Agama
dan Religiousitas
Semua agama yang ada di
dunia ini tidaklah sama (sinkretisme). Masing masing memiliki ciri yang khas
dan unik yang tidak patut untuk diperdebatkan atau pun dihina dengan alasan
apapun. Ibarat manusia, agama merupakan manusia – manusia yang berbeda baik
secara fisik maupun rohani yang melekat pada manusia – manusia itu. Keberadaan
manusia dengan segala yang melekatnya padanya itulah, merupakan ciri yang khas
dari setiap pribadi yang harus dihormati dan dihargai sebagai hak yang paling
hakiki. Demikian halnya agama. Meski berbeda cara, budaya/ritus keagamaan,
bahkan isi ajaranya, harus ditempatkan sebagai sesuatu yang hakiki yang perlu
dihargai dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia yang berbudaya.
Meski agama memiliki kekhasan,
dan cara pandang yang berbeda – beda, namun semua agama di dunia ini memiliki
muara yang sama, yaitu menuju pada Tuhan, Allah, Bapa, Yahwe, Sang Hyang Widhi,
Tuhan Yang Esa. Dalam hal inilah cara yang digunakan oleh setiap agama berbeda
– beda. Namun demikian, pada intinya sama (bukan dalam pengertian sinkretisme),
bahwa agama memberikan cara pandang, cara mendoa, cara pengaktualisasian ajaran
agama yang tertuju pada penganggungan Tuhan yang disebut dengan berbagai
sebutan. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana itu pengagungan Tuhan?
Semua agama mengakui
bahwa Tuhan merupakan pencipta kehidupan ini dengan segala yang ada dengan
baik, termasuk diri kita. Maka pengagungan itu dapat kita lakukan dengan
menjaga segala sesuatu ciptaan-Nya yang sejak awal mulanya memang sudah baik
adanya. Menjaga alam semesta, hewan, tumbuhan, bahkan saling menjaga dan
mengasihi sesama manusia yang adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Dalam
konteks inilah, terkadang manusia – manusia yang beragama tidak penuh memahami
ajaranya masing – masing, sehingga dalam usaha pengagunga Tuhan ini,
menimbulkan konflik – konflik yang sebenarnya disayangkan. Dengan demikian,
persoalanya bukan terletak pada agama beserta ajaranya, akan tetapi manusia –
manusia yang kurang memahami ajaran masing – masing sehingga menumbuhkan sikap
fanatik sempit.
Penghayatan
agama dan aktualisasi agama
Pemahaman agama yang
baik mustahil dapat tercapai apabila tanpa dibarengai penghayatan agama yang
sungguh – sungguh. Dalam rangka inilah, sekiranya dapat kita sadari tingkatan
penghayatan dari setiap agama yang akan sangat berpengaruh pada
pengaktualisasian penghayatan akan agama. Tingkatan tersebut dapat terbagi
menjadi 3 tingkatan yaitu tingkatan teoritis, tingkatan ritual budaya, dan
tingkatan praxis.
Tingkatan teoritis
adalah tingkat penghayatan agama yang dilakukan oleh individu maupun kelompok
dengan cara hanya memahami isi ajaran agama saja. Contoh orang membaca kitab
suci, mempelajari ajaran agama sehingga dia sungguh memahami isi ajaran agama
yang dianutnya. Akan tetapi hanya sebatas memahami isi ajaran saja.
Pada tingkatan yang
kedua yaitu tingkatan ritus budaya adalah tingkat penghayatan agama oleh
individu atau kelompok yang telah memahami isi ajaran agamanya lalu
mempraktikannya dalam bentuk – bentuk ritual dan budaya peribadahan agama.
Sedangkan pada tingkat yang ketiga yaitu penghayatan agama secara praxis yang
adalah penghayatan agama oleh individu maupun kelompok untuk mewujudnyatakan
isi ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari agar peranan agama sebagai
tuntunan bagi kehidupan manusia sungguh dapat dirasakan. Dalam konteks inilah
agama akan menjadi semakin relevan bagi kehidupan manusia, bukan sebagai candu
masyarakat sebagaimana yang dituduhkan. Dalam proses praxis
inilah terkadang ditemui berbagai macam hambatan. Bisa dikatakan bahwa setiap
agama berangkat dari cara pandang yang berbeda sesuai dengan kekhasanya masing
– masing, yang memang terkadang tidak bisa disinkretiskan. Maka titik temunya
adalah pada tingkat religiousitasnya.
Religiousitas (keberagaman)
adalah derajat keterkaitan seseorang dengan nilai – nilai agama, keyakinan dan
kemampuanya dalam mempraktikan serta menggunakannya dalam kehidupan keseharian
(Worthington Jr, et al, The Religious
Comitment Investor, 2003). Menurut Mohamad Nuh (Jawa Pos, Selasa, 5 Juli
2016), menjelaskan bahwa pengabaian (ketidakpedulian) terhadap urusan
kemasyarakatan bisa dikategorikan pendustaan terhadap agama. Dari pengertian –
pengertian tersebut, maka dapat kita pahami bahwa kualitas relgiousitas
seseorang dapat dilihat dan ditentukan dari peranya untuk mau terlibat dalam
menangani persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan,
serta ketidakadilan. Demikianlah harapanya.
No comments:
Post a Comment