Tuesday, 11 October 2016

Artikel Opini : Agama dan Religiousitas

Agama dan Religiousitas
(FX. Hengki Parahate)

Semua agama yang ada di dunia ini tidaklah sama (sinkretisme). Masing masing memiliki ciri yang khas dan unik yang tidak patut untuk diperdebatkan atau pun dihina dengan alasan apapun. Ibarat manusia, agama merupakan manusia – manusia yang berbeda baik secara fisik maupun rohani yang melekat pada manusia – manusia itu. Keberadaan manusia dengan segala yang melekatnya padanya itulah, merupakan ciri yang khas dari setiap pribadi yang harus dihormati dan dihargai sebagai hak yang paling hakiki. Demikian halnya agama. Meski berbeda cara, budaya/ritus keagamaan, bahkan isi ajaranya, harus ditempatkan sebagai sesuatu yang hakiki yang perlu dihargai dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia yang berbudaya.

Meski agama memiliki kekhasan, dan cara pandang yang berbeda – beda, namun semua agama di dunia ini memiliki muara yang sama, yaitu menuju pada Tuhan, Allah, Bapa, Yahwe, Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Esa. Dalam hal inilah cara yang digunakan oleh setiap agama berbeda – beda. Namun demikian, pada intinya sama (bukan dalam pengertian sinkretisme), bahwa agama memberikan cara pandang, cara mendoa, cara pengaktualisasian ajaran agama yang tertuju pada penganggungan Tuhan yang disebut dengan berbagai sebutan. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana itu pengagungan Tuhan?

Semua agama mengakui bahwa Tuhan merupakan pencipta kehidupan ini dengan segala yang ada dengan baik, termasuk diri kita. Maka pengagungan itu dapat kita lakukan dengan menjaga segala sesuatu ciptaan-Nya yang sejak awal mulanya memang sudah baik adanya. Menjaga alam semesta, hewan, tumbuhan, bahkan saling menjaga dan mengasihi sesama manusia yang adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Dalam konteks inilah, terkadang manusia – manusia yang beragama tidak penuh memahami ajaranya masing – masing, sehingga dalam usaha pengagunga Tuhan ini, menimbulkan konflik – konflik yang sebenarnya disayangkan. Dengan demikian, persoalanya bukan terletak pada agama beserta ajaranya, akan tetapi manusia – manusia yang kurang memahami ajaran masing – masing sehingga menumbuhkan sikap fanatik sempit.

Penghayatan agama dan aktualisasi agama

Pemahaman agama yang baik mustahil dapat tercapai apabila tanpa dibarengai penghayatan agama yang sungguh – sungguh. Dalam rangka inilah, sekiranya dapat kita sadari tingkatan penghayatan dari setiap agama yang akan sangat berpengaruh pada pengaktualisasian penghayatan akan agama. Tingkatan tersebut dapat terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu tingkatan teoritis, tingkatan ritual budaya, dan tingkatan praxis.

Tingkatan teoritis adalah tingkat penghayatan agama yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan cara hanya memahami isi ajaran agama saja. Contoh orang membaca kitab suci, mempelajari ajaran agama sehingga dia sungguh memahami isi ajaran agama yang dianutnya. Akan tetapi hanya sebatas memahami isi ajaran saja.

Pada tingkatan yang kedua yaitu tingkatan ritus budaya adalah tingkat penghayatan agama oleh individu atau kelompok yang telah memahami isi ajaran agamanya lalu mempraktikannya dalam bentuk – bentuk ritual dan budaya peribadahan agama. Sedangkan pada tingkat yang ketiga yaitu penghayatan agama secara praxis yang adalah penghayatan agama oleh individu maupun kelompok untuk mewujudnyatakan isi ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari agar peranan agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia sungguh dapat dirasakan. Dalam konteks inilah agama akan menjadi semakin relevan bagi kehidupan manusia, bukan sebagai candu masyarakat sebagaimana yang dituduhkan. Dalam proses praxis inilah terkadang ditemui berbagai macam hambatan. Bisa dikatakan bahwa setiap agama berangkat dari cara pandang yang berbeda sesuai dengan kekhasanya masing – masing, yang memang terkadang tidak bisa disinkretiskan. Maka titik temunya adalah pada tingkat religiousitasnya.


Religiousitas (keberagaman) adalah derajat keterkaitan seseorang dengan nilai – nilai agama, keyakinan dan kemampuanya dalam mempraktikan serta menggunakannya dalam kehidupan keseharian (Worthington Jr, et al, The Religious Comitment Investor, 2003). Menurut Mohamad Nuh (Jawa Pos, Selasa, 5 Juli 2016), menjelaskan bahwa pengabaian (ketidakpedulian) terhadap urusan kemasyarakatan bisa dikategorikan pendustaan terhadap agama. Dari pengertian – pengertian tersebut, maka dapat kita pahami bahwa kualitas relgiousitas seseorang dapat dilihat dan ditentukan dari peranya untuk mau terlibat dalam menangani persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, serta ketidakadilan. Demikianlah harapanya.

No comments:

Post a Comment