Tuesday, 14 June 2016

Artikel Opini : Radikalisme OPM: Separatisme atau Perjuangan Kemanusiaan?

Radikalisme OPM: Separatisme atau Perjuangan Kemanusiaan?
Sejak 28 April 2013 gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) resmi membuka kantor di Oxford Inggris. Sontak hal itu membuat protes dan keberatan dari pemerintah Indonesia yang dilayangkan pada 4 Mei 2013 kepada pemerintah Inggris. Sikap Inggris yang telah mengakomodir gerakan yang dianggap sebagai gerakan separatis itu dinilai telah  menciderai hubungan bilateral antar kedua negara selama ini. Mungkin memang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk melayangkan protes atas sikap Inggris semacam itu, akan tetapi tepat pulakah bahwa gerakan OPM sejatinya dianggap sebagai gerakan separatis?
Menurut hemat penulis, gerakan OPM semata-mata bukanlah gerakan separatism, melainkan  lebih merupakan sikap protes yang mewakili warga papua  atas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Mereka tidak memperoleh pembagian hasil pembangunan yang adil, padahal Papua telah menjadi penyumbang besar atas hasil tambang bagi pembangunan Indonesia. Menurut data yang disampaikan oleh Sekretariat Kabinet dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hingga 2012, tanah Papua terbukti mengandung cadangan  mencapai 2,52 Miliar ton bijih terdiri dari 0,97 persen Tembaga 0,83 gram/ton emas 4,13 gram/ton perak Maka gerakan OPM adalah bentuk tuntutan hak atas kekayaan alam yang selama ini telah dikuras dan tidak dirasakan oleh warga Papua sendiri.
Data Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Papua  yang dirilis oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2011, menunjukan tingkat rata-rata  kemiskinan di Papua mencapai 36,80 persen lebih tinggi dibanding tingkat rata-rata kemiskinan nasional sebesar 13,33 persen pada tahun 2010 atau jumlah penduduk miskin  di Papua meningkat dari  709.388 jiwa pada tahun 2009 menjadi 972.454 jiwa pada tahun 2010. Kondisi ini terjadi justru ketika jumlah penduduk miskin secara nasional telah mengalami penurunan dari 32.530.000 jiwa pada tahun 2009 menjadi 31.023.390 jiwa pada tahun 2010. Indek Pembangunan Manusia tercatat paling rendah dibanding dengan provinsi lainya dengan angka indek sebesar 64,94 persen dibawah rata-rata nasional sebesar 72,27 persen pada tahun 2010. Dari segi ketahanan pangan pada tahun 2009 tercatat hanya lima daerah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus yaitu Kabupaten/Kota Tolikara, Merauke, Jayawijaya, Waropen dan Yahukimo dari Sembilan belas Kabupaten/Kota yang ada,.
Lebih dari itu, kehadiran PT. Freeport McMoran Indonesia yang telah mengeksplorasi tambang emas, tembaga dan perak disana, mengusai saham sebesar 81,28 persen, sedangkan untuk PT. Indocopper Investama dan Pemerintah Indonesia hanya sebesar 9, 36 persen saja. Bahkan  dengan kegiatan eksplorasinya di Papua dinilai telah banyak memberikan kerugian dibanding manfaat bagi warga Papua sendiri. Menurut Tim Riset Global Future Institute tahun 2009, lahan pertambangan yang dikuasai merupakan lahan gusuran dari tujuh suku adat di pegunungan tengah yang merupakan sumber penghidupan bagi suku adat disana. Disamping itu, limbah yang  dihasilkan telah mencemari lingkungan. Setidaknya 20-40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur akibat pembuangan limbah disana.
Demikianlah kiranya situasi yang dihadapi oleh warga Papua jauh tertinggal di tengah modernisasi pembangunan yang sedang kita jalankan. Ketika telah mencapai pada suatu tingkat ketimpangan pembangunan yang semakin tinggi dirasakan oleh warga Papua, maka pembukaan kantor OPM di Oxford Inggris merupakan puncak dari kekecewaan itu semua. Mereka menyuarakan kemerdekaan bagi Papua dan berharap simpati Dunia Internasional terhadap nasib rakyat mereka yang merasa telah ‘tertindas’  oleh pemerintah mereka sendiri yaitu Indonesia.
Menuju perdamaian demi kemanusiaan
Belajar dari pengalaman penyelesaian konflik beberapa tahun yang silam terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dengan kekuatan senjata, tentunya hanya akan memberikan kerugian bagi negara secara lebih besar. Tentunya dibutuhkan anggaran dari APBN yang cukup besar guna melaksanakan misi tersebut yang sebenarnya lebih berdaya guna untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan persoalan urgent lainnya. Maka dalam hal ini perlu kearifan dalam menyelesaikan kasus gerakan OPM ini. Jalan perundingan merupakan jalan terbaik sebagaimana pengalaman penanganan kasus atas GAM.
Keberhasilan perundingan ini, sangat ditentukan oleh pemahaman akan visi masing – masing pihak, Pemerintah RI dan OPM. Pemerintah RI bervisi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedang OPM bervisi untuk memperjuangkan kemerdekaan dan terlepas dari NKRI. Maka perbedaan visi ini harus dikerangkai dalam nilai kemanusiaa sebagai dasar perundingan. Sebab tidak penting lagi merdeka atau masih menjadi bagian integral dari NKRI, selama nilai-nilai kemanusiaan itu tidak pernah dijunjung tinggi.
Fakta berbicara bahwa selama menjadi wilayah kesatuan NKRI masyarakat Papua masih miskin dan tertinggal dalam pembangunanya. Ini merupakan bukti rasa kemanusiaan yang belum terwujud di papua. Namun demikian, seandainya telah melepaskan diri dari NKRI dan menjadi bangsa yang merdeka, adakah jaminan bahwa rasa kemanusiaan itu juga akan lebih mewujud bagi masyarakat Papua nantinya. Maka apapun cara dan hasil dari penyelesaian konflik yang sudah berkepanjangan ini hendaknya dapat memberikan angin segar dan perubahan yang signifikan bagi Papua yang lebih sejahtera dan lebih humanis. Semoga.


Ngaglik, 15 Mei 2013

FX. Hengki Parahate

No comments:

Post a Comment