Tuesday, 20 December 2016

Pendidikan dan Korupsi

Pendidikan dan Korupsi
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukan pendidikan sama sekali” Aristoteles, Filsuf Yunani.
Sumber Gambar :https://www.flickr.com/photos/87913776@N00/4363265760

Dalam kepustakaan pendidikan, A. Coleman menyatakan bahwa fungsi pendidikan sebagai sarana pengembangan dan pertumbuhan ekonomi, sarana sosialisai nilai dan rekonstruksi sosial, serta sarana penyadaran dan pembangunan politik (A. Coleman, “Education and the Political Development”, Princeton, New Jersey, 1969). Maka pendidikan pada dasarnya merupakan aspek sentral yang akan menentukan wajah pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang. Sebab, pendidikan hakikatnya proses menggarap realitas masyarakat, sehingga terjadi refleksi dan aksi guna memperbaiki realitas masyarakat yang kurang manusiawi agar lebih manusiawi.
Menurut Budi Setiyono dalam Jurnal Politika, Vol. I, No. 1, April 2010 berjudul Korupsi, Transisi Demokrasi & Peran Organisasi Civil Society, secara umum, korupsi biasanya digambarkan sebagai perilaku yang melibatkan penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber-sumber kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Rose- Ackerman 1978; Moodie 1980; Andvig et al 2000: 11; Huther & Syah 2000: 1). Dalam spektrum ini, seperti Shah & Schacter (2004) berpendapat, korupsi bisa meliputi tiga jenis kategori luas: (a) „grand corruption‟, yaitu sejumlah kecil pejabat melakukan pencurian atau penyalahgunaan sejumlah besar sumber daya publik, (b) „state or „regulatory capture‟, yaitu kolusi yang dilakukan oleh lembaga publik dengan swasta untuk memperoleh keuntungan pribadi, dan (c) „bureaucratic or petty corruption‟, yaitu keterlibatan sejumlah besar pejabat publik dalam menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan sogokan kecil atau uang semir.
Berdasarkan pengertian – pengertian di atas, kita dapat memahami relasi yang kuat antara proses pendidikan dengan persoalan korupsi. Dalam hal ini, saya kira semua sepakat bahwa korupsi merupakan persoalan budaya bangsa yang sudah mengakar dan sangat sulit untuk diberantas meskipun sudah ada lembaga „ad hoc‟ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beserta payung hukumnya. Namun nampaknya perilaku korupsi semakin marak dan berevolusi dan bentuk dan cara – cara yang semakin komplek. Di sisi lain, budaya korupsi yang sudah membudaya tersebut, menunjukan kegagalan proses pendidikan kita selama ini. Mengapa demikian? Jelas bahwa pendidikan sebagaimana diungkapkan di atas bermaksud untuk membentuk karakter/watak kepribadian bangsa yang manusiawi dan bermartabat. Artinya dalam pendidikan berusaha untuk membantu setiap pribadi memiliki watak keutamaan hidup yang bermartabat, salah satunya perilaku hidup jujur yang mengarah pada perilaku anti pada tindakan korupsi.
Melihat persoalan tersebut, pertanyaannya kemudian adalah masihkah budaya korupsi itu kita minimalisir dan pelan – pelan akan menjadi hilang? Kedua, cara apakah yang paling efektif untuk mewujudkannya?
Pendidikan sebagai sarana pembudayaan anti korupsi
Guna menjawab tantangan tersebut, menurut penulis sangat mungkin untuk secara perlahan menghilangkan budaya korupsi tersebut, dan caranya adalah dengan membangun kebiasaan atau habitus hidup anti korupsi. Semua ini dapat dilakukan melalui proses pendidikan baik secara formal dan informal (keluarga). Hal ini bukan tanpa alasan, sebab korupsi merupakan perilaku yang tidak manusiawi, tidak bermartabat, dan tidak beradab. Perilaku ini dapat kita hilangkan dengan dibantu memalui proses pendidikan yang tidak hanya mengolah pikiran tetapi juga hati. Pertanyaannya kemudian, sudahkah pendidikan kita juga mengolah hati?
Diakui atau tidak, sadar atau tidak sadar, sebagai insan pendidikan yang berkecimpung dalam proses pendidikan itu sendiri, kita melihat dan mengalami bahkan melakukan proses pendidikan yang lebih mengutamakan pikiran (akademik dan kognitif), tetapi kurang menekankan pada aspek afektifnya (mengolah hati). Hal ini terjadi karena tuntutan sistem kehidupan bangsa yang hanya memaknai dan membingkai pendidikan bergitu sempit pada aspek nilai. Sederhananya, orientasi pendidikan kita menitikberatkan pada nilai. Pemahaman ini terjadi karena perspektif yang salah, dimana pendidikan diharapkan mampu menciptakan lulusan yang terampil dan berpengetahuan pragmatis guna memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini tak ubahnya dengan semangat pendidikan politik etis kolonial.
Berdasarkan hal tersebut, dalam pelaksanaan proses pendidikan kita akhirnya jauh dari menggarap dan mempertajam hati nurani sebagai timbangan manusia secara sadar untuk menilai dan mengambil keputusan mana yang benar dan mana yang salah. Karena orientasi pada nilai itulah, pengelolaan pendidikan kita lebih mengutamakan kompetisi daripada gotong royong, dan akibatnya perilaku dalam dunia pendidikan sarat dengan perilaku koruptif serta minim keteladanan hidup yang baik. Menurut Paul Suparno, SJ (Pendidikan Karakter Di Sekolah, PT. Kanisius, Yogyakarta, 2015), dalam dunia pendidikan korupsi muncul dalam tindakan menyontek, plagiat, penipuan laporan dalam akreditasi maupun sertifikasi, kebocoran soal – soal ujian, pengatrolan nilai ujian, ijazah palsu. Hal ini jelas menunjukan kepada kita, bagaimana carut marutnya pendidikan kita selama ini dan kita akan sangat sulit memahami dan mencari orang yang memang berkompeten dan yang tidak. Inilah realitasnya dan secara tidak sadar kita ikut melanggengkan sistem tersebut. Pertanyaannya adalah, masihkah pendidikan relevan dan signifikan untuk membangun habitus anti korupsi? Bagaimana modelnya?
Pendidikan karakter sebagai solusi
Dengan memperhatikan segala yang telah diuraikan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam rangka membangun habitus anti korupsi, kita masih membutuhkan pendidikan sebagai sarana untuk mengobati penyakit budaya yang korupsi tersebut. Hanya saja diperlukan model pendidikan yang benar – benar mampu untuk mengobati penyakit tersebut, bukanya menjadi racun yang memperparah budaya hidup yang semakin koruptif. Maka, pendidikan karakter ditengarai mampu menjadi obat mujarab anti korupsi.
Sebagaimana dikutip dalam Paul Suparno,SJ (2015: 40 – 41), Kevin Ryan dan Thomas Lickona dalam bukunya Educating for Character menekankan 3 unsur penting dalam pendidikan karakter, yaitu unsur pengertian moral, perasaan moral dan tindakan moral. Pendidikan tersebut dapat dilakukan dengan cara pembiasaan pada hal – hal yang baik. Tugas pendidikan adalah membantu mengembangkan karakter yang sudah baik dan membantu menghilangkan karakter yang tidak baik dalam diri anak didik.
Driyarkara menekankan sebagai pribadi manusia kita tidak boleh hanya mengikuti bakat bawaan, tetapi harus berani mengembangkan dan mengubah bila tidak baik (2006: 488 – 494).
Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan karakter sangat cocok untuk membangun watak lulusannya yang tidak hanya cerdas secara intelektuil tetapi juga cerdas secara moril (hati). Hal ini semakin kuat didukung dengan cakupan secara teknis unsur – unsur pendidikan karakter yang bersumber pada pertimbangan moral (nilai). Dengan demikian, nilai moral tersebut tidak hanya menjadi ilmu pengetahuan semata, tetapi dapat terwujud dalam tindakan nyata, karena dalam pendidikan karakter siswa akan dilatih untuk merasionalisasi moral (alasan mengapa harus melakukan hal itu?), melakukan pertimbangan melalui suara hati/afeksi moral (kesadaran akan mana yang baik dan tidak baik), dan melakukan tindakan moral (kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan perasaan moral ke tindakan konkret. Tentu hal ini tidak akan mudah untuk dilakukan, sebab dibutuhkan kesiapan dari semua „stakeholder‟ dalam dunia pendidikan, yaitu yayasan, guru dan karyawan, orang tua/keluarga, masyarakat dan siswa itu sendiri. Persoalannya kemudian, mau atau tidak, siap atau tidak kita sebagai pemangku kepentingan pendidikan ini mewujudkannya? Mau tidak untuk saling bekerja sama satu sama lain untuk mewujudkannya?
Misalnya dalam pendidikan kita mengharap pembentukan karakter budaya anti korupsi, maka kita perlu kita memberikan alasan moral kenapa korupsi itu tidak baik untuk dilakukan?, tindakan – tindakan mana yang termasuk koruptif dan tidak koruptif (afeksi moral), dan mau mempraktikan dalam kehidupan sehari – hari misal dalam keluarga. Tujuan pendidikan ini tentunya akan sulit dapat tercapai jika tiada kerjasama yang solid antar pemangku kepentingan. Bisa saja anak akan menjadi tertib, disiplin dan berperilaku jujur (tidak korupstif), namun bisa jadi berlawanan ketika berada di dalam keluarga yang tidak mendukung. Maka kuncinya adalah ada kemauan dan kerjasama dari para pemangku kepentingan untuk mau mewujudkan pendidikan karakter tersebut.
Kunci dari semua upaya ini adalah niat atau kemauan untuk berubah menjadi lebih baik (selaras dengan revolusi mental pemerintah). Berubah dari kebiasaan/habitus yang koruptif menjadi habitus yang anti koruptif, melalui sarana pendidikan dalam bentuk pembiasaan dan keteladanan yang menunjukan sikap anti korupsi baik di sekolah dan rumah. Hanya saja berani tidak kita sebagai isntitusi pendidikan untuk tidak mempraktikan perilaku korupsi sebagaimana dijelaskan pada awal – awal tulisan ini?
Sebagai penutup kita ingat perlu mengingat dan meresapkan kata – kata Balian, seorang ksatria di Kerajaan Yerusalem ketika ia menolak untuk menikahi Sybila adik Raja Yerusalem agar tetap terjadi perdamaian antara Nasrani dan kaum muslim pimpinan Sallahudin, yang berkata “ini kerajaan hati nurani, jika harus dibangun dengan cara – cara yang tidak benar, maka kerajaan ini tidak berarti apa – apa”. Ia katakan demikian karena jika ia menerima tawaran raja tersebut, Guy de Lusignan akan dieksekusi mati. Dari penggalan kisah perang salib tersebut, kita dapat menimba nilai – nilai luhur watak seorang ksatria untuk tetap mau berjuang mewujudkan "The Kingdom of Heaven‟ yang sesungguhnya dengan cara – cara yang pantas. Demikian halnya dengan kita yang hedak membangun habitus baru yang anti korupsi, sebagai individu maupun institusi pendidikan, kiranya mau untuk mewujudkannya dengan cara – cara yang benar pula (non-kontradiksi) dengan tujuan yang hendak kita capai. Sederhananya, jika kita ingin mengubah budaya koruptif menjadi anti koruptif, maka kita harus berani mewujudkannya dengan cara – cara yang tidak koruptif. Semoga.


FX. Hengki Parahate
SD Kanisius Sanjaya Sukorejo
(Tulisan ini dimuat dalam majalah Gema Kanisius Edisi Desember 2016)

No comments:

Post a Comment