Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Saturday, 27 March 2021

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian VI

Melawan Arus

Tidak mudah, dan bahkan akan mengkerdilkan hati

Akan membuat menjadi terasing dari kumpulan kenaifan dan munafik

Dan tersingkir karena memang disingkirkan

Menjadi ‘sampah’ bagi mereka yang mencintai keindahan mata disbanding jiwa

Tiada yang lebih indah daripada memantapkan jiwa untuk tetap mejaga kewarasan

Melawan gerusan arus pemalsuan dan rekayasa nurani yang jahat

Hanya satu kata ‘lawan’!

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian V

Paradoksal

‘Orang jahat’ mengadili si jahat

‘Si penindas’ berujar kemerdekaan

‘Pemimpin’ menuntut dipahami

Berilmu tapi membodohi

Beragama tapi tidak bertuhan

Pencuri menuntut kejujuran dan keadilan

Paradok adalah anomali ketidakawarasan dan ketidakseimbangan

Dan pembiaran atasnya adalah kejahatan dan dosa

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian IV

Konspirasi

Bukan sesuatu yang bersifat mistis, terselubung, penuh siasat dan berkonotasi negatif

Tapi tidak selalu demikian jahatnya, tergantung orientasi gerakan ini

Bukan masalah benar dan salah, bukan pula dampak yang ditimbulkan dari gerakan ini

Tetapi semua Kembali tentang nilai nurani sebagai timbangan kebenaran

Selama konspirasi ini dilakukan oleh si jahat akan tetap jahat sebaik apapun dampak positif dari gerakan itu

Sebab kebenara bukan ukuran jumlah, dan siapa yang berkuasa, tetapi masalah cerminan hati yang murni

Dan hati setiap manusia adalah murni dalam hasrat kebaikan, hanya saja menjadi kotor oleh karena dengki dan picik

 

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian II

Jargonisme

Kata hanya gelembung udara yang kosong, jika berasal dari hati yang kotor

Kata akan menjadi lebih bermakna jika berasal dari batin yang lapang dan murni

tanpa selubung Hasrat menciderai dan tendensius mengejar hasrat ke-aku-an

Berkata berarti berucap kebenaran bukan rekayasa kata dengan selubung siasat

Jargon hanya retorika berwatak nekrofilisme.

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian III

Berkuasa

Kekuasaan adalah pesona manusiawi yang memabukan

Tanpa moral, siapa saja berupaya untuk meraihnya semata untuk ‘prestise’

Tidak ada niatan tulus untuk berkuasa dan itu adalah masalah

Dan kuasa hanya layak bagi mereka yang bijak bukan hanya cakap secara teknis

Tanpa keduanya kekuasaan akan timpang

Sebab berkuasa adalah merendahkan diri untuk menjadi pelayan bukan untuk dilayani

Banyak mendengar dan buka banyak memerintah

Memberi kemerdekaan bukan pengekangan

Memberi pengharapan bukan menebar ketakutan dan khawatir

Bijaklah menguasai dirimu sendiri sebelum segala sesuatu yang ada di luar dirimu

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian I

Akal Sehat

Tidak ada yang salah dengan akal atau pikiran

Yang salah adalah yang menguasai akal atau pikiran

Kejahatan dan kebaikan berawal dari sebuah ide atau gagasan, hanya bagaimana menguasai Hasrat

Jadi tergantung hati seperti apa yang menguasai ide itu.

Salah menjadi benar, benar menjadi salah

Si jahat seolah – olah korban, dan korban yang sebenarnya menjadi si jahat

Dan memang demikian yang terjadi. Ketidakwarasan.

Cermin hati menjadi buram, sehingga kebenaran menjadi semu bahkan dieksploitasi demi pembenaran

Dan inilah kebenaran; hilangnya kewarasan akal maka moralitas hancur.

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

Friday, 2 October 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian V

Tafsiran Menemukan Kebenaran

Banyak mendengar sedikit bicara adalah tangga pertama dalam titian tangga menuju kebijakasanaan. Perbanyak mendengar dan merenung, dan mengatak apa yang perlu dikatakan karena sebagai kebenaran adalah upaya untuk menjadi bijaksana. Konsisten melakukan proses itu dan terus mencari yang hakiki adalah puncak dari proses menjadi bijaksana dalam tangga puncak kebijaksanaan. Kebenaran tiada pernah berakhir dalam pencarian jati dirinya.

Masalahnya pendengaran inderawi kita tidak pernah jernih menangkap berita kebenaran dan menumpulkan pendengaran hati. Kebenaran saat ini tergantung pada siapa yang berkuasa, bermodal, berkedudukan, dan yang terhormat dalam status sosial, sekalipun mulut mereka penuh dengan tipu muslihat.

Mendengar dan melihat dengan hati adalah upaya yang tepat dalam mencari kebenaran, sebab pendengaran dan pengelihatan inderawi kita sangat mudah dikotori oleh tipu muslihat dalam segala bentuk kemewahannya. Selamat berlatih…

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian IV

Keblinger Kuasa

Kuasa sehebat dan sedahsyat apapun yang diraih oleh seseorang tidak akan berarti apa-apa. Sebab manusia tidak pernah berkuasa atas nafsu kekuasaan dari dalam dirinya. Dan sayang semua orang berjuang untuk mendapat kuasa itu dengan segala daya upaya, hingga rela merendahkan diri dan martabatnya untuk menjadi budak olehnya. Sungguh ironi kemanusiaan yang sepertinya menjadi fenomena dewasa ini di segala lini. Memperbudak diri pada nafsu, tetaplah hamba tanpa kuasa sekalipun kekuasaan tertinggi dan terhormat yang telah dicapainya.

Insyafkan diri dan berpahamlah dengan benar. Kuasamu adalah bentuk penghambaanmu pada kemanusiaan. Maka rendah hatilah dan jangan picik terhadap kuasamu. Kuasamu tidak kekal. Jangan takabur olehnya dan menanglah atas nafsu kuasa agar tidak diperbudak serta direndahkan, dan engkau sungguh – sungguh berkuasa atas kuasa dirimu sendiri. Selamat berupaya meraih kuasa atas dirimu dan menjadi terhormat sekaligus beradab oleh karena kuasa itu. Dan orang yang degil hatinya tidak pantas untuk mendapatkan kuasa yang terhormat itu. Mereka adalah manusia yang keblinger.

 

 

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian III

Esensi

Bekerjalah pada suatu yang engkau cintai? Tidak semudah mengatakanya dalam praktik. Terkadang justru luka yang akan kita terima akibat ke-cintaan itu. Semua bersifat komplemen dan paradoksal.

Mencintai segala sesuatu yang kita lakukan adalah baik tapi bukanlah sebuah kebenaran apalagi pembenaran terhadap cara – cara kita terhadapnya. Dinamika jiwa tidak bisa dinormatifkan, sebab ia merdeka dan peka terhadap segala sesuatu kondisi dan nurani sebagai timbangannya.

Hanya saja, kita terbentur pada kondisi pekerjaan yang mendasarkan pada euphoria action tanpa menghidupi esensi. Memang akan begitu megah kelihatannya, namun miskin akan esensi. Solusinya adalah melawan dan mendobrak tembok pengukung jiwa. Menjadi terasing dari sebuah kondisi abnormal jauh lebih terhormat, daripada terhormat dalam kondisi abnormal itu sendiri.

Mendidik adalah pekerjaan kemanusiaan dan ukurannya adalah kemanusiaan itu sendiri. Namun sayang, sistem mempersempit ruang gerak jiwa untuk berkarya dalam Pendidikan. Semua serba pasti dan terukur dengan ukuran – ukuran yang tidak esensi. Pendidikan deweasa ini adalah pekerjaan mencipta yang abai mengolah rasa bisa merasa. Menajamkan logika tanpa nurani. Memperjuangkan adab tapi kehilangan adab. Ahistoris dan eutopis, jauh dari realita kemanusiaan itu sendiri.

Untuk dapat menemukan esensi, harus mau berpikir keras dan merenung atas apa yang kita jalani. Jalani hidup kita, dan hidupi yang kita jalani.

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian II

Pertarungan

Setelah pertarungan usai, sesungguhnya kita kabur mengenai pemahaman hasil akhir. Siapa pemenang dan siapa pihak yang kalah?. Yang ada hanyalah pengurangan. Kurang rasa saling percaya, saling hormat, berinterospeksi, kurang adab, dan kurang saling memahami.

Ini bukanlah pertarungan yang sesungguhnya, sekalipun segala upaya telah dikerahkan dan meguras tenaga serta mengorbankan martabat diri. Semua hanya persoalan intrik picik semata yang malu – malu. Tidak berani terbuka, karena takut jikalau intensi pertarungan itu diketahui bukan untuk martabat dan kerhormatan, melainkan karena rasa ingin ‘mematikan’ yang bersumber dari hati pembenci dan iri. Demikianlah orang itu sesungguhnya harus dikasihi karena tidak memiliki cinta.

Bersabarlah menganggung segala sesuatu yang pedih karena banyak hal dengan musuh yang demikian. Setidaknya dengan itu engkau telah selangkah maju untuk memenangkan pertarungan.

Selamat bertarung melawan dirimu sendiri, sebagai musuh terberatmu.

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian I

Merdeka Menentukan Nasib

Setiap orang berhak menentukan nasibnya masing – masing. Itulah merdeka. Siapapun tidak memiliki legitimasi untuk menghakimi nasib masa depannya. Ya, hidup sesungguhnya adalah seni memilih dan aku setuju akan hal itu. Memilih dari sekian banyak pilihan jalan untuk meraih bayangan masa depan yang telah ditetapkan. Dan sangat manusiawi kita menggunakan rasionalitas kita untuk menimbang setiap resiko, peluang dan keuntungan dari setiap pilihan yang ada. Hanya saja terkadang rasionalitas kita terlalu menitik beratkan pada rasionalitas piker saja dan mengesampingkan rasionalitas nurani. Jangan sampai mengambil keputusan dalam ketidaktenangan dan kejernihan hati. Fatal akibatnya, hidup dalam sesal.

Rasionalitas nurani, sesungguhnya cerminan kerinduan jiwa akan kebutuhannya untuk merasa damai dan tidak bergejolak secara labil. Sebab disinilah kemerdekaan itu berada, dimana hati merasa tenang dan damai dalam kondisi seperti apapun yang muncul sebagai resiko atas pilihan yang kita ambil. Tiada rasa sesal, khawatir dan tenang. Itulah merdeka.

Masalahnya sejauhmana kita melibatkan rasionalitas nurani kita dalam dinamika hidup kita selama ini? Selama merenung…

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

Monday, 10 October 2016

Cerpen : Sang Guru Nara dan Kerbau

Sang Guru  Nara dan Kerbau
Manusia adalah panggung kehidupan pengadilan jiwa. Dalam relung kedalamannya ia akan menjadi hakim bagi dirinya sendiri sebagai yang terhakimi. Ini bukan perkara benar dan salah, akan tetapi ini semua berbicara tentang menyelaraskan hati dan jiwa dalam gejolak. Siapa yang menang dan berjaya? Ialah hati dan jiwa yang merdeka dari segala rasa tertawan.
Tinggalah di Desa Saloka seorang pertapa yanng dikenal dengan sebutan Guru Nara. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana dan banyak persoalan orang – orang desa yang tidak terpecahkan oleh para pamong desa, diselesaikan dengan meminta petuah ajaib dari sang guru.
Perawakannya kecil, berkumis dan berjenggot putih. Rambutnya disanggul bak para empu – empu sakti pada zaman dahulu kala. Ia hidup dalam gubuk yang berdinding anyaman bambu dan beratap ijuk. Ia hidup sederhana dengan cara berkebun dan tinggal seorang diri. Hanya seekor kerbau saja yang menemani setiap harinya.
Suatu ketika, di siang hari nan terik, tatkala Guru Nara sedang berkebun sambil mengangon kerbaunya, datanglah segerombolan orang desa menemuinya. Nampak para pamong desa pun ikut serta dalam rombongan orang yang sedang menuju ke arah Guru Nara berkebun. Sekejap Guru Nara menebak adanya sesuatu  persoalan penting yang harus ia pecahkan dengan hati – hati. Maka ia hentikan pekerjaannya lalu menuju gubuk kecil di tepian kebun itu dan menenggak air putih dari kendi.
“Guru Nara! Guru !”, teriak Darsam salah satu pamong desa bersama gerombolan warga menuju gubug tempat Guru Nara beristirahat.
“Guru, Guru Nara. Cilaka ini Guru !”, hatur Darsam mengetuai rombongan.
“Ada apa Darsam? Mengapa begitu banyak orang kau bawa kemari? Apa kiranya yang sedang terjadi? Apanya yang cilaka?”, sergah sang Guru.
“Begini Guru, banyak kerbau dari kami mati tanpa sebab yang jelas!”, tegas Darsam melaporkan masalah yang ada. “ Bagaimana kami bisa menggarap sawah kami Guru jika tiada kerbau pada kami? Jika demikian, kamipun tidak bisa makan karena sawah kami tidak bisa kami olah”, imbuhnya.
Sang Guru Nara hanya terkekeh mendengar laporan Darsam bersama rombonganya itu. Darsam pun merasa tidak senang dengan sikap Sang Guru menanggapi persoalan pelik ini. Lalu Sang Guru berkata kepada mereka “tenanglah Darsam! Mari duduklah disini dan kita menikmati bersama ubi rebus hasil dari kebunku ini. Hari ini lumayan banyak kurebus ubi ini, sehingga cukuplah untuk kita makan bersama disini”.
Darsam dan rombongan itu bingung menghadapi tingkah Guru Nara. “Bagaimana bisa guru mengajak kami makan ubi rebus itu ketika anak istri kami menantikan kami untuk kembali bekerja di sawah agar dapat makan. Dan kami tidak bisa melakukan semua itu tanpa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab”, protes Darsam pada guru Nara.
Namun Guru Nara kembali terkekeh hingga terlihat giginya yang mulai ompong itu tersungging membalas Darsam yang bersungut – sungut.
“Baiklah, apa kiranya yang bisa kulakukan untuk kalian Darsam?”, tanya Guru Nara dengan raut muka yang agak serius sambil menelan ubi yang masih ia kunyah didalam mulutnya.
“Kembalikan nyawa kerbau kami Guru, supaya kami bisa membajak ladang kami kembali! Guru kan memiliki kekuatan sakti yang bisa menyembuhkan penyakit, pula mengembalikan nyawa manusia. Kali ini kembalikan nyawa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab itu guru, kami mohon!”, pinta Darsam memelas.
Guru Nara tetap tidak bergeming dengan pinta Darsam yang mewakili kemauan orang banyak bersamanya. Darsam dan rombongan pun merasa bingung dengan sikap Guru Nara menenggapi pinta mereka yang hanya diam sambil tetap mengunyah ubi rebusnya itu. Semua menjadi hening dan hanya memperhatikan tingkah Guru Nara yang belum juga memberikan jawaban. Setelah selesai menelan habis ubi yang dikunyahnya, lalu Guru Nara mengambil kendi berisi air putih minumannya. Lalu ia mulai berkata, “Baiklah akan kulakukan itu untuk kalian Darsam. Tetapi ada syarat yang harus kalian penuhi agar nyawa kerbau kalian bisa kuhidupkan kembali. Apakah kalian bisa memenuhi syarat – syaratnya itu?”.
“Baik Guru. Kami akan memenuhi semua syarat permintaan Guru agar kami bisa mendapatkan kembali kerbau kami yang telah mati itu”, kata Darsam yang diiyakan oleh rombongannya.
“Baiklah jika kalian memang menginginkan nyawa kerbau kalian kembali, kalian harus bisa menghitung jumlah bulu rambut yang dimiliki oleh setiap kerbau kalian dalam waktu tiga hari. Jika kalian berhasil menghitungnya tanpa ada yang terlewatkan sehelai bulu pun, maka pada hari ketiga itulah kerbau kalian akan hidup kembali. Dan segeralah kalian memandikan mereka dan memberinya makanan rumput yang segar”, kata Guru Nara menyampaikan syarat – syarat kepada Darsam dan kelompoknya.
“Guru, bagaimana mungkin kami bisa menghitungnya tanpa terlewatkan dalam waktu tiga hari saja?”, keluh Darsam.
“Ya memang demikian caranya aku dapat menolong memenuhi permintaan kalian. Jika kalian tidak selesai menghitungnya dalam waktu tiga hari maka kerbau kalian tetap akan mati dan tidak terselamatkan Darsam. Jika kalian mau lakukan saja syarat itu, kalau tidak aku tidak tahu lagi cara menolong kesusahan kalian”, jawab Guru Nara.
Meski dengan bersungut – sungut mendengar syarat yang disampaikan oleh Guru Nara, Darsam dan rombongannya menerima syarat yang diajukan oleh sang Guru. “Baiklah Guru, kami akan segera pulang dan kami akan segera memulai menghitung bulu rambut kerbau kami masing – masing mulai malam ini”, katanya.
Lalu bubarlah rombongan itu meninggalkan pondok Guru Nara dan bergegas pulang untuk mempersiapkan acara untuk penghitungan bulu rambut kerbau mereka masing - masing. Kebetulan hari pun sudah mulai sore dan malam akan segera tiba.
Keesokan harinya, Guru Nara bekerja seperti biasa di ladangnya dengan kerbaunya yang selalu menemani di belakang pondoknya yang sedang memakan rumput. Semua sepi dan tenang. Hanya pemandangan gunung hutan dan perbukitan yang nampak hijau permai dengan cakrawala nan biru yang sangat meneduhkan hati setiap manusia yang bisa menikmatinya. Dengan angin pegunungan yang segar sungguh melegakan jiwa.
Namun Guru Nara menyadari dibalik segala kenikmatan itu, dibalik perbukitan tempat tinggalnya sedang berkecamuk manusia – manusia yang resah dan gelisah berkejaran dengan waktu. Sejenak Guru Nara memikirkan nasib mereka dan merasa iba kepada Darsam beserta orang – orang di kampungnya. Tapi inilah hidup. Setiap orang harus berani memilih dan menekuni pilihan itu beserta segala resikonya. Tak terasa hari mulai gelap dan Guru Nara telah melewati hari itu seperti hari – hari biasanya. Nampaknya Darsam bersama dengan orang – orang lain yang bersamanya tidak menemui kendala apapun dalam melakukan syarat yang diajukan oleh Guru Nara. Maka ia merasa tenang dengan itu semua dan berharap Darsam dengan orang – orang yang bersamanya berhasil melalui syarat itu.
Meski demikian, tiada jalan yang mudah untuk mencapai sesuatu sekecil apapun apa yang akan dituju. Semua tetap membutuhkan perjuangan dan pengorbanan serta niatan yang mantap untuk mencapai segala sesuatu. Demikian halnya apa yang dilakukan oleh Darsam bersama orang – orang itu. Permasalahan mulai muncul pada malam di hari kedua.   
“Guru! Guru!”, teriak Darsam mendekati pondok Guru Nara pada malam itu dengan tergopoh – gopoh. Guru Nara pun segera membuka pintu pondoknya dan menyambut kedatangan Darsam dengan raut muka yang cukup panik mengikuti mimik Darsam yang juga terlihat panik.
“Kenapa engkau Darsam?”, sahut sang guru menanyai Darsam yang telah tiba di depan pintu pondoknya. “Mengapa engkau kemari? Bukankah engkau harus selesaikan penghitunganmu atas rambut bulu kerbaumu itu bersama yang lain?” lanjutnya.
“Guru, sepertinya kami tidak akan berhasil menyelesaikan pekerjaan kami. Kini kami hanya punya waktu semalam lagi untuk menyelesaikan perhitungan kami. Padahal kami sangat lelah dan kepayahan karena sudah dua malam ini kami tidak tidur untuk melakukannya. Bahkan ada salah seorang dari kami kini jatuh sakit karena tidak sempat memakan sesuatu apapun guru”, jelas Darsam dengan raut muka yang penuh dengan kecemasan.
“Bisakah kami diberi waktu tambahan lagi Guru agar kami bisa menyelesaikan perhitungan kami?”, imbuhnya.
Guru Nara hanya terdiam menerima laporan Darsam sambil melimbang – limbang dalam hatinya tentang laporan Darsam tersebut. Ia kemudian berkata kepada Darsam, “Aku sudah menduga bahwa kalian tak akan sanggup melakukan pekerjaan itu Darsam”. Sontak Darsam kaget mendengar tanggapan sang guru sambil terus menunggu kelanjutan jawaban darinya.
“Maka aku pun tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa kerbau kalian yang telah mati itu”, lanjut Guru Nara.
“Bagaimana mungkin bisa begini guru? Guru orang yang sakti dan bijaksana tentu ada cara lain yang lebih mudah persyaratannya untuk kami lakukan demi kerbau – kerbau kami dan demi kami bisa mengolah tanah untuk makan anak dan istri kami?”, protes Darsam memelas.
“aku turut prihatin dengan kemalangan ini Darsam. Tapi aku tidak bisa membantumu lagi dengan cara – cara lain yang tidak aku ketahui. Kesaktianku bukan untuk menghidupkan mahkluk yang telah mati, namun kesaktianku untuk membunuh”, jawab sang guru yang membuat Darsam melonggo tak mengerti maksud perkataan sang guru.
“Apa maksud semua perkataan guru?”, tanya Darsam
“Ketahuilah Darsam! Jika engkau menganggapku sakti memang demikian adanya diriku ini”, kata Guru Nara, lalu melanjutkan lagi “namun demikian, aku tidak pernah kuasa untuk mengembalikan nyawa kerbaumu yang sudah mati itu”.
“Mengapa demikian Guru?”, Darsam menanya. Guru Nara menghela nafas dan berfikir sejenak seolah tidak tega untuk melanjutkan penjelasannya kepada Darsam. Hatinya bergejolak antara kebaikan dan kejahatan dalam batinnya.
“Jika kukembalikan nyawa kerbaumu dan kerbau – kerbau orang – orang di desamu itu, maka nyawaku dan nyawa kerbauku akan hilang. Dengan demikian aku akan mati bersama kerbau kesayanganku itu Darsam”, jelas sang Guru.
Mendengar semua penjelasan guru Nara yang dianggap bijak dan sakti itu, Darsam sangat kecewa. Ia telah serahkan segala harapan akan hidupnya dan juga hidup para tetangganya di desa kepada guru bijak dan sakti itu, namun tiada hasil. Tak layak bagi kita menggantungkan hormat kepada orang seperti guru Nara atas hidup kita ini, sekalipun ia berkuasa atas kebijaksanaan dan kesaktian. Sesungguhnya ialah serigala berbulu domba itu, yang tetap haus untuk memangsa yang lain demi dirinya sendiri. Darsam pun berlalu dalam segala kekecewaannya, memilih jalan sendiri tanpa bergantung dan menyerahkan nasibnya pada siapapun, meski jalan itu berbatu dan lebih menyakitkan. Berbahagialah engkau Darsam karena buwana akan menyertaimu dengan segala kemegahannya yang tak terjangkau oleh manusia sekalipun sakti dan bijaksana.

FX. Hengki Parahate

Saturday, 8 October 2016

Artikel Opini : Pengetahuan, Keselamatan Dan Kebahagiaan

Pengetahuan, Keselamatan Dan Kebahagiaan

Manusia selalu berupaya untuk berusaha dan bekerja, untuk memenuhi segala cita – citanya dengan tujuan tertentu yang tidak lain adalah menjadi bahagia. Dengan demikian, setiap orang tentunya menyadari bahwa tujuan akhir daripada hidup mereka adalah mencapai kebahagiaan secara penuh. Artinya bahagia di dunia ini sekaligus bahagia di dalam kehidupan setelah di dunia ini yang bersifat kekal atau abadi. Persoalanya adalah manusia menyadari betul atas tujuan akhir kebahagiaan yang diidamkan itu, namun mereka buta untuk berupaya dan bekerja untuk tercapainya kebahagiaan bagi hidup mereka. Cenderung kebahagiaan itu sendiri dipahami sebagai sesuatu yang hampir sama maknanya denga kesenangan. Padahal keduanya berbeda tingkatan secara moral, sehingga pemahaman antara kebahagiaan dan kesenangan itu menjadi absurd.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara singkat dapat kita pahami bahwa manusia berupaya dan bekerja untuk mencapai bahagia dalam kehidupannya, akan tetapi mereka cenderung salah menafsirkan makna kebahagiaan dalam hidup mereka. Artinya kebahagiaan bukan semata karena kita kaya dan memiliki kuasa untuk bertindak, namun kebahagiaan itu merupakan sebuah kondisi jasmani dan rohani yang penuh. Sekalipun seseorang mengalami nasib kekurangan bahkan miskin, namun ia bisa mengatakan ‘bahwa aku bahagia meski aku miskin’. Sebaliknya orang yang berlimpah harta dan memiliki kuasa bahkan pengaruh, bisa saja mengatakan merasa tidak bahagia, tidak tenang penuh kekhawatiran. Maka kebahagiaan bukan bukan masalah kaya – miskin, punya atau tidak punya, menjadi atau tidak menjadi,berkuasa atau tidak berkuasa, namun lebih pada kondisi seseorang untuk bisa menikmati dinamika hidup dengan rasa syukur.
Menggapai kebahagiaan
Tentu memang kebahagiaan tidak lebih mudah untuk kita gapai jika tiada kesadaran, kemauan dan memiliki sarana yang tepat untuk menggapainya. Kesadaran itu ialah pemahaman tentang kebahagiaan secara tepat, dimana bahwa kebahagiaan tidak berarti sama dengan kesenangan. Berikutnya adalah kemauan untuk mau berjuang menggapai kemerdekaan itu, sebab segala sesuatu perlu diperjuangkan. Yang terakhir berkaitan dengan sarana, dimana bahwa segala sesutau yang ada di dunia ini dan segala yang boleh kita miliki di kehidupan ini merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan secara penuh. Kondisi kaya dan miskin, merupakan sarana untuk kita merancang kebahagiaan bagi kita sendiri. Maka jelas kebahagiaan adalah sesuatu yang mesti kita create bukan yang bersifat given.
Dengan demikian hal utama yang harus di penuhi dalam rangka mengusahakan kebahagiaan adalah sebuah pemahaman yang benar. Pemahaman yang benar berarti memiliki pengetahuan yang benar akan segala sesuatu. Contoh: ada sebuah bolpen. Bolpen itu bisa saja digunakan untuk menusuk daging, mencungkil sesuatu, mencelakakan orang, namun pemahaman yang benar adalah bolpen merupakan alat yang diciptakan untuk menulis bukan untuk yang lainya. Tapi bisa saja digunakan untuk hal – hal lain yang tidak sesuai dengan hakikat bolpen sebagai alat menulis. Dalam hal ini maka terang budi setiap individu sangat mempengaruhi. Maka untuk memperoleh pengetahuan yang benar akan sangat mustahil apabila tanpa dibarengi dengan pengolahan budi/ nurani secara sadar.
Setelah kita tahu bahwa bolpen itu merupakan alat untuk menulis dan dengan terang budi kita gunakan bolpen itu sesuai dengan hakikatnya, maka tiada mustahil kita akan memperoleh keselamatan dengan adanya bolpen. Keselamatan macam apa itu? Dengan bolpen kita dapat lebih efektif dan efisien untuk menulis dibanding harus menulis menggunakan sabak dan kapur. Maka segala kemudahan itu merupakan rahmat keselamatan bagi kita. Namun sebaliknya jika kita tidak mampu mengoperasionalkan bolpen itu secara tepat dengan pertimbangan akal yang sehat, akan mengakibatkan celaka daripada keselamatan. Misal saja, seorang anak menggunakan bolpen itu untuk menusuk temanya sehingga ia kesakitan. Maka ia akan mendapatkan masalah dalam relasi dengan temannya itu. Masalah inilah yang membuat kita akan jauh dari keselamatan, terhindar dari masalah, perasaan tenang dan damai.
Dengan berpengetahuan yang benar, maka keselamatan akan dapat kita rasakan. Dengan adanya keselamatan maka kita akan beroleh kebahagiaan yang kita harapkan.

Sukorejo, 8 Oktober 2016

FX. Hengki Parahate