Pendidikan
Hati Nurani
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati
bukan pendidikan sama sekali”
Aristoteles,
Filsuf Yunani.
Keberadaan
pendidikan memiliki peranan penting dalam pembangunan multidimensional bangsa
dan negara. Terlepas dari segala macam terori tentang hakikatnya, pendidikan
sesungguhnya menitikberatkan pada pengolahan manusia (sebagai proses
humanisasi), agar lebih bermartabat dan beradab. Dengan demikian, pendidikan
diharapkan dapat melahirkan manusia – manusia yang dapat menjadi motor peradaban
hidup yang semakin bermartabat. Namun demikian, pendidikan
Secara
ekonomis, pendidikan merupakan variabel independen yang sangat berpengaruh
pencapaian pembangunan. Dalam kepustakaan pendidikan, A. Coleman menyatakan
bahwa fungsi pendidikan sebagai sarana pengembangan dan pertumbuhan ekonomi, sarana sosialisai nilai
dan rekonstruksi sosial, serta sarana penyadaran dan pembangunan politik (A. Coleman, Education and the Political
Development, Princeton, New Jersey, 1969). Maka pendidikan pada dasarnya
merupakan aspek sentral yang akan menentukan wajah pembangunan bangsa dan negara dalam segala
bidang. Sebab, pendidikan hakikatnya proses menggarap realitas masyarakat,
sehingga terjadi refleksi dan aksi guna memperbaiki realitas masyarakat yang
kurang manusiawi agar lebih manusiawi. Sederhananya, secara matematis kualitas
pembangunan merupakan fungsi dari pendidikan.
Namun
demikian, kenyataan berbicara lain dari teori. Nampak bahwa pendidikan selama
ini mengalami irrelevansi atas perkembangan dan pembangunan masyarakat dewasa
ini yang mengalami berbagai persoalan dan mendesak untuk segera di atasi,
seperti kemiskinan, ketidakadilan, separatisme, sikap esklusifisme sektarian,
intoleran, budaya korup dan egoisme sosial yang semakin akut dan menghambat
pembangunan. Inilah potret konstruksi masyarakat kita dewasa ini. Maka, dalam
hal ini pendidikan telah gagal menjadi sarana sosialisasi nilai dan
rekonstruksi sosial yang telah berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara
yang terus mengalami demoralisasi (kehilangan nilai – nilai moral dalam hidup
bersama untuk kebaikan bersama), sekaligus sarana penyadaran dan pembangunan
ekonomi, sosial dan politik. Dengan kata lain, pendidikan telah gagal
memobilisasi manusia – manusia lulusanya menjadi agen perubahan, sebaliknya
menciptakan disinherited masses (Paulo
Freire, 2007), yaitu manusia – manusia yang terasing dan tercerabut dari
realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.
Akar persoalan
Kegagalan
pendidikan sebagai lokomotif perubahan dalam masyarakat yang kurang beradab seperti
diuraikan di atas, menurut hemat penulis terjadi karena beberapa hal. Pertama,
karena kurangnya pemahaman tentang hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Hal
ini berdampak pada bangunan fondasi sistem pendidikan kita yang rapuh, sehingga
orientasi pendidikan kita lebih pada pencapaian nilai akademik saja, tetapi
kurang menggarap karakter manusianya secara utuh meski selalu di dengung –
dengungkan. Kita dapat melihat dan rasakan bagaimana pendidikan kita lebih
mengutamakan transfer pengetahuan yang tidak dibarengi dengan proses penyadaran
manusia – manusia yang terlibat di dalamnya, yaitu proses memahami pertentangan
– pertentangan sosial ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur –
unsur yang menindas dari situasi pertentangan itu. Dalam hal inilah pendidikan
kita kurang mengolah rasa dan hati manusia – manusia di dalamnya, sehingga
cenderung mencetak generasi yang cenderung buta akan jati dirinya sebagai
mahkluk sosial yang mengusahakan bonum commune
(kebaikan bersama) bukan hanya untuk mengejar kebaikan sendiri maupun kelompok
tertentu.
Kedua,
tidak adanya politic will dari pemerintah untuk menggarap pendidikan kita dengan
serius. Terbukti dari realisasi anggaran untuk pendidikan yang tidak pernah
mencapai dua puluh persen sebagaimana yang diamanatkan undang – undang. Padahal
anggaran tersebut diperlukan untuk melakukan pembangunan infrastruktur
pendidikan yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian,
pendidikan telah terpolitisasi sehingga bersifat tidak netral. Karena
penyelenggaraan pendidikan rentan ditunggangi dengan kepentingan politis untuk
mencari status quo kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika sendi –sendi
pendidikan kita begitu keropos dan kehilangan sense – nya untuk mengolah daya, cipta dan karsa manusia secara
utuh pada hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian seharusnya kesadaran
pemerintah harus dan wajib dihidupkan dengan semangat konstitusi yaitu upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tidak hanya anggaran yang perlu didorong
sesuai amanat undang – undang, tetapi perlu grand designe kurikulum pendidikan
nasional yang tetap dan menunjang pada prioritas pembangunan bangsa, bukan
kurikulum proyek, dimana setiap ganti menteri mesti selalu ada perubahan
kurikulum dan kebijakan tentang pendidikan nasional kita.
Pendidikan hati nurani sebagai
solusi
Dengan
melihat dan merasakan bagaimana kondisi pendidikan kita yang sangat jauh
menyimpang dari hakikatnya tersebut, tentu kita akan bertanya, lalu apa solusi
dari persoalan ini? Tentu tidak cukup hanya beretorika dengan teori – teori,
namun harus diwujud nyatakan dalam langkah konkret untuk membangun pendidikan
kita yang relevan dan signifikan dalam konteks masyarakatnya sendiri. Akan
tetapi tindakan tanpa dasar teori yang jelas dan valid juga tidak akan berguna.
Maka kedua – duanya harus seiring dan sejalan. Dengan demikian perlu pengkajian
lebih lanjut untuk mereorientasi pendidikan kita kembali pada hakikatnya yang
sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat Indonesia guna menemukan sebuah
desain pendidikan yang holistik, yang tidak hanya memerangi buta aksara dan
pengetahuan, tetapi juga mampu memerangi buta sosial dan buta ekologi atau
lingkungan.
Tidak
sepatutnya pendidikan hanya mengolah intelengensia pikiran tanpa mengasah
intelegensia hati nurani. Jika demikan yang terjadi maka, pendidikan hanya
membangun manusia itu secara separo saja, tidak penuh. Dan hal ini akan sangat
berbahaya bagi perkembangan manusia itu sendiri dan juga orang lain. Contohnya
adalah setiap pendidikan kita selama ini telah menghasilkan sekian juta orang
pandai dari tingkat sarjana, master hingga doktor dan profesor. Namun demikian,
apa yang dapat kita harapakan dari para kaum elit pendidikan ini bagi
masyarakat yang sedang berjuang untuk tetap hidup? Selama ini jawabnya belum
jelas. Adakah keberadaan mereka mampu memberikan kontribusi sebagai ‘agent of change’ bagi masyarakat yang sakit ini? Saya kira belum nampak nyata
kontribusinya. Paling kentara, mereka hanya mampu menyumbang ide, gagasan, dan
mau mengabdi pada masyarakat lewat jalur pendidikan formal yang tidak semua
rakyat bisa menjangkau. Artinya pendidikan telah menjadi komunitas ekslusif
dari masyarakatnya.
Dari
segala keprihatinan di atas, kita dapat menyadari bahwa suka tidak suka, mau
tidak mau, kita harus berani mengakui bahwa pendidikan kita selama ini berjalan
‘out of track’. Sistem pendidikan
kita lebih menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir (teoritis)
sekaligus teknis operasional dari suatu alat, tapi pengajaran atau pendidikan
hati dan jiwanya tidak pernah terjadi. Pendidikan jauh dari tujuan mulianya
untuk membangun manusia secara utuh sehingga memiliki kesadaran untuk menjadi
agen – agen perubahan pada masyarakatnya yang tertindas. Disinilah sentuhan
penting yang terabaikan dalam sistem pendidikan kita.
Hal
ini bukan perkara mudah untuk diobati. Namun mengobati sekarang lebih bijak
daripada nanti setelah penyakit ini menjadi lebih akut. Hanya tinggal menunggu
keberanian dari mereka yang diberi kuasa untuk memikirkan perkara ini dengan
bijaksana serta menentukan arah yang tepat bagi pendidikan nasional kita,
sehingga pendidikan sungguh – sungguh menjadi relevan bagi pembangunan suatu
bangsa.
Pageruyung, 23
September 2016
FX. Hengki
Parahate
No comments:
Post a Comment