Tuesday, 22 February 2022

Kesusastraan : Serat Wulangreh Pupuh Durma

 

DURMA

Durma : diartikne saka tembung munduring tata krama. Digambarake manungsa mesthi duweni watak kang ala, wengis, iri dengki srei, nesu lan angkara murka.

 

 

D U R M A

01

Dipun sami ambanting ing badanira, nyudha dhahar lan guling, darapon sudaa, nepsu kang ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadya sabarang, karyanira lestari.

 

Biasakanlah melatih dirimu untuk prihatin dengan mengurangi makan dan tidur agar berkurang nafsu yang menggelora, heningkan hatimu hingga tercapai yang kau inginkan

02

Ing pangrawuh lair batin aja mamang, yen sira wus udani, mring sariranira, lamun ana kang Murba, masesa ing alam kabir, dadi sabarang, pakaryanira ugi.

 

Janganlah ragu terhadap pengetahuan lahir batin. Jika kau memahami bahwa dalam kehidupan ini ada yang berkuasa, mudah-mudahan keinginanmu terkabul

03

Bener luput ala becik lawan beja, cilaka mapan saking, ing badan priyangga, dudu saking wong liya, mulane den ngati-ati, sakeh dirgama, singgahana den eling.

 

Benar salah, baik buruk, serta untung rugi, bukankah berasal dari dirimu sendiri? Bukan dari orang lain. oleh karena itu, hati-hatilah terhadap segala ancaman, hindari dan ingat

04

Apan ana sesiku telung prakara, nanging gedhe pribadi, puniki lilira, yokang telung prakara, poma ywa nggunggung sireki, sarta lan aja, nacat kepati pati.

 

Bukankah ada tiga perkara utama yang akan membesarkanmu? Ketiga perkara tersebut adalah jangan menyombongkan diri, jangan mecela

05

Lawan aja maoni sabarang karya, sithik-sithik memaoni, samubarang polah, tan kena wong kumlebat, ing masa mengko puniki, apan wus lumrah, uga padha maoni.

 

Dan jangan mengritik hasil orang lain, sedikit-sedikit mengritik, segala tingkah orang lain dikritik. Memang zaman sekarang sudah lumrah orang mengritik

06

Mung tindake dhewe datan winaonan, ngrasa bener pribadi, sanadyan benera, yen tindake wong liya, pasti den arani sisip, iku wong ala, ngganggo bener pribadi.

 

Hanya hasil karya sendiri yang tidak dikritik karena merasa paling benar. Meskipun benar, jika perbuatan orang lain pasti dikatakan salah. Hal itu salah karena kebenarannya menggunakan (ukuran) diri sendiri

07

Nora nana panggawe kang luwih gampang, kaya wong memamaoni, sira eling-eling, aja sugih waonan, den sami salajeng budi, ingkang prayoga, sapa-sapa kang lali.

 

Tidak ada perbuatan yang lebih mudah daripada mengritik. Kau ingatlah, jangan terlalu sering mengritik, selalulah berpikir baik. Barang siapa yang lupa

08

Ingkang eling iku padha angilangna, marang sanak kanca kang lali, den nedya raharja, mangkono tindakira, yen tan nggugu liya uwis, teka menenga, mung aja sok ngrasani.

 

Dari yang ingat, maka ingatkan. Kepada sanak dan kerabat semoga bahagia. Begitu seharusnya tidakanmu, namun jika tidak diturut, maka diamlah, namun jangan membicarakan

09

Nemu dosa gawanen sakpadha-padha, dene wong ngalem ugi, yen durung pratela, ing temen becikira, aja age nggunggung kaki, meneh tan nyata, dadi cirinireki.

 

Kau akan berdosa pada sesame. Begitupun jika kau memuji yang belum kaubuktikan kebenarannya, jangan terburu-buru memuji, Anakku. Karena  jika tidak terbukti malah akan menjadi celaan

 

10

Dene kang wus kaprah ing masa samangkya, yen ana den senengi, ing pangalemira, pan kongsi pandirangan, matane kongsi malirik, nadyan alaa, ginunggung becik ugi.

 

Adapun yang sering terjadi pada zaman sekarang adalah jika ada orang yang disenanginya maka dipuji setinggi langit sampai matanya melotot, meskipun jelek tetapi tetap dikatakan baik

 

11

Aja ngalem aja mada lamun bisa, yen uga masa mangkin iya ing sabarang, yen nora sinenengan, den poyok kapati pati, nora prasaja, sabarang kang den pikir.

 

Kalau bisa, jangan memuji atau mencela. Namun kini, jika tidak disenangi maka akan dicela habis-habisan, yang dipikirkan pun bermacam-macam

12

Ngandhut rukun becike ngarep kewala, ing wuri angarsani, ingkang ora-ora, kabeh kang rinasanan, ala becik den rasani, tan parah-parah, wirangronge gumanti.

Pada awalnya berpura-pura baik, tetapi di belakang diomongkan yang bukan-bukan, pembicaraan pun berganti (wirangrong merupakan isyarat pergantian pola tembang beirkutnya, yaitu wirangrong)

 

 

 

 

Sumber:https://panditoblog.wordpress.com/2012/05/17/serat-wulangreh/

 

Saturday, 27 March 2021

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian VI

Melawan Arus

Tidak mudah, dan bahkan akan mengkerdilkan hati

Akan membuat menjadi terasing dari kumpulan kenaifan dan munafik

Dan tersingkir karena memang disingkirkan

Menjadi ‘sampah’ bagi mereka yang mencintai keindahan mata disbanding jiwa

Tiada yang lebih indah daripada memantapkan jiwa untuk tetap mejaga kewarasan

Melawan gerusan arus pemalsuan dan rekayasa nurani yang jahat

Hanya satu kata ‘lawan’!

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian V

Paradoksal

‘Orang jahat’ mengadili si jahat

‘Si penindas’ berujar kemerdekaan

‘Pemimpin’ menuntut dipahami

Berilmu tapi membodohi

Beragama tapi tidak bertuhan

Pencuri menuntut kejujuran dan keadilan

Paradok adalah anomali ketidakawarasan dan ketidakseimbangan

Dan pembiaran atasnya adalah kejahatan dan dosa

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian IV

Konspirasi

Bukan sesuatu yang bersifat mistis, terselubung, penuh siasat dan berkonotasi negatif

Tapi tidak selalu demikian jahatnya, tergantung orientasi gerakan ini

Bukan masalah benar dan salah, bukan pula dampak yang ditimbulkan dari gerakan ini

Tetapi semua Kembali tentang nilai nurani sebagai timbangan kebenaran

Selama konspirasi ini dilakukan oleh si jahat akan tetap jahat sebaik apapun dampak positif dari gerakan itu

Sebab kebenara bukan ukuran jumlah, dan siapa yang berkuasa, tetapi masalah cerminan hati yang murni

Dan hati setiap manusia adalah murni dalam hasrat kebaikan, hanya saja menjadi kotor oleh karena dengki dan picik

 

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian II

Jargonisme

Kata hanya gelembung udara yang kosong, jika berasal dari hati yang kotor

Kata akan menjadi lebih bermakna jika berasal dari batin yang lapang dan murni

tanpa selubung Hasrat menciderai dan tendensius mengejar hasrat ke-aku-an

Berkata berarti berucap kebenaran bukan rekayasa kata dengan selubung siasat

Jargon hanya retorika berwatak nekrofilisme.

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian III

Berkuasa

Kekuasaan adalah pesona manusiawi yang memabukan

Tanpa moral, siapa saja berupaya untuk meraihnya semata untuk ‘prestise’

Tidak ada niatan tulus untuk berkuasa dan itu adalah masalah

Dan kuasa hanya layak bagi mereka yang bijak bukan hanya cakap secara teknis

Tanpa keduanya kekuasaan akan timpang

Sebab berkuasa adalah merendahkan diri untuk menjadi pelayan bukan untuk dilayani

Banyak mendengar dan buka banyak memerintah

Memberi kemerdekaan bukan pengekangan

Memberi pengharapan bukan menebar ketakutan dan khawatir

Bijaklah menguasai dirimu sendiri sebelum segala sesuatu yang ada di luar dirimu

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian I

Akal Sehat

Tidak ada yang salah dengan akal atau pikiran

Yang salah adalah yang menguasai akal atau pikiran

Kejahatan dan kebaikan berawal dari sebuah ide atau gagasan, hanya bagaimana menguasai Hasrat

Jadi tergantung hati seperti apa yang menguasai ide itu.

Salah menjadi benar, benar menjadi salah

Si jahat seolah – olah korban, dan korban yang sebenarnya menjadi si jahat

Dan memang demikian yang terjadi. Ketidakwarasan.

Cermin hati menjadi buram, sehingga kebenaran menjadi semu bahkan dieksploitasi demi pembenaran

Dan inilah kebenaran; hilangnya kewarasan akal maka moralitas hancur.

 

Catatan peremenungan : Hengki P., Selasa, 3 November 2020

Friday, 2 October 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian V

Tafsiran Menemukan Kebenaran

Banyak mendengar sedikit bicara adalah tangga pertama dalam titian tangga menuju kebijakasanaan. Perbanyak mendengar dan merenung, dan mengatak apa yang perlu dikatakan karena sebagai kebenaran adalah upaya untuk menjadi bijaksana. Konsisten melakukan proses itu dan terus mencari yang hakiki adalah puncak dari proses menjadi bijaksana dalam tangga puncak kebijaksanaan. Kebenaran tiada pernah berakhir dalam pencarian jati dirinya.

Masalahnya pendengaran inderawi kita tidak pernah jernih menangkap berita kebenaran dan menumpulkan pendengaran hati. Kebenaran saat ini tergantung pada siapa yang berkuasa, bermodal, berkedudukan, dan yang terhormat dalam status sosial, sekalipun mulut mereka penuh dengan tipu muslihat.

Mendengar dan melihat dengan hati adalah upaya yang tepat dalam mencari kebenaran, sebab pendengaran dan pengelihatan inderawi kita sangat mudah dikotori oleh tipu muslihat dalam segala bentuk kemewahannya. Selamat berlatih…

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian IV

Keblinger Kuasa

Kuasa sehebat dan sedahsyat apapun yang diraih oleh seseorang tidak akan berarti apa-apa. Sebab manusia tidak pernah berkuasa atas nafsu kekuasaan dari dalam dirinya. Dan sayang semua orang berjuang untuk mendapat kuasa itu dengan segala daya upaya, hingga rela merendahkan diri dan martabatnya untuk menjadi budak olehnya. Sungguh ironi kemanusiaan yang sepertinya menjadi fenomena dewasa ini di segala lini. Memperbudak diri pada nafsu, tetaplah hamba tanpa kuasa sekalipun kekuasaan tertinggi dan terhormat yang telah dicapainya.

Insyafkan diri dan berpahamlah dengan benar. Kuasamu adalah bentuk penghambaanmu pada kemanusiaan. Maka rendah hatilah dan jangan picik terhadap kuasamu. Kuasamu tidak kekal. Jangan takabur olehnya dan menanglah atas nafsu kuasa agar tidak diperbudak serta direndahkan, dan engkau sungguh – sungguh berkuasa atas kuasa dirimu sendiri. Selamat berupaya meraih kuasa atas dirimu dan menjadi terhormat sekaligus beradab oleh karena kuasa itu. Dan orang yang degil hatinya tidak pantas untuk mendapatkan kuasa yang terhormat itu. Mereka adalah manusia yang keblinger.

 

 

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian III

Esensi

Bekerjalah pada suatu yang engkau cintai? Tidak semudah mengatakanya dalam praktik. Terkadang justru luka yang akan kita terima akibat ke-cintaan itu. Semua bersifat komplemen dan paradoksal.

Mencintai segala sesuatu yang kita lakukan adalah baik tapi bukanlah sebuah kebenaran apalagi pembenaran terhadap cara – cara kita terhadapnya. Dinamika jiwa tidak bisa dinormatifkan, sebab ia merdeka dan peka terhadap segala sesuatu kondisi dan nurani sebagai timbangannya.

Hanya saja, kita terbentur pada kondisi pekerjaan yang mendasarkan pada euphoria action tanpa menghidupi esensi. Memang akan begitu megah kelihatannya, namun miskin akan esensi. Solusinya adalah melawan dan mendobrak tembok pengukung jiwa. Menjadi terasing dari sebuah kondisi abnormal jauh lebih terhormat, daripada terhormat dalam kondisi abnormal itu sendiri.

Mendidik adalah pekerjaan kemanusiaan dan ukurannya adalah kemanusiaan itu sendiri. Namun sayang, sistem mempersempit ruang gerak jiwa untuk berkarya dalam Pendidikan. Semua serba pasti dan terukur dengan ukuran – ukuran yang tidak esensi. Pendidikan deweasa ini adalah pekerjaan mencipta yang abai mengolah rasa bisa merasa. Menajamkan logika tanpa nurani. Memperjuangkan adab tapi kehilangan adab. Ahistoris dan eutopis, jauh dari realita kemanusiaan itu sendiri.

Untuk dapat menemukan esensi, harus mau berpikir keras dan merenung atas apa yang kita jalani. Jalani hidup kita, dan hidupi yang kita jalani.

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian II

Pertarungan

Setelah pertarungan usai, sesungguhnya kita kabur mengenai pemahaman hasil akhir. Siapa pemenang dan siapa pihak yang kalah?. Yang ada hanyalah pengurangan. Kurang rasa saling percaya, saling hormat, berinterospeksi, kurang adab, dan kurang saling memahami.

Ini bukanlah pertarungan yang sesungguhnya, sekalipun segala upaya telah dikerahkan dan meguras tenaga serta mengorbankan martabat diri. Semua hanya persoalan intrik picik semata yang malu – malu. Tidak berani terbuka, karena takut jikalau intensi pertarungan itu diketahui bukan untuk martabat dan kerhormatan, melainkan karena rasa ingin ‘mematikan’ yang bersumber dari hati pembenci dan iri. Demikianlah orang itu sesungguhnya harus dikasihi karena tidak memiliki cinta.

Bersabarlah menganggung segala sesuatu yang pedih karena banyak hal dengan musuh yang demikian. Setidaknya dengan itu engkau telah selangkah maju untuk memenangkan pertarungan.

Selamat bertarung melawan dirimu sendiri, sebagai musuh terberatmu.

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020

 

 

NARASI PERGUMULAN

 

Bagian I

Merdeka Menentukan Nasib

Setiap orang berhak menentukan nasibnya masing – masing. Itulah merdeka. Siapapun tidak memiliki legitimasi untuk menghakimi nasib masa depannya. Ya, hidup sesungguhnya adalah seni memilih dan aku setuju akan hal itu. Memilih dari sekian banyak pilihan jalan untuk meraih bayangan masa depan yang telah ditetapkan. Dan sangat manusiawi kita menggunakan rasionalitas kita untuk menimbang setiap resiko, peluang dan keuntungan dari setiap pilihan yang ada. Hanya saja terkadang rasionalitas kita terlalu menitik beratkan pada rasionalitas piker saja dan mengesampingkan rasionalitas nurani. Jangan sampai mengambil keputusan dalam ketidaktenangan dan kejernihan hati. Fatal akibatnya, hidup dalam sesal.

Rasionalitas nurani, sesungguhnya cerminan kerinduan jiwa akan kebutuhannya untuk merasa damai dan tidak bergejolak secara labil. Sebab disinilah kemerdekaan itu berada, dimana hati merasa tenang dan damai dalam kondisi seperti apapun yang muncul sebagai resiko atas pilihan yang kita ambil. Tiada rasa sesal, khawatir dan tenang. Itulah merdeka.

Masalahnya sejauhmana kita melibatkan rasionalitas nurani kita dalam dinamika hidup kita selama ini? Selama merenung…

 

Catatan permenungan : Hengki P., Kamis, 1 Oktober 2020