Monday, 10 October 2016

Cerpen : Lelaki Berpayung Kabut

Lelaki Berpayung Kabut
Terkadang kematian lebih mempesona daripada menakutkan. Ia bagaikan hujan yang dinantikan petani di musim kemarau nan gersang untuk segera bertanam dan bagaikan pembebasan bagi orang – orang yang tertawan hatinya. Ia kemilau termegah dari segala kemilau yang ada di dunia ini, sehingga ia begitu menggiurkan untuk dicumbui bagi mereka yang menghendaki keabadian, pun juga bagi mereka yang bosan dengan dunia dan berputus asa.
Sebentar lagi surya segera berlabuh dalam peraduan senja jingga. Dan malam menanti untuk menampakan diri dalam keperkasaannya gelap menyelubung. Tiada jiwa manapun yang mampu melawan geliat malam yang perkasa, pun tiada guna menyangkal diri sebab malam akan menguak dan menelanjangi segala pedalaman jiwa. Malam pun tiba menggelayut bersama kabut dalam keremangan menyentuh relung jiwa.
Lelaki paruh baya itu, berdiri tercenung seakan sedang meratapi nasib hidupnya yang menyakitkan. Layaknya pohon jati yang meranggas di musim kemarau, ia merasakan kedinginan jiwanya yang telah mengerak di palungnya. “masihkah ada harapan itu bagiku?”, gumamnya membatin dan meratap.
Sesekali ia mendongak ke atas awan yang berkabut. Hanya gambaran buram yang terbentang di hadapanya, sesuai dengan nasib yang ia alami. Sedih, pilu dan sesal bercampur menjadi sebuah batu yang menggumpal di tenggorokannya lalu turun mengendap di dalam dada, sehingga tiada lagi mampu berkata dan hanya mencucurkan air mata. “Biarlah kiranya malam meredakan segala risau yang menjadi ini bersama dengan segala kemauannya”, batinya pasrah menahan kesesakan batin tiada terkira.
Angin berhembus bersama balutan kabut malam nan dingin, ia berjalan ke dalam hutan dan besembunyi dalam keremangan, seakan tiada mampu menjalani lagi kenyataan hidupnya yang memilukan itu. Ia menyusuri lorong gelap masa lalunya yang kelam dan kini menyisakan penyesalan yang tiada terperikan. Cahya rembulan tiada mampu meyibak bayangannya dalam kegelapan itu, dan tak tahu apa yang ia lakukan dan terjadi di sana. Semua begitu sunyi. Hanya gemericik air yang mengalun – alun, menyanyikan lagu – lagu pujian kepada malam yang  gelap, dingin dan berkabut itu. Ia hilang dalam keremangan dan tiada satu pun pernah mengetahui dimana rimbanya.
Segagah apa pun malam menancapkan keperkasaan gelapnya, rembulan pancaran dewi kelemah – lembutan akan meruntuhkannya.  Terang akan senantiasa mengalahkan gelap walau hanya setitik. Ia akan menyingkap segala gelap bahkan yang paling pekat dengan pancaran sinar kasihnya nan lembut menyapa. Perlahan ia mulai memberi terang alam di bawahnya dan memberikan terang pengharapan pada jiwa – jiwa yang dirundung kegelapan dosa. Tak ayal keremangan itu pun menyibak keberadaan lelaki paruh baya yang terkoyak itu di tepi danau di dalam hutan tak bernama.
ia sedang mengiba kepada malam, tertelungkup kepada tanah di tepian danau itu dan mengharap belas kasihan atas nasib. Ia sedang memohon indulgensi dan pengampunan atas dosa – dosa di masa lalunya. “Oh malam nan agung, jangan biarkan jiwa malang ini tenggelam dalam kegelapanmu nan agung. Percikanlah setitik cahya terangmu untuk menembusi segala relung gelap jiwaku yang terbekap oleh penyesalan ini!”, katanya di tengah kesunyian rimba sambil terus telungkup dan bercuruan air mata.  Malam pun tiada bergeming menanggapi jiwa yang meronta tiada henti itu hingga malam semakin larut. Tiada jawaban atas segala kegundahan itu. Dan malam masih bersembunyi dalam ribaanya yang perkasa dalam keremangan.
“Sungguh aku telah menyesal atas semua yang kulakukan pada masa itu. Aku telah salah meninggalkan istri dan anak – anaku tanpa peduli lagi pada mereka!”, rintihnya pilu.
“aku telah salah menelantarkan jiwa – jiwa yang tiada berdosa itu! Aku telah berdosa !”, pekiknya miris dan  malam masih tetap membisu.
Semakin meronta, semakin malam menancapkan perih pada rasa sesal yang menggumpal di dalam jiwanya itu. Dan itu semua sungguh tak tertahankan lagi bagi jiwa si lelaki paruh baya itu.
Sejenak lelaki itu mulai memberanikan diri menatap malam yang tiada bersahabat baginya itu. Ia berdiri memanggul segala beban sesal yang memilukan itu. Langkahnya terhuyung – huyung mendekati tepian danau di tengah rimba itu, lalu rubuh kembali dalam simpuh layu.
Lelaki paruh baya itu menyemburatkan tatapan kosong, menembusi genangan air danau nan tenang. Lentera jiwanya semakin meredup menembusi pandangan pada air danau itu, yang semakin lama, semakin jelas ia melihat seraut gambaran masa lalunya yang menyedihkan. Dalam cerminan itulah ia semakin jelas menjelajah masa lalunya, menghadirkan kembali ingatan akan peristiwa demi peristiwa bagaimana ia telah salah mengambil keputusan untuk meninggalkan istri dan anak – anaknya yang tiada berdosa itu, dan lalu pergi bersama semilir angin kefasikan yang memabukan.
Ia semakin hanyut dalam pusaran masa lalunya itu dan tiada lagi tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Hanya menunggu pengadilan nasib sajalah kiranya harapnya. Dan kematian merupakan hal yang sungguh ia rindukan untuk mengkahiri segala perih jiwa yang tiada termaafkan itu. Namun demikianlah hidup, apa yang terjadi tidak selalu seperti yang kita harapkan.  Kepasrahan atas hidup hanya berlaku bagi orang – orang yang seharusnya tidak berhak untuk dilahirkan, sebab hidup membutuhkan keberanian untuk menjawab segala tanda tanya.
Gelap sudah semua itu, dan lelaki paruh baya itu tenggelam bersama segala rasa sesal masa lalu dan bermaksud pula menenggelamkan dirinya ke dalam pusaranya hingga tiada berbekas dalam kesunyian malam. Namun tiba – tiba angin berhembus semakin kencang hingga air danau menjadi beriak – riak terhempas angin yang dingin dan membawa debu – debu kehampaan. Lelaki paruh baya itu pun rebah tak kuasa menahan terpaan badai malam dan telungkup merunduk rendah kepadanya.
Setelah beberapa saat berlalu, badai pun reda. Tetapi lelaki paruh baya itu tetap rebah meniduri tanah dan terpejam.  Ia  melayang dalam mimpi yang melelapkan tidurnya dan seakan tak ingin kembali lagi ke alam nyata. Entah sampai kapan ia akan terbangun lagi. Dan angin masih saja berdesis menyanyikan nyanyian pilu penyesalan lelaki paruh baya itu yang tak pernah diketahui ribaannya. Hanya malam yang akan meyimpan segala rahasianya dalam keremangan dan kebisuan.


  FX. Hengki Parahate

Cerpen : Sang Guru Nara dan Kerbau

Sang Guru  Nara dan Kerbau
Manusia adalah panggung kehidupan pengadilan jiwa. Dalam relung kedalamannya ia akan menjadi hakim bagi dirinya sendiri sebagai yang terhakimi. Ini bukan perkara benar dan salah, akan tetapi ini semua berbicara tentang menyelaraskan hati dan jiwa dalam gejolak. Siapa yang menang dan berjaya? Ialah hati dan jiwa yang merdeka dari segala rasa tertawan.
Tinggalah di Desa Saloka seorang pertapa yanng dikenal dengan sebutan Guru Nara. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana dan banyak persoalan orang – orang desa yang tidak terpecahkan oleh para pamong desa, diselesaikan dengan meminta petuah ajaib dari sang guru.
Perawakannya kecil, berkumis dan berjenggot putih. Rambutnya disanggul bak para empu – empu sakti pada zaman dahulu kala. Ia hidup dalam gubuk yang berdinding anyaman bambu dan beratap ijuk. Ia hidup sederhana dengan cara berkebun dan tinggal seorang diri. Hanya seekor kerbau saja yang menemani setiap harinya.
Suatu ketika, di siang hari nan terik, tatkala Guru Nara sedang berkebun sambil mengangon kerbaunya, datanglah segerombolan orang desa menemuinya. Nampak para pamong desa pun ikut serta dalam rombongan orang yang sedang menuju ke arah Guru Nara berkebun. Sekejap Guru Nara menebak adanya sesuatu  persoalan penting yang harus ia pecahkan dengan hati – hati. Maka ia hentikan pekerjaannya lalu menuju gubuk kecil di tepian kebun itu dan menenggak air putih dari kendi.
“Guru Nara! Guru !”, teriak Darsam salah satu pamong desa bersama gerombolan warga menuju gubug tempat Guru Nara beristirahat.
“Guru, Guru Nara. Cilaka ini Guru !”, hatur Darsam mengetuai rombongan.
“Ada apa Darsam? Mengapa begitu banyak orang kau bawa kemari? Apa kiranya yang sedang terjadi? Apanya yang cilaka?”, sergah sang Guru.
“Begini Guru, banyak kerbau dari kami mati tanpa sebab yang jelas!”, tegas Darsam melaporkan masalah yang ada. “ Bagaimana kami bisa menggarap sawah kami Guru jika tiada kerbau pada kami? Jika demikian, kamipun tidak bisa makan karena sawah kami tidak bisa kami olah”, imbuhnya.
Sang Guru Nara hanya terkekeh mendengar laporan Darsam bersama rombonganya itu. Darsam pun merasa tidak senang dengan sikap Sang Guru menanggapi persoalan pelik ini. Lalu Sang Guru berkata kepada mereka “tenanglah Darsam! Mari duduklah disini dan kita menikmati bersama ubi rebus hasil dari kebunku ini. Hari ini lumayan banyak kurebus ubi ini, sehingga cukuplah untuk kita makan bersama disini”.
Darsam dan rombongan itu bingung menghadapi tingkah Guru Nara. “Bagaimana bisa guru mengajak kami makan ubi rebus itu ketika anak istri kami menantikan kami untuk kembali bekerja di sawah agar dapat makan. Dan kami tidak bisa melakukan semua itu tanpa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab”, protes Darsam pada guru Nara.
Namun Guru Nara kembali terkekeh hingga terlihat giginya yang mulai ompong itu tersungging membalas Darsam yang bersungut – sungut.
“Baiklah, apa kiranya yang bisa kulakukan untuk kalian Darsam?”, tanya Guru Nara dengan raut muka yang agak serius sambil menelan ubi yang masih ia kunyah didalam mulutnya.
“Kembalikan nyawa kerbau kami Guru, supaya kami bisa membajak ladang kami kembali! Guru kan memiliki kekuatan sakti yang bisa menyembuhkan penyakit, pula mengembalikan nyawa manusia. Kali ini kembalikan nyawa kerbau kami yang telah mati tanpa sebab itu guru, kami mohon!”, pinta Darsam memelas.
Guru Nara tetap tidak bergeming dengan pinta Darsam yang mewakili kemauan orang banyak bersamanya. Darsam dan rombongan pun merasa bingung dengan sikap Guru Nara menenggapi pinta mereka yang hanya diam sambil tetap mengunyah ubi rebusnya itu. Semua menjadi hening dan hanya memperhatikan tingkah Guru Nara yang belum juga memberikan jawaban. Setelah selesai menelan habis ubi yang dikunyahnya, lalu Guru Nara mengambil kendi berisi air putih minumannya. Lalu ia mulai berkata, “Baiklah akan kulakukan itu untuk kalian Darsam. Tetapi ada syarat yang harus kalian penuhi agar nyawa kerbau kalian bisa kuhidupkan kembali. Apakah kalian bisa memenuhi syarat – syaratnya itu?”.
“Baik Guru. Kami akan memenuhi semua syarat permintaan Guru agar kami bisa mendapatkan kembali kerbau kami yang telah mati itu”, kata Darsam yang diiyakan oleh rombongannya.
“Baiklah jika kalian memang menginginkan nyawa kerbau kalian kembali, kalian harus bisa menghitung jumlah bulu rambut yang dimiliki oleh setiap kerbau kalian dalam waktu tiga hari. Jika kalian berhasil menghitungnya tanpa ada yang terlewatkan sehelai bulu pun, maka pada hari ketiga itulah kerbau kalian akan hidup kembali. Dan segeralah kalian memandikan mereka dan memberinya makanan rumput yang segar”, kata Guru Nara menyampaikan syarat – syarat kepada Darsam dan kelompoknya.
“Guru, bagaimana mungkin kami bisa menghitungnya tanpa terlewatkan dalam waktu tiga hari saja?”, keluh Darsam.
“Ya memang demikian caranya aku dapat menolong memenuhi permintaan kalian. Jika kalian tidak selesai menghitungnya dalam waktu tiga hari maka kerbau kalian tetap akan mati dan tidak terselamatkan Darsam. Jika kalian mau lakukan saja syarat itu, kalau tidak aku tidak tahu lagi cara menolong kesusahan kalian”, jawab Guru Nara.
Meski dengan bersungut – sungut mendengar syarat yang disampaikan oleh Guru Nara, Darsam dan rombongannya menerima syarat yang diajukan oleh sang Guru. “Baiklah Guru, kami akan segera pulang dan kami akan segera memulai menghitung bulu rambut kerbau kami masing – masing mulai malam ini”, katanya.
Lalu bubarlah rombongan itu meninggalkan pondok Guru Nara dan bergegas pulang untuk mempersiapkan acara untuk penghitungan bulu rambut kerbau mereka masing - masing. Kebetulan hari pun sudah mulai sore dan malam akan segera tiba.
Keesokan harinya, Guru Nara bekerja seperti biasa di ladangnya dengan kerbaunya yang selalu menemani di belakang pondoknya yang sedang memakan rumput. Semua sepi dan tenang. Hanya pemandangan gunung hutan dan perbukitan yang nampak hijau permai dengan cakrawala nan biru yang sangat meneduhkan hati setiap manusia yang bisa menikmatinya. Dengan angin pegunungan yang segar sungguh melegakan jiwa.
Namun Guru Nara menyadari dibalik segala kenikmatan itu, dibalik perbukitan tempat tinggalnya sedang berkecamuk manusia – manusia yang resah dan gelisah berkejaran dengan waktu. Sejenak Guru Nara memikirkan nasib mereka dan merasa iba kepada Darsam beserta orang – orang di kampungnya. Tapi inilah hidup. Setiap orang harus berani memilih dan menekuni pilihan itu beserta segala resikonya. Tak terasa hari mulai gelap dan Guru Nara telah melewati hari itu seperti hari – hari biasanya. Nampaknya Darsam bersama dengan orang – orang lain yang bersamanya tidak menemui kendala apapun dalam melakukan syarat yang diajukan oleh Guru Nara. Maka ia merasa tenang dengan itu semua dan berharap Darsam dengan orang – orang yang bersamanya berhasil melalui syarat itu.
Meski demikian, tiada jalan yang mudah untuk mencapai sesuatu sekecil apapun apa yang akan dituju. Semua tetap membutuhkan perjuangan dan pengorbanan serta niatan yang mantap untuk mencapai segala sesuatu. Demikian halnya apa yang dilakukan oleh Darsam bersama orang – orang itu. Permasalahan mulai muncul pada malam di hari kedua.   
“Guru! Guru!”, teriak Darsam mendekati pondok Guru Nara pada malam itu dengan tergopoh – gopoh. Guru Nara pun segera membuka pintu pondoknya dan menyambut kedatangan Darsam dengan raut muka yang cukup panik mengikuti mimik Darsam yang juga terlihat panik.
“Kenapa engkau Darsam?”, sahut sang guru menanyai Darsam yang telah tiba di depan pintu pondoknya. “Mengapa engkau kemari? Bukankah engkau harus selesaikan penghitunganmu atas rambut bulu kerbaumu itu bersama yang lain?” lanjutnya.
“Guru, sepertinya kami tidak akan berhasil menyelesaikan pekerjaan kami. Kini kami hanya punya waktu semalam lagi untuk menyelesaikan perhitungan kami. Padahal kami sangat lelah dan kepayahan karena sudah dua malam ini kami tidak tidur untuk melakukannya. Bahkan ada salah seorang dari kami kini jatuh sakit karena tidak sempat memakan sesuatu apapun guru”, jelas Darsam dengan raut muka yang penuh dengan kecemasan.
“Bisakah kami diberi waktu tambahan lagi Guru agar kami bisa menyelesaikan perhitungan kami?”, imbuhnya.
Guru Nara hanya terdiam menerima laporan Darsam sambil melimbang – limbang dalam hatinya tentang laporan Darsam tersebut. Ia kemudian berkata kepada Darsam, “Aku sudah menduga bahwa kalian tak akan sanggup melakukan pekerjaan itu Darsam”. Sontak Darsam kaget mendengar tanggapan sang guru sambil terus menunggu kelanjutan jawaban darinya.
“Maka aku pun tidak akan pernah bisa mengembalikan nyawa kerbau kalian yang telah mati itu”, lanjut Guru Nara.
“Bagaimana mungkin bisa begini guru? Guru orang yang sakti dan bijaksana tentu ada cara lain yang lebih mudah persyaratannya untuk kami lakukan demi kerbau – kerbau kami dan demi kami bisa mengolah tanah untuk makan anak dan istri kami?”, protes Darsam memelas.
“aku turut prihatin dengan kemalangan ini Darsam. Tapi aku tidak bisa membantumu lagi dengan cara – cara lain yang tidak aku ketahui. Kesaktianku bukan untuk menghidupkan mahkluk yang telah mati, namun kesaktianku untuk membunuh”, jawab sang guru yang membuat Darsam melonggo tak mengerti maksud perkataan sang guru.
“Apa maksud semua perkataan guru?”, tanya Darsam
“Ketahuilah Darsam! Jika engkau menganggapku sakti memang demikian adanya diriku ini”, kata Guru Nara, lalu melanjutkan lagi “namun demikian, aku tidak pernah kuasa untuk mengembalikan nyawa kerbaumu yang sudah mati itu”.
“Mengapa demikian Guru?”, Darsam menanya. Guru Nara menghela nafas dan berfikir sejenak seolah tidak tega untuk melanjutkan penjelasannya kepada Darsam. Hatinya bergejolak antara kebaikan dan kejahatan dalam batinnya.
“Jika kukembalikan nyawa kerbaumu dan kerbau – kerbau orang – orang di desamu itu, maka nyawaku dan nyawa kerbauku akan hilang. Dengan demikian aku akan mati bersama kerbau kesayanganku itu Darsam”, jelas sang Guru.
Mendengar semua penjelasan guru Nara yang dianggap bijak dan sakti itu, Darsam sangat kecewa. Ia telah serahkan segala harapan akan hidupnya dan juga hidup para tetangganya di desa kepada guru bijak dan sakti itu, namun tiada hasil. Tak layak bagi kita menggantungkan hormat kepada orang seperti guru Nara atas hidup kita ini, sekalipun ia berkuasa atas kebijaksanaan dan kesaktian. Sesungguhnya ialah serigala berbulu domba itu, yang tetap haus untuk memangsa yang lain demi dirinya sendiri. Darsam pun berlalu dalam segala kekecewaannya, memilih jalan sendiri tanpa bergantung dan menyerahkan nasibnya pada siapapun, meski jalan itu berbatu dan lebih menyakitkan. Berbahagialah engkau Darsam karena buwana akan menyertaimu dengan segala kemegahannya yang tak terjangkau oleh manusia sekalipun sakti dan bijaksana.

FX. Hengki Parahate

Saturday, 8 October 2016

Artikel Opini : Pengetahuan, Keselamatan Dan Kebahagiaan

Pengetahuan, Keselamatan Dan Kebahagiaan

Manusia selalu berupaya untuk berusaha dan bekerja, untuk memenuhi segala cita – citanya dengan tujuan tertentu yang tidak lain adalah menjadi bahagia. Dengan demikian, setiap orang tentunya menyadari bahwa tujuan akhir daripada hidup mereka adalah mencapai kebahagiaan secara penuh. Artinya bahagia di dunia ini sekaligus bahagia di dalam kehidupan setelah di dunia ini yang bersifat kekal atau abadi. Persoalanya adalah manusia menyadari betul atas tujuan akhir kebahagiaan yang diidamkan itu, namun mereka buta untuk berupaya dan bekerja untuk tercapainya kebahagiaan bagi hidup mereka. Cenderung kebahagiaan itu sendiri dipahami sebagai sesuatu yang hampir sama maknanya denga kesenangan. Padahal keduanya berbeda tingkatan secara moral, sehingga pemahaman antara kebahagiaan dan kesenangan itu menjadi absurd.
Berdasarkan penjelasan di atas, secara singkat dapat kita pahami bahwa manusia berupaya dan bekerja untuk mencapai bahagia dalam kehidupannya, akan tetapi mereka cenderung salah menafsirkan makna kebahagiaan dalam hidup mereka. Artinya kebahagiaan bukan semata karena kita kaya dan memiliki kuasa untuk bertindak, namun kebahagiaan itu merupakan sebuah kondisi jasmani dan rohani yang penuh. Sekalipun seseorang mengalami nasib kekurangan bahkan miskin, namun ia bisa mengatakan ‘bahwa aku bahagia meski aku miskin’. Sebaliknya orang yang berlimpah harta dan memiliki kuasa bahkan pengaruh, bisa saja mengatakan merasa tidak bahagia, tidak tenang penuh kekhawatiran. Maka kebahagiaan bukan bukan masalah kaya – miskin, punya atau tidak punya, menjadi atau tidak menjadi,berkuasa atau tidak berkuasa, namun lebih pada kondisi seseorang untuk bisa menikmati dinamika hidup dengan rasa syukur.
Menggapai kebahagiaan
Tentu memang kebahagiaan tidak lebih mudah untuk kita gapai jika tiada kesadaran, kemauan dan memiliki sarana yang tepat untuk menggapainya. Kesadaran itu ialah pemahaman tentang kebahagiaan secara tepat, dimana bahwa kebahagiaan tidak berarti sama dengan kesenangan. Berikutnya adalah kemauan untuk mau berjuang menggapai kemerdekaan itu, sebab segala sesuatu perlu diperjuangkan. Yang terakhir berkaitan dengan sarana, dimana bahwa segala sesutau yang ada di dunia ini dan segala yang boleh kita miliki di kehidupan ini merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan secara penuh. Kondisi kaya dan miskin, merupakan sarana untuk kita merancang kebahagiaan bagi kita sendiri. Maka jelas kebahagiaan adalah sesuatu yang mesti kita create bukan yang bersifat given.
Dengan demikian hal utama yang harus di penuhi dalam rangka mengusahakan kebahagiaan adalah sebuah pemahaman yang benar. Pemahaman yang benar berarti memiliki pengetahuan yang benar akan segala sesuatu. Contoh: ada sebuah bolpen. Bolpen itu bisa saja digunakan untuk menusuk daging, mencungkil sesuatu, mencelakakan orang, namun pemahaman yang benar adalah bolpen merupakan alat yang diciptakan untuk menulis bukan untuk yang lainya. Tapi bisa saja digunakan untuk hal – hal lain yang tidak sesuai dengan hakikat bolpen sebagai alat menulis. Dalam hal ini maka terang budi setiap individu sangat mempengaruhi. Maka untuk memperoleh pengetahuan yang benar akan sangat mustahil apabila tanpa dibarengi dengan pengolahan budi/ nurani secara sadar.
Setelah kita tahu bahwa bolpen itu merupakan alat untuk menulis dan dengan terang budi kita gunakan bolpen itu sesuai dengan hakikatnya, maka tiada mustahil kita akan memperoleh keselamatan dengan adanya bolpen. Keselamatan macam apa itu? Dengan bolpen kita dapat lebih efektif dan efisien untuk menulis dibanding harus menulis menggunakan sabak dan kapur. Maka segala kemudahan itu merupakan rahmat keselamatan bagi kita. Namun sebaliknya jika kita tidak mampu mengoperasionalkan bolpen itu secara tepat dengan pertimbangan akal yang sehat, akan mengakibatkan celaka daripada keselamatan. Misal saja, seorang anak menggunakan bolpen itu untuk menusuk temanya sehingga ia kesakitan. Maka ia akan mendapatkan masalah dalam relasi dengan temannya itu. Masalah inilah yang membuat kita akan jauh dari keselamatan, terhindar dari masalah, perasaan tenang dan damai.
Dengan berpengetahuan yang benar, maka keselamatan akan dapat kita rasakan. Dengan adanya keselamatan maka kita akan beroleh kebahagiaan yang kita harapkan.

Sukorejo, 8 Oktober 2016

FX. Hengki Parahate

Friday, 7 October 2016

Artikel Opini : Negara, FPI dan Rakyat

Negara, FPI dan Rakyat
Hampir tidak dapat dipercayai bagi kita semua, terutama warga masyarakat Sukorejo Kendal atas musibah sosial yang kini telah dialami oleh masyarakat setempat, pasca insiden bentrokan yang terjadi antara Front Pembela Islam (FPI) dengan masyarakat pada Kamis, 18 Juli 2013 lalu. Meski saat ini peroalan tersebut telah masuk dalam ranah hukum dalam kepolisian Kendal, namun nampaknya insiden tersebut telah membangun stigma ketidaknyamanan masyarakat Sukorejo meski situasi sudah berangsur kondusif.
Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, sebagaimana telah kita ketahui bersama sepak terjang ormas FPI di berbagai wilayah nusantara memang selalu indentik dengan tindak anarkis, kekerasan dan bergerak di luar kerangka hukum yang berlaku. Persolaanya sekarang, bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan ini sebagai anak Bangsa?
Empat Pilar Kebangsaan
Tindakan anarkisme, kekerasan, pelanggaran hukum dan meresahkan senantiasa dilakukan oleh FPI dalam setiap aksi yang berlandaskan azas keagamaan “amar makruf nai munkar”, jelas telah menodai nilai – nilai hidup masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Indonesia merupakan negara atas dasar kemajemukan yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun dan oleh apapun juga. Maka empat pilar kebangsaan yang menjadi soko guru hidup berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebhinekaan, hendaknya dijunjung tinggi oleh setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Demikianlah kiranya pedoman kebangsaan kita yang telah dibangun oleh para founding father’s kita.
Maka dalam kasus insiden bentrokan FPI dengan masyarakat di berbagai wilayah, termasuk yang terbaru terjadi di Sukorejo tersebut, merupakan sinyalemen perong-rongan empat pilar kebangsaan tersebut. Jika senantiasa dilestarikan, tak ayal bangsa ini akan menemui kehancuranya. Dengan demikian, dalam kerangka berfikir dan kepentingan inilah hendaknya Negara, FPI dan masyarakat menginsyafkan diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Hendaknya masing-masing pihak memposisikan diri pada kapsitasnya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, menjadi jelas bahwa apa yang dilakukan oleh FPI mengambil porsi yang mestinya menjadi bagian kewenangan dan tugas kepolisian.
Negara Tetap Bertanggung Jawab
Dalam konteks persoalan gesekan horizontal ini, pada dasarnya negara telah lalai akan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Pada dasarnya negara berupaya untuk senantiasa melakukan pembangunan demi mencapai kesehateraan bagi seluruh rakyatnya. Pembangunan yang dimaksud sebenarnya bukan sekedar pembangunan dalam aspek ekonomi semata, melainkan juga meliputi pembangunan dalam aspek sosial dan politik. Dengan kata lain, kesejhateraan yang hendaknya dicapai harus lebih meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik dan bermartabat secara manusiawi.
Pada dasarnya, satu sisi apa yang diperangi oleh FPI dalam hal ini kemaksiatan memang merupakan hal yang dapat kita apresiasi, akan tetapi cara yang digunakan adalah salah. Berbicara soal kemaksiatan (dalam terminologi agama) atau ‘penyakit masyarakat’ (dalam terminologi sosial) seperti pelacuran dan perjudian, hakekatnya berbicara soal penghidupan. Dari sudut pandang ekonomi-sosial, jelas merajalelanya pelacuran dan perjudian merupakan tanda ketidakmampuan negara memberikan ruang pekerjaan yang layak secara kemanusiaan bagi setiap warganya. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang begitu kita banggakan dengan kisaran 6% per tahun, tidak mampu merata diterima bagi seluruh lapisan masyarakat yang ada sekaligus tidak mampu membuka kesempatan kerja. Maka sesungguhnya kemaksiatan ataupun yang kita sebut sebagai penyakit sosial dalam bentuk pelacuran dan perjuadian merupakan penyakit pembangunan kita selama ini. Negara sudah layak dan sepantasnya untuk menuntaskan persoalan ini dengan segala kewenangan dan segala alat-alat negara yang ada.
Penutup
Yakinlah bahwa hari esok akan lebih baik dari hari ini. Demikianlah kiranya iman, pengharapan dan kasih yang seharusnya kita perjuangkan bersama untuk membangun negeri menuju kejayaannya. Dan diantara ketiga hal tersebut, kasih merupakan yang terbesar diantara ketiganya, karena dengan kasih itu pulalah kita akan mampu mengatasi setiap persoalan yang ada tanpa anarkisme dan kekerasan. Dengan demikian, insiden bentrokan FPI dan masyarakat di Sukorejo dan di beberapa daerah lain pada waktu-waktu sebelumnya, pada dasarnya merupakan perpecahan antar anak bangsa yang sangat merugikan bagi pembangunan bangsa dan negara. Padahal musuh bersama kita saat ini adalah kemiskinan dan penderitaan rakyat dalam gerusan liberalisasi yang semakin menjadi-jadi. Maka yang diuntungkan sesungguhnya para kapitalis-kapitalis yang mementingkan diri sendiri dengan mengeksploitasi kekayaan alam kita dan para komparadornya yakni para koruptor.
Maka persatuan menjadi penting, bagi kita untuk mengawal pembangunan yang lebih nyata bagi masyarakat kita. Hendaklah hal ini menjadi kesadaran kita bersama. Menegakan hukum, memberantas korupsi, dan melawan liberalisme, inilah agenda nasional yang lebih penting bagi kita. Semoga saja, agenda itu dapat diawali dengan proses penyelidikan hukum yang sedang berjalan mengenai insiden bentrokan antara FPI dan masyarakat di Sukorejo. Kita berharap momentum tersebut dapat menjadi langkah awal penegakan hukum secara obyektif dan adil. Semoga.


Yogyakarta, 23 Juli 2013.
Oleh: FX. Hengki Parahate

Artikel Opini : Kelengahan Negara di Era Teknologi; Ancaman Kedaulatan Bangsa

Kelengahan Negara di Era Teknologi; Ancaman Kedaulatan Bangsa
Kemajuan teknologi tentunya begitu memberikan dampak yang cukup signifikan dalam kehidupan kita dewasa. Teknologi semakin hari semakin kian dibutuhkan oleh masyarakat kita. Salah satu kemajuan teknologi yang kain ramai digemari hampir diseluruh negara di dunia yaitu akses akan fasilitas internet. Untuk Indonesia sendiri, negara bahkan telah memfasilitasi pelayanan akses internet hingga pelosok-pelosok kecamatan di Indonesia.
Sebagaimana kita sadari, bahwa dewasa ini internet dapat dikatakan sebagai salah satu kebutuhan yang cukup penting bagi masyarakat kita. Banyak keuntungan serta manfaat, baik secara ekonomis maupun sosial yang dapat kita peroleh dengan adanya pelayanan akan internet. Melalui internet, kita bisa mengembangkan berbagai macam bisnis dengan cakupan pemasaran hampir seluruh dunia. Betapa efisiennya transaksi hingga marketing bisnis dapat dilakukan melalui internet. Lebih dari itu, dengan internet kita dapat menambah investasi pengetahuan kita tentang segala macam ilmu pengetahuan dan perkembangan dunia secara cepat dan mudah.
Namun demikian, tidak selalu keberadaan internet ini memberikan manfaat baik bagi kehidupan kita. Ada dampak negatif yang perlu diantisipasi dari adanya kemajuan kemudahan akses akan internet dewasa ini. Disamping masih mudahnya akses akan situs-situs pornografi  yang dapat berdampak pada negatif bagi perkembangan psikologi anak, meski pemerintah telah melakukan kebijakan pemblokiran terhadap situs-situs porno tersebut, lebih dari itu internet dapat mengancam kedaulatan suatu negara, termasuk Indonesia sendiri. Ancaman ini lebih berbentuk pada semakin mudahnya dunia dapat melihat profil dan data startegis dari suatu negara secara bebas. Mengapa ini menjadi penting?
Sebagaimana kita ketahui, terutama bagi kita kalangan mahasiswa yang sedang melakukan tugas akhir skripsi, setidaknya akan menemukan kendala untuk menemukan data yang dibutuhkan dalam penelitian yang sedang dikerjakan. Dengan berbagai macam topik yang dibahas dalam skripsi tentunya akan semakin banyak jenis data yang dibutuhkan sesuai dengan topik tentang yang menyangkut kemaslahatan di Indonesia, akan tetapi sayangnya data yang kita butuhkan tersebut, tidak selalu tersedia seperti yang kita harapkan. Biasanya kita tidak akan pernah menemukan data untuk periode-periode yang lebih lama tentang data suatu hal atau profil data pada tingkat yang lebih kecil dari nasional maupun daerah dari BPS Pusat dan maupun daerah atau dari link-link lembaga pemerintah terkait secara rigidity. Anehnya, kita dapat menemukan berbagai macam jenis data yang kita butuhkan dari sumber-sumber luar negeri yang menyediakan jasa data-data secara rigidity untuk suatu negara. Misalnya saja kita dapat mendapatkan data-data yang lebih rigid tentang berbagai macam indikator sosial, ekonomi maupun politik negara kita dari situs www.ceid.com dan www.asia-monitor.com. Jika kita hendak memperoleh data dengan mengakses situs tersebut, kita harus membayar dengan kata lain kita harus membeli data-data tentang negara kita sendiri dari pihak luar.
Bagi saya kondisi tersebut merupakam sebuah keanehan yang paling aneh. Keanehan itu dapat kita lihat dari beberapa hal dan patut untuk diwaspadai. Pertama, pihak asing justru lebih memiliki sistem database yang lebih rigiditytentang berbagai macam keindonesiaan kita terutama dalam bisnis dan ekonomi dibanding bangsa Indonesia sendiri. Kedua, menjadi aneh ketika hak kita sebagai warga negara untuk dapat memperoleh segala informasi yang kita butuhkan secara transparan tetapi tidak dapat kita peroleh selain dengan cara harus membeli data-data informasi yang kita butuhkan tersebut dari pihak luar. Dari kaca mata bisnis hal ini sah-sah saja, tapi apakah wajar jika kita harus membeli padi yang kita tanam sendiri, membayar makanan yang kita buat sendiri kepada pihak yang sama sekali tidak menanam dan membuatnya?
Berdasarkan keanehan tersebut, saya menduga hal itu terjadi karena tidak adanya budaya kedisiplinan dari bangsa kita untuk mendokumentasikan atau mengarsipkan segala data dan informasi yang kita miliki secara tertib dan teratur, sehingga dapat berguna bagi segala macam perencanaan pembangunan kita. Namun secara faktual, pendokumentasian data-data dan berbagai macam informasi penting tentang Indonesia, lebih banyak dimiliki oleh pihak asing dan diperjualbelikan secara bebas untuk keperluan ekonomis. Kondisi ini akan menjadi sangat rawan tentunya bagi kedaulatan bangsa kita sendiri. Dengan jual beli data tentang profil kenegaraan itu, tidak menutup kemungkinan untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk ‘menguasai’ negeri kita. Misalkan saja, bagaimana wilayah maritim kita dapat dimasuki oleh kapal-kapal nelayan asing, wilayah udara kita dengan mudahnya dapat dimasuki pesawat-pesawat asing, hilangnya pulau-pulau seperti Ligitan dan Sipadan, hingga pencurian-pencurian potensi alam yang lainya oleh asing. Artinya, semakin bebas data-data dan informasi yang kita punya untuk diperdagangkan dan justru dimilki oleh asing akan semakin rapuh negara ini dalam mengahadapi ‘serangan-serangan’ dari pihak luar dalam bentuk apapun.
Dengan demikian, internet memang penting keberadaanya bagi peningkatan kehidupan masyarakat luas baik dalam negeri dan luar negeri dalam kebebasan segala informasi. Akan tetapi, pemerintah perlu selektif dalam menentukan macam informasi dan data tentang negeri ini untuk dapat diakses bagi khalayak umum, terutama bagi pihak luar negeri. Dalam era digitalisasi ini, data-data dan informasi penting suatu negara merupakan komoditas ekonomi dan tidak menutup kemungkinan untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang dapat mengancam kedaulatan negara. Dalam strategi perang dunia, kebocoran informasi dan data-data penting dari suatu negara ke pihak musuh, merupakan awal kehancuran bagi negara tersebut dan hampir dipastikan akan kalah dalam peperangan. Dalam strategi perang modernisasi dewasa ini, data dan informasi merupakan hal amat penting apalagi menyangkut sebuah negara dengan kelimpahan alam yang melimpah seperti Indonesia ini.
FX. Hengki Parahate
Ngaglik, Yogyakarta, 2013

Puisi: Senandung Kehidupan

Senandung Kehidupan
Hidup adalah bersenandung
Hidup adalah bernyanyi
Ia merangkai titian nada-nada kehidupan
menjadi satu kesatuan harmoni dalam pikir dan gerak langkah
Selaraskan saja jiwa kedalamnya
niscaya akan kau rajut senandung hidup
meski terkadang sumbang
Dendangkanlah kerinduan jiwamu
dan jadikan sebagai pemimpin nyanyian kehidupan
Engkau kan terus bernyanyi dengan segenap hati dan jiwa
perlahan akan kau nikmati melankoliknya senandung kehidupan
maka tersenyumlah….
Pageruyung, 2 Agustus 2014
FX. Hengki Parahate

Puisi: BERHENTILAH

BERHENTILAH
Gerak dan bergeraklah …
Maju dan majulah …
Gapai dan gapailah segala terang yang ada
sebab demikianlah engkau dilahirkan
Berhenti dan berhentilah,
tatkala terang itu kau dapat dan ia membutakan matamu
Berhenti dan rasakanlah,
terang itu menyilaukan nuranimu dan membuat keras hatimu
berpilin dalam kepalsuan pesona
Berhenti dan kecaplah
tatkala terang itu kau dapat, 
jiwamu terbakar oleh karennya
sehingga hanya kepahitan saja yang engkau telan
Berhentilah segera!
sebelum pahit itu merajai kehalusan jiwamu
Pageruyung, 2 Agustus 2014
FX. Hengki Parahate

Puisi: NAIF

NAIF
Semua ada, tersedia dan serba menyenangkan
Tatkala cinta dibutuhkan,
Angin bersenandung meniupkan kedalam jiwa
Tatkala roti dan susu dibutuhkan
Bumi merunduk dan mengada
Ketika keteduhan didamba,
Langit berpendar mendirikan peraduan
Amboy, inikah surga?
Bukan, inilah dunia tempat kau dilahirkan
Tempat engkau bermain dan memakan segala tunasnya.
Ah, bukan inilah surga. Bukan dunia!
Dunia itu menyedihkan, dunia itu kejam dan penuh dengan angkara murka
Dunia itu penuh dengan tipu muslihat dan kebusukan.
Dunia itu tempat hidup segala manusia yang jahat.
Tempat manusia yang menebarkan kebencian dan kedengkian.
Kebaskanlah kabut didalam matamu itu
Dan lihatlah kebawah sana!
Itulah tanah kehidupan yang enggan engkau lihat,
Enggan engkau gumuli oleh karena kabut kenyamanan yang mengerdilkan jiwamu.
Cungkilah kabut itu dari matamu dan lihatlah sedalam-dalamnya.
Inilah tanah yang seharusnya engkau pijak untuk berjalan.
Pijak dan berjalanlah!
 Lihatlah engkau hidup dengan jiwa yang bergelora.
Gelorakanlah jiwa itu mensurgakan dunia
Pageruyung, 2 Agustus 2014
FX. Hengki Parahate

Puisi : BERIRINGAN

BERIRINGAN
Pagi datang beriringan dengan sirnanya kegelapan malam
Sukacita menghampiri beriringan dengan lunturnya duka
Kehangatan melingkupi beriringan dengan cairnya kebekuan yang dingin
Kebahagian merekah seiring dengan terobatinya kegetiran jiwa
Manusia berkuasa beriringan dengan tetes air mata dan darah
Manusia berjaya beriringan dengan mekarnya penindasan
Manusia terhormat beriringan dengan tumpulnya moralitas
Itukah kebenaran?
Apa yang terjadi, bukanlah sebuah keharusan
Sebab setiap kenyataan, beriringan dengan misteri makna
Dan manusia terlahir beriringan dengan kehendak Sang Khalik yang harus ditemukan
Maka, berjalanlah beriringan dengan keluasan jiwamu!
Niscaya angin selaksa akan menuntun kepada pencerahan akal dan budi.
Akal dan budi yang tercerahkan itulah jimat kehidupan yang akan mendamaikansegala-galanya.
Pageruyung, 2 Agustus 2014
FX. Hengki Parahate

Puisi : HUJAN

HUJAN
Teteskanlah butiranmu kedalam jiwa yang haus akan kebenaran
Mengalirlah kedalam kerongkongan jiwa yang kering akan kelembutan
Cuci dan sekalah hati yang penuh dengan borok benci dan kedengkian
Luapkanlah deraimu bagai ombak dan resapkanlah cinta
Basahilah tanah ini dengan bening tetesanmu
Agar ia menumbuhkan tunas perdamaian
Basuhlah bumi ini agar menjadi baik adanya
Pageruyung, 4 Desember 2014
FX. Hengki Parahate