Cogito Ergo Sum (Aku Berpikir maka aku ada) - Rene Descartes - Blog yang berisi tentang segala macam pemikiran, ide, gagasan untuk kebaikan hidup
Monday, 14 March 2022
Tuesday, 22 February 2022
Kesusastraan : Serat Wulangreh Pupuh Durma
DURMA
Durma : diartikne saka tembung munduring tata krama. Digambarake
manungsa mesthi duweni watak kang ala, wengis, iri dengki srei, nesu lan
angkara murka.
D U
R M A
01
Dipun sami
ambanting ing badanira, nyudha dhahar lan guling, darapon sudaa, nepsu kang
ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadya sabarang, karyanira lestari.
Biasakanlah
melatih dirimu untuk prihatin dengan mengurangi makan dan tidur agar berkurang
nafsu yang menggelora, heningkan hatimu hingga tercapai yang kau inginkan
02
Ing
pangrawuh lair batin aja mamang, yen sira wus udani, mring sariranira, lamun
ana kang Murba, masesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi.
Janganlah
ragu terhadap pengetahuan lahir batin. Jika kau memahami bahwa dalam kehidupan
ini ada yang berkuasa, mudah-mudahan keinginanmu terkabul
03
Bener luput
ala becik lawan beja, cilaka mapan saking, ing badan priyangga, dudu saking
wong liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.
Benar
salah, baik buruk, serta untung rugi, bukankah berasal dari dirimu sendiri?
Bukan dari orang lain. oleh karena itu, hati-hatilah terhadap segala ancaman,
hindari dan ingat
04
Apan ana
sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, puniki lilira, yokang telung
prakara, poma ywa nggunggung sireki, sarta lan aja, nacat kepati pati.
Bukankah
ada tiga perkara utama yang akan membesarkanmu? Ketiga perkara tersebut adalah
jangan menyombongkan diri, jangan mecela
05
Lawan aja
maoni sabarang karya, sithik-sithik memaoni, samubarang polah, tan kena wong
kumlebat, ing masa mengko puniki, apan wus lumrah, uga padha maoni.
Dan
jangan mengritik hasil orang lain, sedikit-sedikit mengritik, segala tingkah
orang lain dikritik. Memang zaman sekarang sudah lumrah orang mengritik
06
Mung tindake
dhewe datan winaonan, ngrasa bener pribadi, sanadyan benera, yen tindake wong
liya, pasti den arani sisip, iku wong ala, ngganggo bener pribadi.
Hanya hasil
karya sendiri yang tidak dikritik karena merasa paling benar. Meskipun benar,
jika perbuatan orang lain pasti dikatakan salah. Hal itu salah karena
kebenarannya menggunakan (ukuran) diri sendiri
07
Nora nana
panggawe kang luwih gampang, kaya wong memamaoni, sira eling-eling, aja sugih
waonan, den sami salajeng budi, ingkang prayoga, sapa-sapa kang lali.
Tidak
ada perbuatan yang lebih mudah daripada mengritik. Kau ingatlah, jangan terlalu
sering mengritik, selalulah berpikir baik. Barang siapa yang lupa
08
Ingkang
eling iku padha angilangna, marang sanak kanca kang lali, den nedya raharja,
mangkono tindakira, yen tan nggugu liya uwis, teka menenga, mung aja sok
ngrasani.
Dari
yang ingat, maka ingatkan. Kepada sanak dan kerabat semoga bahagia. Begitu
seharusnya tidakanmu, namun jika tidak diturut, maka diamlah, namun jangan
membicarakan
09
Nemu dosa
gawanen sakpadha-padha, dene wong ngalem ugi, yen durung pratela, ing temen
becikira, aja age nggunggung kaki, meneh tan nyata, dadi cirinireki.
Kau akan
berdosa pada sesame. Begitupun jika kau memuji yang belum kaubuktikan
kebenarannya, jangan terburu-buru memuji, Anakku. Karena jika tidak
terbukti malah akan menjadi celaan
10
Dene kang
wus kaprah ing masa samangkya, yen ana den senengi, ing pangalemira, pan kongsi
pandirangan, matane kongsi malirik, nadyan alaa, ginunggung becik ugi.
Adapun
yang sering terjadi pada zaman sekarang adalah jika ada orang yang disenanginya
maka dipuji setinggi langit sampai matanya melotot, meskipun jelek tetapi tetap
dikatakan baik
11
Aja ngalem
aja mada lamun bisa, yen uga masa mangkin iya ing sabarang, yen nora sinenengan,
den poyok kapati pati, nora prasaja, sabarang kang den pikir.
Kalau
bisa, jangan memuji atau mencela. Namun kini, jika tidak disenangi maka akan
dicela habis-habisan, yang dipikirkan pun bermacam-macam
12
Ngandhut
rukun becike ngarep kewala, ing wuri angarsani, ingkang ora-ora, kabeh kang
rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah, wirangronge gumanti.
Pada
awalnya berpura-pura baik, tetapi di belakang diomongkan yang bukan-bukan,
pembicaraan pun berganti (wirangrong merupakan isyarat pergantian pola tembang
beirkutnya, yaitu wirangrong)
Sumber:https://panditoblog.wordpress.com/2012/05/17/serat-wulangreh/
Saturday, 27 March 2021
NARASI PERGUMULAN
Bagian
VI
Melawan
Arus
Tidak mudah, dan bahkan akan mengkerdilkan hati
Akan membuat menjadi terasing dari kumpulan kenaifan dan
munafik
Dan tersingkir karena memang disingkirkan
Menjadi ‘sampah’ bagi mereka yang mencintai keindahan mata disbanding
jiwa
Tiada yang lebih indah daripada memantapkan jiwa untuk
tetap mejaga kewarasan
Melawan gerusan arus pemalsuan dan rekayasa nurani yang
jahat
Hanya satu kata ‘lawan’!
Catatan
peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian
V
Paradoksal
‘Orang jahat’ mengadili si jahat
‘Si penindas’ berujar kemerdekaan
‘Pemimpin’ menuntut dipahami
Berilmu tapi membodohi
Beragama tapi tidak bertuhan
Pencuri menuntut kejujuran dan keadilan
Paradok adalah anomali ketidakawarasan dan ketidakseimbangan
Dan pembiaran atasnya adalah kejahatan dan dosa
Catatan
peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian
IV
Konspirasi
Bukan sesuatu yang bersifat mistis, terselubung, penuh
siasat dan berkonotasi negatif
Tapi tidak selalu demikian jahatnya, tergantung orientasi gerakan
ini
Bukan masalah benar dan salah, bukan pula dampak yang ditimbulkan
dari gerakan ini
Tetapi semua Kembali tentang nilai nurani sebagai timbangan
kebenaran
Selama konspirasi ini dilakukan oleh si jahat akan tetap
jahat sebaik apapun dampak positif dari gerakan itu
Sebab kebenara bukan ukuran jumlah, dan siapa yang berkuasa,
tetapi masalah cerminan hati yang murni
Dan hati setiap manusia adalah murni dalam hasrat kebaikan,
hanya saja menjadi kotor oleh karena dengki dan picik
Catatan
peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian
II
Jargonisme
Kata hanya gelembung udara yang kosong, jika berasal dari
hati yang kotor
Kata akan menjadi lebih bermakna jika berasal dari batin
yang lapang dan murni
tanpa selubung Hasrat menciderai dan tendensius mengejar hasrat
ke-aku-an
Berkata berarti berucap kebenaran bukan rekayasa kata
dengan selubung siasat
Jargon hanya retorika berwatak nekrofilisme.
Catatan
peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian
III
Berkuasa
Kekuasaan adalah pesona manusiawi yang memabukan
Tanpa moral, siapa saja berupaya untuk meraihnya semata
untuk ‘prestise’
Tidak ada niatan tulus untuk berkuasa dan itu adalah
masalah
Dan kuasa hanya layak bagi mereka yang bijak bukan hanya
cakap secara teknis
Tanpa keduanya kekuasaan akan timpang
Sebab berkuasa adalah merendahkan diri untuk menjadi
pelayan bukan untuk dilayani
Banyak mendengar dan buka banyak memerintah
Memberi kemerdekaan bukan pengekangan
Memberi pengharapan bukan menebar ketakutan dan khawatir
Bijaklah menguasai dirimu sendiri sebelum segala sesuatu
yang ada di luar dirimu
Catatan
peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian
I
Akal
Sehat
Tidak ada yang salah dengan akal atau pikiran
Yang salah adalah yang menguasai akal atau pikiran
Kejahatan dan kebaikan berawal dari sebuah ide atau
gagasan, hanya bagaimana menguasai Hasrat
Jadi tergantung hati seperti apa yang menguasai ide itu.
Salah menjadi benar, benar menjadi salah
Si jahat seolah – olah korban, dan korban yang sebenarnya
menjadi si jahat
Dan memang demikian yang terjadi. Ketidakwarasan.
Cermin hati menjadi buram, sehingga kebenaran menjadi semu
bahkan dieksploitasi demi pembenaran
Dan inilah kebenaran; hilangnya kewarasan akal maka
moralitas hancur.
Catatan
peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020
Friday, 2 October 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian V
Tafsiran
Menemukan Kebenaran
Banyak
mendengar sedikit bicara adalah tangga pertama dalam titian tangga menuju
kebijakasanaan. Perbanyak mendengar dan merenung, dan mengatak apa yang perlu
dikatakan karena sebagai kebenaran adalah upaya untuk menjadi bijaksana. Konsisten
melakukan proses itu dan terus mencari yang hakiki adalah puncak dari proses
menjadi bijaksana dalam tangga puncak kebijaksanaan. Kebenaran tiada pernah
berakhir dalam pencarian jati dirinya.
Masalahnya
pendengaran inderawi kita tidak pernah jernih menangkap berita kebenaran dan
menumpulkan pendengaran hati. Kebenaran saat ini tergantung pada siapa yang
berkuasa, bermodal, berkedudukan, dan yang terhormat dalam status sosial,
sekalipun mulut mereka penuh dengan tipu muslihat.
Mendengar
dan melihat dengan hati adalah upaya yang tepat dalam mencari kebenaran, sebab
pendengaran dan pengelihatan inderawi kita sangat mudah dikotori oleh tipu
muslihat dalam segala bentuk kemewahannya. Selamat berlatih…
Catatan
permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian IV
Keblinger
Kuasa
Kuasa
sehebat dan sedahsyat apapun yang diraih oleh seseorang tidak akan berarti apa-apa.
Sebab manusia tidak pernah berkuasa atas nafsu kekuasaan dari dalam dirinya. Dan
sayang semua orang berjuang untuk mendapat kuasa itu dengan segala daya upaya,
hingga rela merendahkan diri dan martabatnya untuk menjadi budak olehnya. Sungguh
ironi kemanusiaan yang sepertinya menjadi fenomena dewasa ini di segala lini. Memperbudak
diri pada nafsu, tetaplah hamba tanpa kuasa sekalipun kekuasaan tertinggi dan
terhormat yang telah dicapainya.
Insyafkan
diri dan berpahamlah dengan benar. Kuasamu adalah bentuk penghambaanmu pada
kemanusiaan. Maka rendah hatilah dan jangan picik terhadap kuasamu. Kuasamu tidak
kekal. Jangan takabur olehnya dan menanglah atas nafsu kuasa agar tidak
diperbudak serta direndahkan, dan engkau sungguh – sungguh berkuasa atas kuasa
dirimu sendiri. Selamat berupaya meraih kuasa atas dirimu dan menjadi terhormat
sekaligus beradab oleh karena kuasa itu. Dan orang yang degil hatinya tidak pantas
untuk mendapatkan kuasa yang terhormat itu. Mereka adalah manusia yang keblinger.
Catatan
permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian III
Esensi
Bekerjalah
pada suatu yang engkau cintai? Tidak semudah mengatakanya dalam praktik.
Terkadang justru luka yang akan kita terima akibat ke-cintaan itu. Semua bersifat
komplemen dan paradoksal.
Mencintai
segala sesuatu yang kita lakukan adalah baik tapi bukanlah sebuah kebenaran
apalagi pembenaran terhadap cara – cara kita terhadapnya. Dinamika jiwa tidak
bisa dinormatifkan, sebab ia merdeka dan peka terhadap segala sesuatu kondisi
dan nurani sebagai timbangannya.
Hanya
saja, kita terbentur pada kondisi pekerjaan yang mendasarkan pada euphoria action
tanpa menghidupi esensi. Memang akan begitu megah kelihatannya, namun miskin
akan esensi. Solusinya adalah melawan dan mendobrak tembok pengukung jiwa.
Menjadi terasing dari sebuah kondisi abnormal jauh lebih terhormat, daripada
terhormat dalam kondisi abnormal itu sendiri.
Mendidik
adalah pekerjaan kemanusiaan dan ukurannya adalah kemanusiaan itu sendiri. Namun
sayang, sistem mempersempit ruang gerak jiwa untuk berkarya dalam Pendidikan. Semua
serba pasti dan terukur dengan ukuran – ukuran yang tidak esensi. Pendidikan deweasa
ini adalah pekerjaan mencipta yang abai mengolah rasa bisa merasa. Menajamkan
logika tanpa nurani. Memperjuangkan adab tapi kehilangan adab. Ahistoris dan eutopis,
jauh dari realita kemanusiaan itu sendiri.
Untuk
dapat menemukan esensi, harus mau berpikir keras dan merenung atas apa yang
kita jalani. Jalani hidup kita, dan hidupi yang kita jalani.
Catatan
permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian II
Pertarungan
Setelah
pertarungan usai, sesungguhnya kita kabur mengenai pemahaman hasil akhir. Siapa
pemenang dan siapa pihak yang kalah?. Yang ada hanyalah pengurangan. Kurang rasa
saling percaya, saling hormat, berinterospeksi, kurang adab, dan kurang saling
memahami.
Ini
bukanlah pertarungan yang sesungguhnya, sekalipun segala upaya telah dikerahkan
dan meguras tenaga serta mengorbankan martabat diri. Semua hanya persoalan
intrik picik semata yang malu – malu. Tidak berani terbuka, karena takut
jikalau intensi pertarungan itu diketahui bukan untuk martabat dan kerhormatan,
melainkan karena rasa ingin ‘mematikan’ yang bersumber dari hati pembenci dan
iri. Demikianlah orang itu sesungguhnya harus dikasihi karena tidak memiliki
cinta.
Bersabarlah
menganggung segala sesuatu yang pedih karena banyak hal dengan musuh yang
demikian. Setidaknya dengan itu engkau telah selangkah maju untuk memenangkan
pertarungan.
Selamat
bertarung melawan dirimu sendiri, sebagai musuh terberatmu.
Catatan
permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020
NARASI PERGUMULAN
Bagian I
Merdeka
Menentukan Nasib
Setiap
orang berhak menentukan nasibnya masing – masing. Itulah merdeka. Siapapun
tidak memiliki legitimasi untuk menghakimi nasib masa depannya. Ya, hidup
sesungguhnya adalah seni memilih dan aku setuju akan hal itu. Memilih dari
sekian banyak pilihan jalan untuk meraih bayangan masa depan yang telah
ditetapkan. Dan sangat manusiawi kita menggunakan rasionalitas kita untuk menimbang
setiap resiko, peluang dan keuntungan dari setiap pilihan yang ada. Hanya saja
terkadang rasionalitas kita terlalu menitik beratkan pada rasionalitas piker saja
dan mengesampingkan rasionalitas nurani. Jangan sampai mengambil keputusan
dalam ketidaktenangan dan kejernihan hati. Fatal akibatnya, hidup dalam sesal.
Rasionalitas
nurani, sesungguhnya cerminan kerinduan jiwa akan kebutuhannya untuk merasa
damai dan tidak bergejolak secara labil. Sebab disinilah kemerdekaan itu berada,
dimana hati merasa tenang dan damai dalam kondisi seperti apapun yang muncul
sebagai resiko atas pilihan yang kita ambil. Tiada rasa sesal, khawatir dan
tenang. Itulah merdeka.
Masalahnya
sejauhmana kita melibatkan rasionalitas nurani kita dalam dinamika hidup kita
selama ini? Selama merenung…
Catatan
permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020