Hasan Isqak serta Ahmad Fatanah. Namun perilaku korupsi para
kader partai politik di Indonesia tidak hanya menjangkiti kedua partai
tersebut, hampir sebagian besar partai politik yang ada saat ini juga
terjangkiti perilaku korup tersebut. Hanya waktu dan soalnya saja yang
membedakan, serta ada tidaknya kesempatan. Dan kesempatan untuk melakukan
korupsi itu identik dengan adanya kekuasaan. Hampir tidak mungkin rasanya bagi
kita untuk menemukan partai politik yang benar-benar bersih sepak terjangnya
dalam sistem perpolitikan kita dewasa ini.
Kondisi
demikian merupakan siyalemen yang menunjukan kepada kita akan kemunduran demokrasi. Partai politik sebagai
salah satu pilar demokrasi yang ada, selama ini telah menunjukan perilaku
kontra-produktif akan cita –cita demokrasi yaitu memajukan kepentingan rakyat melalui kekuasan
dari rakyat, oleh rakyat dan kepada rakyat. Namun, dalam
era demokrasi yang berkembang dewasa ini, partai politik kurang
merepresentasikan kepentingan rakyat selain kepentingan golongan atau kelompok untuk mencapai kekuasaan. Rakyat tak lebih
sebagai komoditas politik semata.
Lebih dari itu, partai politik dewasa ini tidak
memiliki urat malu. Lihat
saja reaksi para petinggi partai-partai politik menghadapi aksi yang dilakukan
KPK dalam pengusutan kasus korupsi yang menimpa kader partai politik yang bersangkutan. Pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonya
seperti tidak berlaku bagi partai politik. Dengan berbagai upaya mereka
bersikeras menunjukan bahwa perilaku korup kadernya lebih merupakan persoalan
orang – perorang, melemparkan tanggung jawab moral partai atas kewajiban membentuk
serta menjaga moralitas para kadernya sebagai organisasi secara utuh. Mereka menggunakan hukum sebagai jalur untuk membela
kebenaran menurut mereka sendiri.
Demikanlah
kiranya kebenaran itu bagi masyarakat awam seperti kita yang sangat bertolak
belakang dengan kebenaran menurut partai politik kebanyakan tentang hakikat partai politik. Gila akan kekuasaan
dan berperilaku korup merupakan dua hal yang erat berasosiasi dengan entitas
partai politik saat ini. Itulah kebenaran bagi rakyat. Sedang kebenaran bagi partai politik adalah
perlindungan akan eksistensi partai meski berperilaku korup dengan dalih
demokrasi. Maka sesungguhnya memang terjadi ketidaktersambungan antara partai
politik dengan rakyat secara signifikan dalam membangun
demokrasi, sebaliknya partai tak lebih dari sebuah kebohongan
demokrasi bagi rakyat. Inilah wajah demokrasi kita adanya.
Oleh
karena itu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia, perlu adanya
upaya pembangunan demokrasi yang semestinya dengan merubah mindset dan
budaya dari partai politik yang ada saat ini tentang kebenaran akan demokrasi. Dimana rakyat
adalah substansi dari sistem demokrasi tersebut. Namun kebenaran saat ini
adalah kepunyaan mereka yang memiliki kekuasaan bukan kepunyaan rakyat karena
rakyat sendiri tidak memiliki kekuasaan. Inilah bangunan demokrasi berlandaskan
kebenaran kekuasaan sehingga rakyat tidak lagi menjadi bagian substansi
melainkan bagian yang tersubordinat dari kekuasaan politik dan hanya merupakan komoditas politik. Maka usaha ini tentunya tidak
akan mudah tercapai dalam waktu yang singkat.
Perubahan mindset
atau cara berfikir parpol tentang demokrasi dapat terwujud apabila setiap partai
politik yang ada saat ini dapat merombak segala perilaku dan budaya partai yang
cenderung feodalistis patronis. Berbicara PDIP tentu maka Megawati Soekarno
Putrilah sebagai titik sentral setiap kebijakan dan sikap partai.
Demikianhalnya dengan Partai Demokrat,
SBY-lah sang aktor utama dari setiap kebijakan dan sikap partai tersebut.
Kondisi inilah yang menyebakan mesin regenerasi partai politik cenderung macet,
sehingga partai politik tidak progresive
sebagai penggerak dalam pembangunan demokrasi kita.
Dengan demikian, ditengah gencaran wacana pembubaran
akan partai politik yang berperilakuk korup dewasa ini, serta menjelang
persiapan pesta demokrasi untuk menentukan para calon wakil rakyat dan presiden
pada 2014 mendatang, hendaknya partai politik menginsyafkan diri dengan
melakukan berbagai upaya perbaikan dan pembenahan sistem partai yang rusak,
daripada hanya melakukan manuver-manuver politik untuk pencitraan. Semoga.
FX. Hengki
Parahate
Ngaglik,
Jogjakarta, 2013
No comments:
Post a Comment