Radikalisme OPM: Separatisme atau
Perjuangan Kemanusiaan?
Sejak
28 April 2013 gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) resmi membuka kantor di
Oxford Inggris. Sontak hal itu membuat protes dan keberatan dari pemerintah
Indonesia yang dilayangkan pada 4 Mei 2013 kepada pemerintah Inggris. Sikap
Inggris yang telah mengakomodir gerakan yang dianggap sebagai gerakan separatis
itu dinilai telah menciderai hubungan
bilateral antar kedua negara selama ini. Mungkin memang tepat bagi pemerintah
Indonesia untuk melayangkan protes atas sikap Inggris semacam itu, akan tetapi
tepat pulakah bahwa gerakan OPM sejatinya dianggap sebagai gerakan separatis?
Menurut
hemat penulis, gerakan OPM semata-mata bukanlah gerakan separatism, melainkan lebih merupakan sikap protes yang mewakili
warga papua atas perlakuan tidak adil
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Mereka tidak memperoleh
pembagian hasil pembangunan yang adil, padahal Papua telah menjadi penyumbang
besar atas hasil tambang bagi pembangunan Indonesia. Menurut data yang
disampaikan oleh Sekretariat Kabinet dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hingga 2012, tanah Papua terbukti
mengandung cadangan mencapai 2,52 Miliar ton bijih
terdiri dari 0,97 persen Tembaga 0,83 gram/ton emas 4,13 gram/ton perak Maka
gerakan OPM adalah bentuk tuntutan hak atas kekayaan alam yang selama ini telah
dikuras dan tidak dirasakan oleh warga Papua sendiri.
Data
Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Papua
yang dirilis oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K) tahun 2011, menunjukan tingkat rata-rata kemiskinan di Papua mencapai 36,80 persen
lebih tinggi dibanding tingkat rata-rata kemiskinan nasional sebesar 13,33
persen pada tahun 2010 atau jumlah penduduk miskin di Papua meningkat dari 709.388 jiwa pada tahun 2009 menjadi 972.454
jiwa pada tahun 2010. Kondisi ini terjadi justru ketika jumlah penduduk miskin
secara nasional telah mengalami penurunan dari 32.530.000 jiwa pada tahun 2009
menjadi 31.023.390 jiwa pada tahun 2010. Indek Pembangunan Manusia tercatat
paling rendah dibanding dengan provinsi lainya dengan angka indek sebesar 64,94
persen dibawah rata-rata nasional sebesar 72,27 persen pada tahun 2010. Dari
segi ketahanan pangan pada tahun 2009 tercatat hanya lima daerah Kabupaten/Kota
yang mengalami surplus yaitu Kabupaten/Kota Tolikara, Merauke, Jayawijaya,
Waropen dan Yahukimo dari Sembilan belas Kabupaten/Kota yang ada,.
Lebih
dari itu, kehadiran PT. Freeport McMoran Indonesia yang telah mengeksplorasi tambang
emas, tembaga dan perak disana, mengusai saham sebesar 81,28 persen, sedangkan
untuk PT. Indocopper Investama dan Pemerintah Indonesia hanya sebesar 9, 36
persen saja. Bahkan dengan kegiatan
eksplorasinya di Papua dinilai telah banyak memberikan kerugian dibanding
manfaat bagi warga Papua sendiri. Menurut Tim Riset Global Future Institute
tahun 2009, lahan pertambangan yang dikuasai merupakan lahan gusuran dari tujuh
suku adat di pegunungan tengah yang merupakan sumber penghidupan bagi suku adat
disana. Disamping itu, limbah yang
dihasilkan telah mencemari lingkungan. Setidaknya 20-40 km bentang sungai
Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur akibat pembuangan
limbah disana.
Demikianlah
kiranya situasi yang dihadapi oleh warga Papua jauh tertinggal di tengah
modernisasi pembangunan yang sedang kita jalankan. Ketika telah mencapai pada
suatu tingkat ketimpangan pembangunan yang semakin tinggi dirasakan oleh warga
Papua, maka pembukaan kantor OPM di Oxford Inggris merupakan puncak dari
kekecewaan itu semua. Mereka menyuarakan kemerdekaan bagi Papua dan berharap
simpati Dunia Internasional terhadap nasib rakyat mereka yang merasa telah
‘tertindas’ oleh pemerintah mereka
sendiri yaitu Indonesia.
Menuju
perdamaian demi kemanusiaan
Belajar
dari pengalaman penyelesaian konflik beberapa tahun yang silam terhadap Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dengan kekuatan senjata, tentunya hanya akan
memberikan kerugian bagi negara secara lebih besar. Tentunya dibutuhkan
anggaran dari APBN yang cukup besar guna melaksanakan misi tersebut yang
sebenarnya lebih berdaya guna untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan
persoalan urgent lainnya. Maka dalam
hal ini perlu kearifan dalam menyelesaikan kasus gerakan OPM ini. Jalan
perundingan merupakan jalan terbaik sebagaimana pengalaman penanganan kasus
atas GAM.
Keberhasilan
perundingan ini, sangat ditentukan oleh pemahaman akan visi masing – masing
pihak, Pemerintah RI dan OPM. Pemerintah RI bervisi untuk mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sedang OPM bervisi untuk memperjuangkan
kemerdekaan dan terlepas dari NKRI. Maka perbedaan visi ini harus dikerangkai
dalam nilai kemanusiaa sebagai dasar perundingan. Sebab tidak penting lagi
merdeka atau masih menjadi bagian integral dari NKRI, selama nilai-nilai kemanusiaan
itu tidak pernah dijunjung tinggi.
Fakta
berbicara bahwa selama menjadi wilayah kesatuan NKRI masyarakat Papua masih
miskin dan tertinggal dalam pembangunanya. Ini merupakan bukti rasa kemanusiaan
yang belum terwujud di papua. Namun demikian, seandainya telah melepaskan diri
dari NKRI dan menjadi bangsa yang merdeka, adakah jaminan bahwa rasa
kemanusiaan itu juga akan lebih mewujud bagi masyarakat Papua nantinya. Maka
apapun cara dan hasil dari penyelesaian konflik yang sudah berkepanjangan ini
hendaknya dapat memberikan angin segar dan perubahan yang signifikan bagi Papua
yang lebih sejahtera dan lebih humanis. Semoga.
Ngaglik, 15 Mei 2013
FX. Hengki Parahate
No comments:
Post a Comment