Sang Guru Nara dan Kerbau
Manusia
adalah panggung kehidupan pengadilan jiwa. Dalam relung kedalamannya ia akan
menjadi hakim bagi dirinya sendiri sebagai yang terhakimi. Ini bukan perkara
benar dan salah, akan tetapi ini semua berbicara tentang menyelaraskan hati dan
jiwa dalam gejolak. Siapa yang menang dan berjaya? Ialah hati dan jiwa yang
merdeka dari segala rasa tertawan.
Tinggalah
di Desa Saloka seorang pertapa yanng dikenal dengan sebutan Guru Nara. Ia
dikenal sebagai orang yang bijaksana dan banyak persoalan orang – orang desa
yang tidak terpecahkan oleh para pamong desa, diselesaikan dengan meminta
petuah ajaib dari sang guru.
Perawakannya
kecil, berkumis dan berjenggot putih. Rambutnya disanggul bak para empu – empu
sakti pada zaman dahulu kala. Ia hidup dalam gubuk yang berdinding anyaman
bambu dan beratap ijuk. Ia hidup sederhana dengan cara berkebun dan tinggal
seorang diri. Hanya seekor kerbau saja yang menemani setiap harinya.
Suatu
ketika, di siang hari nan terik, tatkala Guru Nara sedang berkebun sambil
mengangon kerbaunya, datanglah segerombolan orang desa menemuinya. Nampak para
pamong desa pun ikut serta dalam rombongan orang yang sedang menuju ke arah
Guru Nara berkebun. Sekejap Guru Nara menebak adanya sesuatu persoalan penting yang harus ia pecahkan
dengan hati – hati. Maka ia hentikan pekerjaannya lalu menuju gubuk kecil di
tepian kebun itu dan menenggak air putih dari kendi.
“Guru
Nara! Guru !”, teriak Darsam salah satu pamong desa bersama gerombolan warga
menuju gubug tempat Guru Nara beristirahat.
“Guru,
Guru Nara. Cilaka ini Guru !”, hatur Darsam mengetuai rombongan.
“Ada
apa Darsam? Mengapa begitu banyak orang kau bawa kemari? Apa kiranya yang
sedang terjadi? Apanya yang cilaka?”, sergah sang Guru.
“Begini
Guru, banyak kerbau dari kami mati tanpa sebab yang jelas!”, tegas Darsam
melaporkan masalah yang ada. “ Bagaimana kami bisa menggarap sawah kami Guru
jika tiada kerbau pada kami? Jika demikian, kamipun tidak bisa makan karena
sawah kami tidak bisa kami olah”, imbuhnya.
Sang
Guru Nara hanya terkekeh mendengar laporan Darsam bersama rombonganya itu.
Darsam pun merasa tidak senang dengan sikap Sang Guru menanggapi persoalan
pelik ini. Lalu Sang Guru berkata kepada mereka “tenanglah Darsam! Mari
duduklah disini dan kita menikmati bersama ubi rebus hasil dari kebunku ini.
Hari ini lumayan banyak kurebus ubi ini, sehingga cukuplah untuk kita makan
bersama disini”.
Darsam
dan rombongan itu bingung menghadapi tingkah Guru Nara. “Bagaimana bisa guru
mengajak kami makan ubi rebus itu ketika anak istri kami menantikan kami untuk
kembali bekerja di sawah agar dapat makan. Dan kami tidak bisa melakukan semua
itu tanpa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab”, protes Darsam pada guru
Nara.
Namun
Guru Nara kembali terkekeh hingga terlihat giginya yang mulai ompong itu
tersungging membalas Darsam yang bersungut – sungut.
“Baiklah,
apa kiranya yang bisa kulakukan untuk kalian Darsam?”, tanya Guru Nara dengan
raut muka yang agak serius sambil menelan ubi yang masih ia kunyah didalam
mulutnya.
“Kembalikan
nyawa kerbau kami Guru, supaya kami bisa membajak ladang kami kembali! Guru kan
memiliki kekuatan sakti yang bisa menyembuhkan penyakit, pula mengembalikan
nyawa manusia. Kali ini kembalikan nyawa kerbau kami yang telah mati tanpa
sebab itu guru, kami mohon!”, pinta Darsam memelas.
Guru
Nara tetap tidak bergeming dengan pinta Darsam yang mewakili kemauan orang
banyak bersamanya. Darsam dan rombongan pun merasa bingung dengan sikap Guru
Nara menenggapi pinta mereka yang hanya diam sambil tetap mengunyah ubi
rebusnya itu. Semua menjadi hening dan hanya memperhatikan tingkah Guru Nara
yang belum juga memberikan jawaban. Setelah selesai menelan habis ubi yang
dikunyahnya, lalu Guru Nara mengambil kendi berisi air putih minumannya. Lalu
ia mulai berkata, “Baiklah akan kulakukan itu untuk kalian Darsam. Tetapi ada
syarat yang harus kalian penuhi agar nyawa kerbau kalian bisa kuhidupkan
kembali. Apakah kalian bisa memenuhi syarat – syaratnya itu?”.
“Baik
Guru. Kami akan memenuhi semua syarat permintaan Guru agar kami bisa
mendapatkan kembali kerbau kami yang telah mati itu”, kata Darsam yang diiyakan
oleh rombongannya.
“Baiklah
jika kalian memang menginginkan nyawa kerbau kalian kembali, kalian harus bisa
menghitung jumlah bulu rambut yang dimiliki oleh setiap kerbau kalian dalam
waktu tiga hari. Jika kalian berhasil menghitungnya tanpa ada yang terlewatkan
sehelai bulu pun, maka pada hari ketiga itulah kerbau kalian akan hidup
kembali. Dan segeralah kalian memandikan mereka dan memberinya makanan rumput
yang segar”, kata Guru Nara menyampaikan syarat – syarat kepada Darsam dan
kelompoknya.
“Guru,
bagaimana mungkin kami bisa menghitungnya tanpa terlewatkan dalam waktu tiga
hari saja?”, keluh Darsam.
“Ya
memang demikian caranya aku dapat menolong memenuhi permintaan kalian. Jika
kalian tidak selesai menghitungnya dalam waktu tiga hari maka kerbau kalian
tetap akan mati dan tidak terselamatkan Darsam. Jika kalian mau lakukan saja
syarat itu, kalau tidak aku tidak tahu lagi cara menolong kesusahan kalian”,
jawab Guru Nara.
Meski
dengan bersungut – sungut mendengar syarat yang disampaikan oleh Guru Nara,
Darsam dan rombongannya menerima syarat yang diajukan oleh sang Guru. “Baiklah
Guru, kami akan segera pulang dan kami akan segera memulai menghitung bulu
rambut kerbau kami masing – masing mulai malam ini”, katanya.
Lalu
bubarlah rombongan itu meninggalkan pondok Guru Nara dan bergegas pulang untuk
mempersiapkan acara untuk penghitungan bulu rambut kerbau mereka masing -
masing. Kebetulan hari pun sudah mulai sore dan malam akan segera tiba.
Keesokan
harinya, Guru Nara bekerja seperti biasa di ladangnya dengan kerbaunya yang
selalu menemani di belakang pondoknya yang sedang memakan rumput. Semua sepi
dan tenang. Hanya pemandangan gunung hutan dan perbukitan yang nampak hijau
permai dengan cakrawala nan biru yang sangat meneduhkan hati setiap manusia
yang bisa menikmatinya. Dengan angin pegunungan yang segar sungguh melegakan
jiwa.
Namun
Guru Nara menyadari dibalik segala kenikmatan itu, dibalik perbukitan tempat
tinggalnya sedang berkecamuk manusia – manusia yang resah dan gelisah
berkejaran dengan waktu. Sejenak Guru Nara memikirkan nasib mereka dan merasa
iba kepada Darsam beserta orang – orang di kampungnya. Tapi inilah hidup.
Setiap orang harus berani memilih dan menekuni pilihan itu beserta segala
resikonya. Tak terasa hari mulai gelap dan Guru Nara telah melewati hari itu
seperti hari – hari biasanya. Nampaknya Darsam bersama dengan orang – orang
lain yang bersamanya tidak menemui kendala apapun dalam melakukan syarat yang
diajukan oleh Guru Nara. Maka ia merasa tenang dengan itu semua dan berharap
Darsam dengan orang – orang yang bersamanya berhasil melalui syarat itu.
Meski
demikian, tiada jalan yang mudah untuk mencapai sesuatu sekecil apapun apa yang
akan dituju. Semua tetap membutuhkan perjuangan dan pengorbanan serta niatan
yang mantap untuk mencapai segala sesuatu. Demikian halnya apa yang dilakukan
oleh Darsam bersama orang – orang itu. Permasalahan mulai muncul pada malam di
hari kedua.
“Guru!
Guru!”, teriak Darsam mendekati pondok Guru Nara pada malam itu dengan tergopoh
– gopoh. Guru Nara pun segera membuka pintu pondoknya dan menyambut kedatangan
Darsam dengan raut muka yang cukup panik mengikuti mimik Darsam yang juga
terlihat panik.
“Kenapa
engkau Darsam?”, sahut sang guru menanyai Darsam yang telah tiba di depan pintu
pondoknya. “Mengapa engkau kemari? Bukankah engkau harus selesaikan
penghitunganmu atas rambut bulu kerbaumu itu bersama yang lain?” lanjutnya.
“Guru,
sepertinya kami tidak akan berhasil menyelesaikan pekerjaan kami. Kini kami
hanya punya waktu semalam lagi untuk menyelesaikan perhitungan kami. Padahal
kami sangat lelah dan kepayahan karena sudah dua malam ini kami tidak tidur
untuk melakukannya. Bahkan ada salah seorang dari kami kini jatuh sakit karena
tidak sempat memakan sesuatu apapun guru”, jelas Darsam dengan raut muka yang
penuh dengan kecemasan.
“Bisakah
kami diberi waktu tambahan lagi Guru agar kami bisa menyelesaikan perhitungan
kami?”, imbuhnya.
Guru
Nara hanya terdiam menerima laporan Darsam sambil melimbang – limbang dalam
hatinya tentang laporan Darsam tersebut. Ia kemudian berkata kepada Darsam, “Aku
sudah menduga bahwa kalian tak akan sanggup melakukan pekerjaan itu Darsam”.
Sontak Darsam kaget mendengar tanggapan sang guru sambil terus menunggu
kelanjutan jawaban darinya.
“Maka
aku pun tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa kerbau kalian yang telah
mati itu”, lanjut Guru Nara.
“Bagaimana
mungkin bisa begini guru? Guru orang yang sakti dan bijaksana tentu ada cara
lain yang lebih mudah persyaratannya untuk kami lakukan demi kerbau – kerbau
kami dan demi kami bisa mengolah tanah untuk makan anak dan istri kami?”,
protes Darsam memelas.
“aku
turut prihatin dengan kemalangan ini Darsam. Tapi aku tidak bisa membantumu
lagi dengan cara – cara lain yang tidak aku ketahui. Kesaktianku bukan untuk
menghidupkan mahkluk yang telah mati, namun kesaktianku untuk membunuh”, jawab
sang guru yang membuat Darsam melonggo tak mengerti maksud perkataan sang guru.
“Apa
maksud semua perkataan guru?”, tanya Darsam
“Ketahuilah
Darsam! Jika engkau menganggapku sakti memang demikian adanya diriku ini”, kata
Guru Nara, lalu melanjutkan lagi “namun demikian, aku tidak pernah kuasa untuk
mengembalikan nyawa kerbaumu yang sudah mati itu”.
“Mengapa
demikian Guru?”, Darsam menanya. Guru Nara menghela nafas dan berfikir sejenak
seolah tidak tega untuk melanjutkan penjelasannya kepada Darsam. Hatinya
bergejolak antara kebaikan dan kejahatan dalam batinnya.
“Jika
kukembalikan nyawa kerbaumu dan kerbau – kerbau orang – orang di desamu itu,
maka nyawaku dan nyawa kerbauku akan hilang. Dengan demikian aku akan mati
bersama kerbau kesayanganku itu Darsam”, jelas sang Guru.
Mendengar
semua penjelasan guru Nara yang dianggap bijak dan sakti itu, Darsam sangat
kecewa. Ia telah serahkan segala harapan akan hidupnya dan juga hidup para
tetangganya di desa kepada guru bijak dan sakti itu, namun tiada hasil. Tak
layak bagi kita menggantungkan hormat kepada orang seperti guru Nara atas hidup
kita ini, sekalipun ia berkuasa atas kebijaksanaan dan kesaktian. Sesungguhnya
ialah serigala berbulu domba itu, yang tetap haus untuk memangsa yang lain demi
dirinya sendiri. Darsam pun berlalu dalam segala kekecewaannya, memilih jalan
sendiri tanpa bergantung dan menyerahkan nasibnya pada siapapun, meski jalan
itu berbatu dan lebih menyakitkan. Berbahagialah engkau Darsam karena buwana
akan menyertaimu dengan segala kemegahannya yang tak terjangkau oleh manusia
sekalipun sakti dan bijaksana.
FX.
Hengki Parahate
No comments:
Post a Comment