Wednesday, 12 October 2016

Puisi : Kidung Cinta

Kidung Cinta


Menarilah bersamaku kasihku
Basuhlah kerinduan jiwaku dengan pelukmu
Gandenglah tanganku dan genggamlah bersama keyakinan kita
Akan masa depan yang kita takkan pernah mengetahui
Jangan lagi pernah kau lepaskan
Genggamlah kuat dan lebih kuat lagi
Karena kita telah seiya sekata
Berlayar menuju pelabuhan keabadian bersama
Mengertilah kiranya engkau akan segala kerinduan ini
Akan segala rasaku dan rasamu
Yang kian menyatu tak terbatas ruang dan waktu
Mengertilah kiranya engkau kekasih hatiku
Segala sukacitaku menyala dari pelukan sayap cintamu
Yang merengkuh kesendirianku
Mengertilah kiranya engkau nafas hidupku
Api cinta kita telah melebur
Dan segala kesusahan kita terhempas mengepul di awan
Bersama dengan api cinta kita yang kian membara
Kini kau dan aku bersatu dalam segala
Tanpa memisah dan terpisah
Sekarang hingga ujung waktu berlabuh
Berbahagialah kita dan segala anak bangsa bumi ini
Karena akan selalu kita kidungkan  cinta

Pegeruyung, 1 Juni 2016

FX. Hengki Parahate

Tuesday, 11 October 2016

Puisi : Desolasi


Desolasi

Laju berkabar angin menghembus asa
Bersahutan malam bergeming mengurai cahaya gemintang nan redup tiada pesona
Mencuat bagaikan menara duka menjulang
Menawan jiwa yang malang merintih

Pohon bambu pun bertingkah
Berdecit membisik dan memperolok dalam nyanyian angin kehampaan
Menuntun dalam untaian nada jiwa berseteru

Golak bergejolaklah
Menderu laksana selaksa ombak bergemuruh
Memecah dinding – dinding jiwa bisu nan sepi
Terhempas butir – butir pasir kekosongan

Tenang – tenanglah engkau disana jiwaku
Menyusuri lorong kekosongan nan sepi
Berenang dalam samudera duka dan keputusasaan
Sebab tiada tempat kesia – siaan

Selasa, 26 Juli 2016
FX. Hengki Parahate


Artikel Opini : Agama dan Religiousitas

Agama dan Religiousitas
(FX. Hengki Parahate)

Semua agama yang ada di dunia ini tidaklah sama (sinkretisme). Masing masing memiliki ciri yang khas dan unik yang tidak patut untuk diperdebatkan atau pun dihina dengan alasan apapun. Ibarat manusia, agama merupakan manusia – manusia yang berbeda baik secara fisik maupun rohani yang melekat pada manusia – manusia itu. Keberadaan manusia dengan segala yang melekatnya padanya itulah, merupakan ciri yang khas dari setiap pribadi yang harus dihormati dan dihargai sebagai hak yang paling hakiki. Demikian halnya agama. Meski berbeda cara, budaya/ritus keagamaan, bahkan isi ajaranya, harus ditempatkan sebagai sesuatu yang hakiki yang perlu dihargai dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia yang berbudaya.

Meski agama memiliki kekhasan, dan cara pandang yang berbeda – beda, namun semua agama di dunia ini memiliki muara yang sama, yaitu menuju pada Tuhan, Allah, Bapa, Yahwe, Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Esa. Dalam hal inilah cara yang digunakan oleh setiap agama berbeda – beda. Namun demikian, pada intinya sama (bukan dalam pengertian sinkretisme), bahwa agama memberikan cara pandang, cara mendoa, cara pengaktualisasian ajaran agama yang tertuju pada penganggungan Tuhan yang disebut dengan berbagai sebutan. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana itu pengagungan Tuhan?

Semua agama mengakui bahwa Tuhan merupakan pencipta kehidupan ini dengan segala yang ada dengan baik, termasuk diri kita. Maka pengagungan itu dapat kita lakukan dengan menjaga segala sesuatu ciptaan-Nya yang sejak awal mulanya memang sudah baik adanya. Menjaga alam semesta, hewan, tumbuhan, bahkan saling menjaga dan mengasihi sesama manusia yang adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Dalam konteks inilah, terkadang manusia – manusia yang beragama tidak penuh memahami ajaranya masing – masing, sehingga dalam usaha pengagunga Tuhan ini, menimbulkan konflik – konflik yang sebenarnya disayangkan. Dengan demikian, persoalanya bukan terletak pada agama beserta ajaranya, akan tetapi manusia – manusia yang kurang memahami ajaran masing – masing sehingga menumbuhkan sikap fanatik sempit.

Penghayatan agama dan aktualisasi agama

Pemahaman agama yang baik mustahil dapat tercapai apabila tanpa dibarengai penghayatan agama yang sungguh – sungguh. Dalam rangka inilah, sekiranya dapat kita sadari tingkatan penghayatan dari setiap agama yang akan sangat berpengaruh pada pengaktualisasian penghayatan akan agama. Tingkatan tersebut dapat terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu tingkatan teoritis, tingkatan ritual budaya, dan tingkatan praxis.

Tingkatan teoritis adalah tingkat penghayatan agama yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan cara hanya memahami isi ajaran agama saja. Contoh orang membaca kitab suci, mempelajari ajaran agama sehingga dia sungguh memahami isi ajaran agama yang dianutnya. Akan tetapi hanya sebatas memahami isi ajaran saja.

Pada tingkatan yang kedua yaitu tingkatan ritus budaya adalah tingkat penghayatan agama oleh individu atau kelompok yang telah memahami isi ajaran agamanya lalu mempraktikannya dalam bentuk – bentuk ritual dan budaya peribadahan agama. Sedangkan pada tingkat yang ketiga yaitu penghayatan agama secara praxis yang adalah penghayatan agama oleh individu maupun kelompok untuk mewujudnyatakan isi ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari agar peranan agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia sungguh dapat dirasakan. Dalam konteks inilah agama akan menjadi semakin relevan bagi kehidupan manusia, bukan sebagai candu masyarakat sebagaimana yang dituduhkan. Dalam proses praxis inilah terkadang ditemui berbagai macam hambatan. Bisa dikatakan bahwa setiap agama berangkat dari cara pandang yang berbeda sesuai dengan kekhasanya masing – masing, yang memang terkadang tidak bisa disinkretiskan. Maka titik temunya adalah pada tingkat religiousitasnya.


Religiousitas (keberagaman) adalah derajat keterkaitan seseorang dengan nilai – nilai agama, keyakinan dan kemampuanya dalam mempraktikan serta menggunakannya dalam kehidupan keseharian (Worthington Jr, et al, The Religious Comitment Investor, 2003). Menurut Mohamad Nuh (Jawa Pos, Selasa, 5 Juli 2016), menjelaskan bahwa pengabaian (ketidakpedulian) terhadap urusan kemasyarakatan bisa dikategorikan pendustaan terhadap agama. Dari pengertian – pengertian tersebut, maka dapat kita pahami bahwa kualitas relgiousitas seseorang dapat dilihat dan ditentukan dari peranya untuk mau terlibat dalam menangani persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, serta ketidakadilan. Demikianlah harapanya.

Monday, 10 October 2016

Puisi : Kaktus di Padang Pasir

Kaktus di Padang Pasir
Aku ingin menjadi seperti kaktus
Meski berada pada padang pasir nan kering dan tandus tiada ia memberontak
Tetapi ia berjuang untuk mencari sumber – sumber air hidup
menjulurkan akar – akarnya ke dalam lorong tanah meski berbatu

Aku ingin menjadi seperti kaktus
Walau dihantam badai ia tetap tegak berdiri dan tiada meronta ataupun mengeluh
Ia gagah menantang ketidaknyamanan itu walau sakit dirasa tentunya

Aku ingin menjadi kaktus berduri meski tiada menawan
namun batangku tambun menyimpan air penawar dahaga jiwa yang tersesat di padang ketandusan

namun aku tetaplah mahkluk kecil yang merasa terbesar dari seluruh jagat ini
mahkluk paling sombong karena kemampuan akalnya yang kerdil
mahkluk paling serakah namun enggan berbagi
mahkluk termalas dengan banyak keinginan namun paling suka menggerutu serta mengeluh
lalu  menyerah pada nasib hidup yang dianggap sebagai takdir
berbahagialah yang tidak buta dan tuli hatinya
berbahagialah semua mahkluk di jagat raya ini

FX. Hengki Parahate

Rabu, 23 Agustus 2016

Puisi : Jejak Langkah

Jejak Langkah
Kala wangimu semerbak ke segala arah mata angin
Kurasakan hembusan angin kesesakan
Kupijakan kaki langkah demi langkah
menyusuri jejak – jejak  tanah berpasir di tepian pantai itu
Yang mulai hilang bersama redupnya cahaya senja
Dan wangimu semakin mewangi menusuk batin nan lara

Aku membisu di antara alam raya nan bergemuruh
Meratapi kesendirian yang tiada seorang pun mampu mengerti,
Hatiku dingin dan membeku, hilang rasa atas segala sesuatu
Semakin keras dan membatu

Ingatanku mulai porak – poranda
Terhempas segala kegelisahan tak berkesudahan
Tiada lagi keindahan dan tiada lagi kenangan manis

Sejujurnya memang aku akan menjadi manusia yang berbahagia
Sekalipun langkahku terhuyung – huyung diterpa badai
Dan hatiku berkecamuk lunglai  menelan terlalu banyak kepahitan


FX. Hengki Parahate

Minggu, 21 Agustus 2016

Puisi :Jalan Tak Bertuan

Jalan Tak Bertuan
Sore itu mendung menggelayut begitu gelap
Menyelubung kedalaman batin yang meredup
Sinarnya mulai goyang terhempas angin kefasikan
Hampir – hampir padam menenggelamkan pengelihatan

Gelaplah sudah semua
Banyak jalan jiwa tersamar dalam bayang tak jelas
Berbahagialah mereka yang ‘eling lan waspadha’
Kaki akan berpijak pada jalanya meski harus terantuk batu
Ceroboh, celakalah kiranya
Sebab kaki dapat terjerembab dalam lumpur nan kotor
Meski tiada aral menghadang

Bijaksana adalah lentera hati
Yang akan menuntun dalam kegelapan jalan jiwa
Mengenal jalan yang tiada pernah bertuan

Pageruyung, 1 Juni 2016
FX. Hengki Parahate



Puisi :Hagia Sophia

Hagia Sophia
Engkau melegenda dengan segala cerita heroisme
Menjulang bermahkota kemegahan
Siapa tak takjub melihatmu?
Orang buta pun tersungkur diterpa cahyamu agung
Mendengar saja tentangmu orang akan kasmaran hendak berteduh di bawah atapmu
Kini engkau tetap gagah
Batu – batumu kian kokoh bersusun pada sendi – sendinya
Di tengah duniamu yang berkecamuk karena angkara murka
Engkau tetap pongah dan tiada mau membiuskan angin sophiamu
Tapi bukanlah salahmu
Mungkin saja engkau malu membagikannya kepada mereka yang tiada pernah mengenalmu
meski lantang dan riuh mendongeng tentangmu
Biarlah engkau tetap membisu dengan kemegahan dinding – dinding batumu
Menyimpan segala kebijaksanaanmu untuk kau taburkan kembali
Setelah dunia runtuh dengan segala tingkahnya

Pageruyung, 30 Agustus 2016

FX. Hengki Parahate

Puisi : Diam


Diam

Aku diam ... aku diam dalam kebisuan
Menatap mimpi yang seakan tersamar
Aku ingin berteriak...
Menceritakan kepada angin
Namun malam lebih pekat sehingga ia enggan menampakan diri

Hatiku tak siap
Hatiku berontak
Tapi siapakah aku?
Aku hanyalah boneka wayang yang bermain sesuai peran
Bergerak seirama dengan kehendak Sang dalang kehidupan
Langkahku dan takdirku hanyalah sebuah kepasrahan
Kepasrahanku hanyalah sebuah baktiku pada Sang kehidupan
Dan baktiku adalah sebuah kebaikan kecil dari segala raya kebaikan Sang pemberi hidup
Aku diam
Aku diam dalam kebisuan dan pengertian

Pageruyung, 15 Mei 2016
FX. Hengki Parahate

Puisi : Banyu Dewa

Banyu Dewa
Malam ini sejuk
Tersirami air surga, membasahi kering kerontang padang buana
Membiuskan aroma kesegaran dedaunan dan rerumputan hijau
Membaur bersama desiran angin yang melegakan jiwa
Biarkanlah kiranya semua  tersirami
Hingga menelisik dalam segala dan memenuhi segala kekosongan
Agar tidak kering
Agar tidak merana
Agar tumbuh lagi rinai tunas kebaikan
Tunas – tunas cinta
Tunas – tunas kembang hati yang damai
Air inilah air para dewata yang agung
Yang akan memperbaharui segala yang usang
Menghidupkan kembali yang layu dan mati oleh karena kefasikan
Dengan segala cara – cara yang tidak akan pernah kita mengerti
Sebagai manusia yang senang menggumuli kegelapan
Dimanakah kiranya sumber mata air ajaib itu?
Di dalam palung hatimu sajalah ia berada
Timba dan reguklah!

Pageruyung, 1 Juni 2016
FX. Hengki Parahate


Puisi : Atma Jaya

Atma Jaya
Aku memujamu bukan karena kecantikan
pun pula bukan karena kegelimangan harta
tak jua karena nasib putus asa
Kesadaranku menderu laksana angin selaksa
Pengelihatanku tajam menembusi relung jiwa paling gelap
Dan hatiku bergelora laksana ombak di samudera
Dengan segala kupuja engkau beserta jiwaku
walau hati teriris dan jiwa tertatih
Sebab pikirku tak menemui jodohnya
Kupuja engkau dalam segala angan dan mimpi – mimpi


Pageruyung, 30 Agustus 2016

FX. Hengki Parahate

Puisi : Atas Nama Jiwa

Atas Nama Jiwa
Tak adil rasanya jika hanya menerima,
tanpa  mau memberi
Tak elok juga rasanya mengkritisi
 tanpa mau ikut serta dalam upaya
Tak wibawa pula sepertinya diberi kuasa
Namun tanpa daya membangun sejahtera

Akal kehilangan roh
Dan roh kehialngan timbangannya
Jikalau demikian, akal tiada lagi guna
Atas nama jiwa, mari heningkan cipta

Senin, 15 Agustus 2016

FX. Hengki Parahate

Puisi : Aku Pun Bermimpi


Aku Pun Bermimpi
Aku pun bermimpi
Akan suatu masa dimana semua menjadi tenang dan damai
Tiada lagi jeritan dan tangis pilu menyayat hati
Meratapi kelaparan

Tiada lagi luapan cucuran peluh dan keringat kenistaan karena kemiskinan
Tiada lagi olokan dan cibiran terumbar sebagai tontonan
Bagi mereka yang nestapa bergumul dengan hidup mereka yang sedih

Tiada lagi pertunjukan peperangan
Yang diringi sorak – sorai nyanyian keserakahan berpadu dengan arogansi
Menjadi reffren solusi perselisihan paham

Tiada lagi terjuntai benang kusut tegaknya keadilan
Tiada lagi isak tangis dan bayang ketakutan bagi anak – anak kita untuk bermain

Ya itu semua hanya mimpi.
Dan sekali lagi hanya sebuah mimpi, yang katanya bunga tidur
Adakah itu suatu pertanda bagi negeri kita yang terberkahi ini?
Tidak jelas bagiku, sebab ini hanya mimpi dan sekaligus menjadi tanda
Dan siapakah yang mampu memahami keduanya?
Hanya mereka manusia, yang memiliki kedalaman batin dan hati yang bersih

Pageruyung, 1 Juni 2016

FX. Hengki Parahate

Artikel Opini : Pendidikan Hati Nurani

Pendidikan Hati Nurani
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukan pendidikan sama sekali”
Aristoteles, Filsuf Yunani.

Keberadaan pendidikan memiliki peranan penting dalam pembangunan multidimensional bangsa dan negara. Terlepas dari segala macam terori tentang hakikatnya, pendidikan sesungguhnya menitikberatkan pada pengolahan manusia (sebagai proses humanisasi), agar lebih bermartabat dan beradab. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat melahirkan manusia – manusia yang dapat menjadi motor peradaban hidup yang semakin bermartabat. Namun demikian, pendidikan
Secara ekonomis, pendidikan merupakan variabel independen yang sangat berpengaruh pencapaian pembangunan. Dalam kepustakaan pendidikan, A. Coleman menyatakan bahwa fungsi pendidikan sebagai sarana pengembangan dan  pertumbuhan ekonomi, sarana sosialisai nilai dan rekonstruksi sosial, serta sarana penyadaran dan pembangunan politik (A. Coleman, Education and the Political Development, Princeton, New Jersey, 1969). Maka pendidikan pada dasarnya merupakan aspek sentral yang akan menentukan wajah  pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang. Sebab, pendidikan hakikatnya proses menggarap realitas masyarakat, sehingga terjadi refleksi dan aksi guna memperbaiki realitas masyarakat yang kurang manusiawi agar lebih manusiawi. Sederhananya, secara matematis kualitas pembangunan merupakan fungsi dari pendidikan.
Namun demikian, kenyataan berbicara lain dari teori. Nampak bahwa pendidikan selama ini mengalami irrelevansi atas perkembangan dan pembangunan masyarakat dewasa ini yang mengalami berbagai persoalan dan mendesak untuk segera di atasi, seperti kemiskinan, ketidakadilan, separatisme, sikap esklusifisme sektarian, intoleran, budaya korup dan egoisme sosial yang semakin akut dan menghambat pembangunan. Inilah potret konstruksi masyarakat kita dewasa ini. Maka, dalam hal ini pendidikan telah gagal menjadi sarana sosialisasi nilai dan rekonstruksi sosial yang telah berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus mengalami demoralisasi (kehilangan nilai – nilai moral dalam hidup bersama untuk kebaikan bersama), sekaligus sarana penyadaran dan pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Dengan kata lain, pendidikan telah gagal memobilisasi manusia – manusia lulusanya menjadi agen perubahan, sebaliknya menciptakan disinherited masses (Paulo Freire, 2007), yaitu manusia – manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.
Akar persoalan
Kegagalan pendidikan sebagai lokomotif perubahan dalam masyarakat yang kurang beradab seperti diuraikan di atas, menurut hemat penulis terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena kurangnya pemahaman tentang hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini berdampak pada bangunan fondasi sistem pendidikan kita yang rapuh, sehingga orientasi pendidikan kita lebih pada pencapaian nilai akademik saja, tetapi kurang menggarap karakter manusianya secara utuh meski selalu di dengung – dengungkan. Kita dapat melihat dan rasakan bagaimana pendidikan kita lebih mengutamakan transfer pengetahuan yang tidak dibarengi dengan proses penyadaran manusia – manusia yang terlibat di dalamnya, yaitu proses memahami pertentangan – pertentangan sosial ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur – unsur yang menindas dari situasi pertentangan itu. Dalam hal inilah pendidikan kita kurang mengolah rasa dan hati manusia – manusia di dalamnya, sehingga cenderung mencetak generasi yang cenderung buta akan jati dirinya sebagai mahkluk sosial yang mengusahakan bonum commune (kebaikan bersama) bukan hanya untuk mengejar kebaikan sendiri maupun kelompok tertentu.
Kedua,  tidak adanya politic will dari pemerintah untuk menggarap pendidikan kita dengan serius. Terbukti dari realisasi anggaran untuk pendidikan yang tidak pernah mencapai dua puluh persen sebagaimana yang diamanatkan undang – undang. Padahal anggaran tersebut diperlukan untuk melakukan pembangunan infrastruktur pendidikan yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, pendidikan telah terpolitisasi sehingga bersifat tidak netral. Karena penyelenggaraan pendidikan rentan ditunggangi dengan kepentingan politis untuk mencari status quo kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika sendi –sendi pendidikan kita begitu keropos dan kehilangan sense – nya untuk mengolah daya, cipta dan karsa manusia secara utuh pada hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian seharusnya kesadaran pemerintah harus dan wajib dihidupkan dengan semangat konstitusi yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tidak hanya anggaran yang perlu didorong sesuai amanat undang – undang, tetapi perlu grand designe kurikulum pendidikan nasional yang tetap dan menunjang pada prioritas pembangunan bangsa, bukan kurikulum proyek, dimana setiap ganti menteri mesti selalu ada perubahan kurikulum dan kebijakan tentang pendidikan nasional kita.
Pendidikan hati nurani sebagai solusi
Dengan melihat dan merasakan bagaimana kondisi pendidikan kita yang sangat jauh menyimpang dari hakikatnya tersebut, tentu kita akan bertanya, lalu apa solusi dari persoalan ini? Tentu tidak cukup hanya beretorika dengan teori – teori, namun harus diwujud nyatakan dalam langkah konkret untuk membangun pendidikan kita yang relevan dan signifikan dalam konteks masyarakatnya sendiri. Akan tetapi tindakan tanpa dasar teori yang jelas dan valid juga tidak akan berguna. Maka kedua – duanya harus seiring dan sejalan. Dengan demikian perlu pengkajian lebih lanjut untuk mereorientasi pendidikan kita kembali pada hakikatnya yang sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat Indonesia guna menemukan sebuah desain pendidikan yang holistik, yang tidak hanya memerangi buta aksara dan pengetahuan, tetapi juga mampu memerangi buta sosial dan buta ekologi atau lingkungan.
Tidak sepatutnya pendidikan hanya mengolah intelengensia pikiran tanpa mengasah intelegensia hati nurani. Jika demikan yang terjadi maka, pendidikan hanya membangun manusia itu secara separo saja, tidak penuh. Dan hal ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan manusia itu sendiri dan juga orang lain. Contohnya adalah setiap pendidikan kita selama ini telah menghasilkan sekian juta orang pandai dari tingkat sarjana, master hingga doktor dan profesor. Namun demikian, apa yang dapat kita harapakan dari para kaum elit pendidikan ini bagi masyarakat yang sedang berjuang untuk tetap hidup? Selama ini jawabnya belum jelas. Adakah keberadaan mereka mampu memberikan kontribusi sebagai ‘agent of change’ bagi masyarakat yang sakit ini? Saya kira belum nampak nyata kontribusinya. Paling kentara, mereka hanya mampu menyumbang ide, gagasan, dan mau mengabdi pada masyarakat lewat jalur pendidikan formal yang tidak semua rakyat bisa menjangkau. Artinya pendidikan telah menjadi komunitas ekslusif dari masyarakatnya.
Dari segala keprihatinan di atas, kita dapat menyadari bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus berani mengakui bahwa pendidikan kita selama ini berjalan ‘out of track’. Sistem pendidikan kita lebih menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir (teoritis) sekaligus teknis operasional dari suatu alat, tapi pengajaran atau pendidikan hati dan jiwanya tidak pernah terjadi. Pendidikan jauh dari tujuan mulianya untuk membangun manusia secara utuh sehingga memiliki kesadaran untuk menjadi agen – agen perubahan pada masyarakatnya yang tertindas. Disinilah sentuhan penting yang terabaikan dalam sistem pendidikan kita.
Hal ini bukan perkara mudah untuk diobati. Namun mengobati sekarang lebih bijak daripada nanti setelah penyakit ini menjadi lebih akut. Hanya tinggal menunggu keberanian dari mereka yang diberi kuasa untuk memikirkan perkara ini dengan bijaksana serta menentukan arah yang tepat bagi pendidikan nasional kita, sehingga pendidikan sungguh – sungguh menjadi relevan bagi pembangunan suatu bangsa.

Pageruyung, 23 September 2016

FX. Hengki Parahate