Monday, 10 October 2016

Cerpen : Sang Guru Nara dan Kerbau

Sang Guru  Nara dan Kerbau
Manusia adalah panggung kehidupan pengadilan jiwa. Dalam relung kedalamannya ia akan menjadi hakim bagi dirinya sendiri sebagai yang terhakimi. Ini bukan perkara benar dan salah, akan tetapi ini semua berbicara tentang menyelaraskan hati dan jiwa dalam gejolak. Siapa yang menang dan berjaya? Ialah hati dan jiwa yang merdeka dari segala rasa tertawan.
Tinggalah di Desa Saloka seorang pertapa yanng dikenal dengan sebutan Guru Nara. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana dan banyak persoalan orang – orang desa yang tidak terpecahkan oleh para pamong desa, diselesaikan dengan meminta petuah ajaib dari sang guru.
Perawakannya kecil, berkumis dan berjenggot putih. Rambutnya disanggul bak para empu – empu sakti pada zaman dahulu kala. Ia hidup dalam gubuk yang berdinding anyaman bambu dan beratap ijuk. Ia hidup sederhana dengan cara berkebun dan tinggal seorang diri. Hanya seekor kerbau saja yang menemani setiap harinya.
Suatu ketika, di siang hari nan terik, tatkala Guru Nara sedang berkebun sambil mengangon kerbaunya, datanglah segerombolan orang desa menemuinya. Nampak para pamong desa pun ikut serta dalam rombongan orang yang sedang menuju ke arah Guru Nara berkebun. Sekejap Guru Nara menebak adanya sesuatu  persoalan penting yang harus ia pecahkan dengan hati – hati. Maka ia hentikan pekerjaannya lalu menuju gubuk kecil di tepian kebun itu dan menenggak air putih dari kendi.
“Guru Nara! Guru !”, teriak Darsam salah satu pamong desa bersama gerombolan warga menuju gubug tempat Guru Nara beristirahat.
“Guru, Guru Nara. Cilaka ini Guru !”, hatur Darsam mengetuai rombongan.
“Ada apa Darsam? Mengapa begitu banyak orang kau bawa kemari? Apa kiranya yang sedang terjadi? Apanya yang cilaka?”, sergah sang Guru.
“Begini Guru, banyak kerbau dari kami mati tanpa sebab yang jelas!”, tegas Darsam melaporkan masalah yang ada. “ Bagaimana kami bisa menggarap sawah kami Guru jika tiada kerbau pada kami? Jika demikian, kamipun tidak bisa makan karena sawah kami tidak bisa kami olah”, imbuhnya.
Sang Guru Nara hanya terkekeh mendengar laporan Darsam bersama rombonganya itu. Darsam pun merasa tidak senang dengan sikap Sang Guru menanggapi persoalan pelik ini. Lalu Sang Guru berkata kepada mereka “tenanglah Darsam! Mari duduklah disini dan kita menikmati bersama ubi rebus hasil dari kebunku ini. Hari ini lumayan banyak kurebus ubi ini, sehingga cukuplah untuk kita makan bersama disini”.
Darsam dan rombongan itu bingung menghadapi tingkah Guru Nara. “Bagaimana bisa guru mengajak kami makan ubi rebus itu ketika anak istri kami menantikan kami untuk kembali bekerja di sawah agar dapat makan. Dan kami tidak bisa melakukan semua itu tanpa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab”, protes Darsam pada guru Nara.
Namun Guru Nara kembali terkekeh hingga terlihat giginya yang mulai ompong itu tersungging membalas Darsam yang bersungut – sungut.
“Baiklah, apa kiranya yang bisa kulakukan untuk kalian Darsam?”, tanya Guru Nara dengan raut muka yang agak serius sambil menelan ubi yang masih ia kunyah didalam mulutnya.
“Kembalikan nyawa kerbau kami Guru, supaya kami bisa membajak ladang kami kembali! Guru kan memiliki kekuatan sakti yang bisa menyembuhkan penyakit, pula mengembalikan nyawa manusia. Kali ini kembalikan nyawa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab itu guru, kami mohon!”, pinta Darsam memelas.
Guru Nara tetap tidak bergeming dengan pinta Darsam yang mewakili kemauan orang banyak bersamanya. Darsam dan rombongan pun merasa bingung dengan sikap Guru Nara menenggapi pinta mereka yang hanya diam sambil tetap mengunyah ubi rebusnya itu. Semua menjadi hening dan hanya memperhatikan tingkah Guru Nara yang belum juga memberikan jawaban. Setelah selesai menelan habis ubi yang dikunyahnya, lalu Guru Nara mengambil kendi berisi air putih minumannya. Lalu ia mulai berkata, “Baiklah akan kulakukan itu untuk kalian Darsam. Tetapi ada syarat yang harus kalian penuhi agar nyawa kerbau kalian bisa kuhidupkan kembali. Apakah kalian bisa memenuhi syarat – syaratnya itu?”.
“Baik Guru. Kami akan memenuhi semua syarat permintaan Guru agar kami bisa mendapatkan kembali kerbau kami yang telah mati itu”, kata Darsam yang diiyakan oleh rombongannya.
“Baiklah jika kalian memang menginginkan nyawa kerbau kalian kembali, kalian harus bisa menghitung jumlah bulu rambut yang dimiliki oleh setiap kerbau kalian dalam waktu tiga hari. Jika kalian berhasil menghitungnya tanpa ada yang terlewatkan sehelai bulu pun, maka pada hari ketiga itulah kerbau kalian akan hidup kembali. Dan segeralah kalian memandikan mereka dan memberinya makanan rumput yang segar”, kata Guru Nara menyampaikan syarat – syarat kepada Darsam dan kelompoknya.
“Guru, bagaimana mungkin kami bisa menghitungnya tanpa terlewatkan dalam waktu tiga hari saja?”, keluh Darsam.
“Ya memang demikian caranya aku dapat menolong memenuhi permintaan kalian. Jika kalian tidak selesai menghitungnya dalam waktu tiga hari maka kerbau kalian tetap akan mati dan tidak terselamatkan Darsam. Jika kalian mau lakukan saja syarat itu, kalau tidak aku tidak tahu lagi cara menolong kesusahan kalian”, jawab Guru Nara.
Meski dengan bersungut – sungut mendengar syarat yang disampaikan oleh Guru Nara, Darsam dan rombongannya menerima syarat yang diajukan oleh sang Guru. “Baiklah Guru, kami akan segera pulang dan kami akan segera memulai menghitung bulu rambut kerbau kami masing – masing mulai malam ini”, katanya.
Lalu bubarlah rombongan itu meninggalkan pondok Guru Nara dan bergegas pulang untuk mempersiapkan acara untuk penghitungan bulu rambut kerbau mereka masing - masing. Kebetulan hari pun sudah mulai sore dan malam akan segera tiba.
Keesokan harinya, Guru Nara bekerja seperti biasa di ladangnya dengan kerbaunya yang selalu menemani di belakang pondoknya yang sedang memakan rumput. Semua sepi dan tenang. Hanya pemandangan gunung hutan dan perbukitan yang nampak hijau permai dengan cakrawala nan biru yang sangat meneduhkan hati setiap manusia yang bisa menikmatinya. Dengan angin pegunungan yang segar sungguh melegakan jiwa.
Namun Guru Nara menyadari dibalik segala kenikmatan itu, dibalik perbukitan tempat tinggalnya sedang berkecamuk manusia – manusia yang resah dan gelisah berkejaran dengan waktu. Sejenak Guru Nara memikirkan nasib mereka dan merasa iba kepada Darsam beserta orang – orang di kampungnya. Tapi inilah hidup. Setiap orang harus berani memilih dan menekuni pilihan itu beserta segala resikonya. Tak terasa hari mulai gelap dan Guru Nara telah melewati hari itu seperti hari – hari biasanya. Nampaknya Darsam bersama dengan orang – orang lain yang bersamanya tidak menemui kendala apapun dalam melakukan syarat yang diajukan oleh Guru Nara. Maka ia merasa tenang dengan itu semua dan berharap Darsam dengan orang – orang yang bersamanya berhasil melalui syarat itu.
Meski demikian, tiada jalan yang mudah untuk mencapai sesuatu sekecil apapun apa yang akan dituju. Semua tetap membutuhkan perjuangan dan pengorbanan serta niatan yang mantap untuk mencapai segala sesuatu. Demikian halnya apa yang dilakukan oleh Darsam bersama orang – orang itu. Permasalahan mulai muncul pada malam di hari kedua.   
“Guru! Guru!”, teriak Darsam mendekati pondok Guru Nara pada malam itu dengan tergopoh – gopoh. Guru Nara pun segera membuka pintu pondoknya dan menyambut kedatangan Darsam dengan raut muka yang cukup panik mengikuti mimik Darsam yang juga terlihat panik.
“Kenapa engkau Darsam?”, sahut sang guru menanyai Darsam yang telah tiba di depan pintu pondoknya. “Mengapa engkau kemari? Bukankah engkau harus selesaikan penghitunganmu atas rambut bulu kerbaumu itu bersama yang lain?” lanjutnya.
“Guru, sepertinya kami tidak akan berhasil menyelesaikan pekerjaan kami. Kini kami hanya punya waktu semalam lagi untuk menyelesaikan perhitungan kami. Padahal kami sangat lelah dan kepayahan karena sudah dua malam ini kami tidak tidur untuk melakukannya. Bahkan ada salah seorang dari kami kini jatuh sakit karena tidak sempat memakan sesuatu apapun guru”, jelas Darsam dengan raut muka yang penuh dengan kecemasan.
“Bisakah kami diberi waktu tambahan lagi Guru agar kami bisa menyelesaikan perhitungan kami?”, imbuhnya.
Guru Nara hanya terdiam menerima laporan Darsam sambil melimbang – limbang dalam hatinya tentang laporan Darsam tersebut. Ia kemudian berkata kepada Darsam, “Aku sudah menduga bahwa kalian tak akan sanggup melakukan pekerjaan itu Darsam”. Sontak Darsam kaget mendengar tanggapan sang guru sambil terus menunggu kelanjutan jawaban darinya.
“Maka aku pun tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa kerbau kalian yang telah mati itu”, lanjut Guru Nara.
“Bagaimana mungkin bisa begini guru? Guru orang yang sakti dan bijaksana tentu ada cara lain yang lebih mudah persyaratannya untuk kami lakukan demi kerbau – kerbau kami dan demi kami bisa mengolah tanah untuk makan anak dan istri kami?”, protes Darsam memelas.
“aku turut prihatin dengan kemalangan ini Darsam. Tapi aku tidak bisa membantumu lagi dengan cara – cara lain yang tidak aku ketahui. Kesaktianku bukan untuk menghidupkan mahkluk yang telah mati, namun kesaktianku untuk membunuh”, jawab sang guru yang membuat Darsam melonggo tak mengerti maksud perkataan sang guru.
“Apa maksud semua perkataan guru?”, tanya Darsam
“Ketahuilah Darsam! Jika engkau menganggapku sakti memang demikian adanya diriku ini”, kata Guru Nara, lalu melanjutkan lagi “namun demikian, aku tidak pernah kuasa untuk mengembalikan nyawa kerbaumu yang sudah mati itu”.
“Mengapa demikian Guru?”, Darsam menanya. Guru Nara menghela nafas dan berfikir sejenak seolah tidak tega untuk melanjutkan penjelasannya kepada Darsam. Hatinya bergejolak antara kebaikan dan kejahatan dalam batinnya.
“Jika kukembalikan nyawa kerbaumu dan kerbau – kerbau orang – orang di desamu itu, maka nyawaku dan nyawa kerbauku akan hilang. Dengan demikian aku akan mati bersama kerbau kesayanganku itu Darsam”, jelas sang Guru.
Mendengar semua penjelasan guru Nara yang dianggap bijak dan sakti itu, Darsam sangat kecewa. Ia telah serahkan segala harapan akan hidupnya dan juga hidup para tetangganya di desa kepada guru bijak dan sakti itu, namun tiada hasil. Tak layak bagi kita menggantungkan hormat kepada orang seperti guru Nara atas hidup kita ini, sekalipun ia berkuasa atas kebijaksanaan dan kesaktian. Sesungguhnya ialah serigala berbulu domba itu, yang tetap haus untuk memangsa yang lain demi dirinya sendiri. Darsam pun berlalu dalam segala kekecewaannya, memilih jalan sendiri tanpa bergantung dan menyerahkan nasibnya pada siapapun, meski jalan itu berbatu dan lebih menyakitkan. Berbahagialah engkau Darsam karena buwana akan menyertaimu dengan segala kemegahannya yang tak terjangkau oleh manusia sekalipun sakti dan bijaksana.

FX. Hengki Parahate

No comments:

Post a Comment