Friday, 2 October 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian V

Tafsiran Menemukan Kebenaran

Banyak mendengar sedikit bicara adalah tangga pertama dalam titian tangga menuju kebijakasanaan. Perbanyak mendengar dan merenung, dan mengatak apa yang perlu dikatakan karena sebagai kebenaran adalah upaya untuk menjadi bijaksana. Konsisten melakukan proses itu dan terus mencari yang hakiki adalah puncak dari proses menjadi bijaksana dalam tangga puncak kebijaksanaan. Kebenaran tiada pernah berakhir dalam pencarian jati dirinya.

Masalahnya pendengaran inderawi kita tidak pernah jernih menangkap berita kebenaran dan menumpulkan pendengaran hati. Kebenaran saat ini tergantung pada siapa yang berkuasa, bermodal, berkedudukan, dan yang terhormat dalam status sosial, sekalipun mulut mereka penuh dengan tipu muslihat.

Mendengar dan melihat dengan hati adalah upaya yang tepat dalam mencari kebenaran, sebab pendengaran dan pengelihatan inderawi kita sangat mudah dikotori oleh tipu muslihat dalam segala bentuk kemewahannya. Selamat berlatih…

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian IV

Keblinger Kuasa

Kuasa sehebat dan sedahsyat apapun yang diraih oleh seseorang tidak akan berarti apa-apa. Sebab manusia tidak pernah berkuasa atas nafsu kekuasaan dari dalam dirinya. Dan sayang semua orang berjuang untuk mendapat kuasa itu dengan segala daya upaya, hingga rela merendahkan diri dan martabatnya untuk menjadi budak olehnya. Sungguh ironi kemanusiaan yang sepertinya menjadi fenomena dewasa ini di segala lini. Memperbudak diri pada nafsu, tetaplah hamba tanpa kuasa sekalipun kekuasaan tertinggi dan terhormat yang telah dicapainya.

Insyafkan diri dan berpahamlah dengan benar. Kuasamu adalah bentuk penghambaanmu pada kemanusiaan. Maka rendah hatilah dan jangan picik terhadap kuasamu. Kuasamu tidak kekal. Jangan takabur olehnya dan menanglah atas nafsu kuasa agar tidak diperbudak serta direndahkan, dan engkau sungguh – sungguh berkuasa atas kuasa dirimu sendiri. Selamat berupaya meraih kuasa atas dirimu dan menjadi terhormat sekaligus beradab oleh karena kuasa itu. Dan orang yang degil hatinya tidak pantas untuk mendapatkan kuasa yang terhormat itu. Mereka adalah manusia yang keblinger.

 

 

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian III

Esensi

Bekerjalah pada suatu yang engkau cintai? Tidak semudah mengatakanya dalam praktik. Terkadang justru luka yang akan kita terima akibat ke-cintaan itu. Semua bersifat komplemen dan paradoksal.

Mencintai segala sesuatu yang kita lakukan adalah baik tapi bukanlah sebuah kebenaran apalagi pembenaran terhadap cara – cara kita terhadapnya. Dinamika jiwa tidak bisa dinormatifkan, sebab ia merdeka dan peka terhadap segala sesuatu kondisi dan nurani sebagai timbangannya.

Hanya saja, kita terbentur pada kondisi pekerjaan yang mendasarkan pada euphoria action tanpa menghidupi esensi. Memang akan begitu megah kelihatannya, namun miskin akan esensi. Solusinya adalah melawan dan mendobrak tembok pengukung jiwa. Menjadi terasing dari sebuah kondisi abnormal jauh lebih terhormat, daripada terhormat dalam kondisi abnormal itu sendiri.

Mendidik adalah pekerjaan kemanusiaan dan ukurannya adalah kemanusiaan itu sendiri. Namun sayang, sistem mempersempit ruang gerak jiwa untuk berkarya dalam Pendidikan. Semua serba pasti dan terukur dengan ukuran – ukuran yang tidak esensi. Pendidikan deweasa ini adalah pekerjaan mencipta yang abai mengolah rasa bisa merasa. Menajamkan logika tanpa nurani. Memperjuangkan adab tapi kehilangan adab. Ahistoris dan eutopis, jauh dari realita kemanusiaan itu sendiri.

Untuk dapat menemukan esensi, harus mau berpikir keras dan merenung atas apa yang kita jalani. Jalani hidup kita, dan hidupi yang kita jalani.

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian II

Pertarungan

Setelah pertarungan usai, sesungguhnya kita kabur mengenai pemahaman hasil akhir. Siapa pemenang dan siapa pihak yang kalah?. Yang ada hanyalah pengurangan. Kurang rasa saling percaya, saling hormat, berinterospeksi, kurang adab, dan kurang saling memahami.

Ini bukanlah pertarungan yang sesungguhnya, sekalipun segala upaya telah dikerahkan dan meguras tenaga serta mengorbankan martabat diri. Semua hanya persoalan intrik picik semata yang malu – malu. Tidak berani terbuka, karena takut jikalau intensi pertarungan itu diketahui bukan untuk martabat dan kerhormatan, melainkan karena rasa ingin ‘mematikan’ yang bersumber dari hati pembenci dan iri. Demikianlah orang itu sesungguhnya harus dikasihi karena tidak memiliki cinta.

Bersabarlah menganggung segala sesuatu yang pedih karena banyak hal dengan musuh yang demikian. Setidaknya dengan itu engkau telah selangkah maju untuk memenangkan pertarungan.

Selamat bertarung melawan dirimu sendiri, sebagai musuh terberatmu.

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian I

Merdeka Menentukan Nasib

Setiap orang berhak menentukan nasibnya masing – masing. Itulah merdeka. Siapapun tidak memiliki legitimasi untuk menghakimi nasib masa depannya. Ya, hidup sesungguhnya adalah seni memilih dan aku setuju akan hal itu. Memilih dari sekian banyak pilihan jalan untuk meraih bayangan masa depan yang telah ditetapkan. Dan sangat manusiawi kita menggunakan rasionalitas kita untuk menimbang setiap resiko, peluang dan keuntungan dari setiap pilihan yang ada. Hanya saja terkadang rasionalitas kita terlalu menitik beratkan pada rasionalitas piker saja dan mengesampingkan rasionalitas nurani. Jangan sampai mengambil keputusan dalam ketidaktenangan dan kejernihan hati. Fatal akibatnya, hidup dalam sesal.

Rasionalitas nurani, sesungguhnya cerminan kerinduan jiwa akan kebutuhannya untuk merasa damai dan tidak bergejolak secara labil. Sebab disinilah kemerdekaan itu berada, dimana hati merasa tenang dan damai dalam kondisi seperti apapun yang muncul sebagai resiko atas pilihan yang kita ambil. Tiada rasa sesal, khawatir dan tenang. Itulah merdeka.

Masalahnya sejauhmana kita melibatkan rasionalitas nurani kita dalam dinamika hidup kita selama ini? Selama merenung…

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020