Thursday, 13 October 2016

Puisi :Merindukan Terang

Merindukan Terang
Kalian yang dulu pernah berurai air mata
Berkalung peluh dan derita
Marilah mendekat dan berpekiklah
Agar tanah yang tidur pun mendengar dan bergetar
Agar air yang tenang pun berderai
Dan alam nan teduh bergeming dan menyingkap segala tabir si jahat

Kalian yang hanya diam
Menggerutu dalam gelap dan pengap hidup
Berdirilah dan tegakan kaki lalu berpijak
Angkatlah lenganmu dan tinjulah  dunia yang malang diperdaya si jahat

Kalian yang hanya terkulai lemah
Memanggul hidup dalam ketidak berdayaan
Beranikan hati dan berkeraslah berjuang setidaknya bagi dirimu sendiri
Sebab engkaulah manusia yang merdeka
Dan sebab engkaulah manusia yang mulia
Halaulah segala kegelapan itu
Sebab kebenaran bukan yang telah kelihatan
Dan bukan hanya milik sebagian manusia saja
Ialah kepunyaan alam semesta yang menentramkan segala mahkluk yang berdiam di bawah naungannya
Ialah hak segala anak bangsa

Pageruyung, 30 Mei 2016

FX. Hengki Parahate

Puisi : Mencumbui Malam


Mencumbui  Malam
Malam bukan lagi sahabat
Ia berwajah seram dengan peringai suram
Bak kabut kelam
Ia menyelimuti segala kedalaman diri
Menyeret jiwa dalam kekecewaan yang membatu
Merantai kegelisahan dalam bisu
Menenggelamkan mata hati dan menenun siasat celaka
Malam adalah kepalsuan keindahan gemerlap
Kehampaan hati yang tersendiri
Kekosongan jiwa yang terbelenggu
Ialah malam
Simbol segala gelap dalam gemerlap
Simbol segala keheningan dalam picik siasat para penyamun
Simbol segala keteduhan dalam haus dan kering nurani
Ialah malam
Itulah malam
Aku pun rindu padanya

Pageruyung, 30 Mei 2016
FX. Hengki Parahate



Puisi : Memuja Malam

Memuja Malam
Kunantikan datangmu
Memapahku dalam mimpi bayangan nan gelap
Kuharapkan sentuhmu
Membelai jiwaku nan lara dan terbenam dalam gelap
Kupuja dirimu wahai sang malam
Sebab telah lumpuh kewarasanku pada dunia yang tak waras
Kucintai engkau dengan segenap hatiku
Sebab tiada patut dan layak kucintai lagi segala yang terlihat pada terang
Pada terang hanya kudapati bayang
Tersamar dalam kemilau dunia yang menyilaukan
Hingga mata tiada lagi sedap memandang dalam segala kemegahannya
Kupuja engkau dengan segala kehalusan budiku
Sebab dalam gelapmulah terang itu sungguh dinantikan
Dan tiada tersamar dalam bayangan

Pageruyung, 22 Juli 2016
FX. Hengki Parahate



Puisi : Melacurkan Nurani

Melacurkan Nurani




Tiada mati rasa bagiku
Tiada pula mati hati ini menimbang segala perkara
Hanya saja bukan begitu logikanya
Nurani tiada lagi menjadi pujaan
Kemurniaanya bukan lagi timbangan yang jujur
Bukan hilang ketajamannya
Tapi tiada perlu rasa – rasanya menggunakannya
Bukan karena aku  manusia yang tidak berakal dan berbudi
Hanya karena tiada lagi guna semua itu bagi manusia sekarang ini katanya
Biarlah hilang hakikat manusia ini
Asal mampu merekayasa dan menipu diri
Melacurkan diri demi hal yang sementara

Pageruyung, 22 Juli 2016
FX. Hengki Parahate



Wednesday, 12 October 2016

Puisi : Langkah Pergumulan

Langkah Pergumulan


Lampu – lampu di tepian itu
Membiaskan malam menjadi kian tersamar
Mengiringi langkah – langkah kaki
Menjuntai sulur jalan beraspal bak permadani raksasa
Roboh terinjak langkah – langkah kaki tak berarah
Lampu – lampu itu
Menyeruak memancarkan sinar keabadian
Yang tiada akan lekang oleh masa hingga ujung perjalanan
Impian itulah pelita
Pelita itulah pengharapan
Betatapun redup berkas sinarnya
Pengaharapan itulah sumber daya yang menggerakan
Dan jiwalah sahabat dalam perjalananmu

Pageruyung, 1 Juni 2016
FX. Hengki Parahate


Puisi : Kupinta Yang Kuingin

Kupinta Yang Kuingin


Kupinta engkau bersama pelukan malam
Berbaring menemaniku melihat cakrawala gemerlap
Merengkuhmu dengan ketegaran hati
Dan menyandarkan kepalamu di bahuku

Kupinta engkau bersama terang sang bidadari malam,
Menenun hati yang terluka dan membasuh segala dukanya

Kupinta engkau dengan segala keharuman bumi,
Merasuk dalam setiap hela nafasku dan membiusnya dengan segala wewangian dewa
Kupinta engkau memudar bersama derunya gelombang laut yang menderu
Terhempas terbawa angin selaksa
Mencabut segala akar keserakahan inginku dalam ladang jiwaku
Dan bebaskanlah aku dari segala inginku

Pageruyung, 30 Mei 2016
FX. Hengki Parahate





Puisi : Kidung Cinta

Kidung Cinta


Menarilah bersamaku kasihku
Basuhlah kerinduan jiwaku dengan pelukmu
Gandenglah tanganku dan genggamlah bersama keyakinan kita
Akan masa depan yang kita takkan pernah mengetahui
Jangan lagi pernah kau lepaskan
Genggamlah kuat dan lebih kuat lagi
Karena kita telah seiya sekata
Berlayar menuju pelabuhan keabadian bersama
Mengertilah kiranya engkau akan segala kerinduan ini
Akan segala rasaku dan rasamu
Yang kian menyatu tak terbatas ruang dan waktu
Mengertilah kiranya engkau kekasih hatiku
Segala sukacitaku menyala dari pelukan sayap cintamu
Yang merengkuh kesendirianku
Mengertilah kiranya engkau nafas hidupku
Api cinta kita telah melebur
Dan segala kesusahan kita terhempas mengepul di awan
Bersama dengan api cinta kita yang kian membara
Kini kau dan aku bersatu dalam segala
Tanpa memisah dan terpisah
Sekarang hingga ujung waktu berlabuh
Berbahagialah kita dan segala anak bangsa bumi ini
Karena akan selalu kita kidungkan  cinta

Pegeruyung, 1 Juni 2016

FX. Hengki Parahate

Tuesday, 11 October 2016

Puisi : Desolasi


Desolasi

Laju berkabar angin menghembus asa
Bersahutan malam bergeming mengurai cahaya gemintang nan redup tiada pesona
Mencuat bagaikan menara duka menjulang
Menawan jiwa yang malang merintih

Pohon bambu pun bertingkah
Berdecit membisik dan memperolok dalam nyanyian angin kehampaan
Menuntun dalam untaian nada jiwa berseteru

Golak bergejolaklah
Menderu laksana selaksa ombak bergemuruh
Memecah dinding – dinding jiwa bisu nan sepi
Terhempas butir – butir pasir kekosongan

Tenang – tenanglah engkau disana jiwaku
Menyusuri lorong kekosongan nan sepi
Berenang dalam samudera duka dan keputusasaan
Sebab tiada tempat kesia – siaan

Selasa, 26 Juli 2016
FX. Hengki Parahate


Artikel Opini : Agama dan Religiousitas

Agama dan Religiousitas
(FX. Hengki Parahate)

Semua agama yang ada di dunia ini tidaklah sama (sinkretisme). Masing masing memiliki ciri yang khas dan unik yang tidak patut untuk diperdebatkan atau pun dihina dengan alasan apapun. Ibarat manusia, agama merupakan manusia – manusia yang berbeda baik secara fisik maupun rohani yang melekat pada manusia – manusia itu. Keberadaan manusia dengan segala yang melekatnya padanya itulah, merupakan ciri yang khas dari setiap pribadi yang harus dihormati dan dihargai sebagai hak yang paling hakiki. Demikian halnya agama. Meski berbeda cara, budaya/ritus keagamaan, bahkan isi ajaranya, harus ditempatkan sebagai sesuatu yang hakiki yang perlu dihargai dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia yang berbudaya.

Meski agama memiliki kekhasan, dan cara pandang yang berbeda – beda, namun semua agama di dunia ini memiliki muara yang sama, yaitu menuju pada Tuhan, Allah, Bapa, Yahwe, Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Esa. Dalam hal inilah cara yang digunakan oleh setiap agama berbeda – beda. Namun demikian, pada intinya sama (bukan dalam pengertian sinkretisme), bahwa agama memberikan cara pandang, cara mendoa, cara pengaktualisasian ajaran agama yang tertuju pada penganggungan Tuhan yang disebut dengan berbagai sebutan. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana itu pengagungan Tuhan?

Semua agama mengakui bahwa Tuhan merupakan pencipta kehidupan ini dengan segala yang ada dengan baik, termasuk diri kita. Maka pengagungan itu dapat kita lakukan dengan menjaga segala sesuatu ciptaan-Nya yang sejak awal mulanya memang sudah baik adanya. Menjaga alam semesta, hewan, tumbuhan, bahkan saling menjaga dan mengasihi sesama manusia yang adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Dalam konteks inilah, terkadang manusia – manusia yang beragama tidak penuh memahami ajaranya masing – masing, sehingga dalam usaha pengagunga Tuhan ini, menimbulkan konflik – konflik yang sebenarnya disayangkan. Dengan demikian, persoalanya bukan terletak pada agama beserta ajaranya, akan tetapi manusia – manusia yang kurang memahami ajaran masing – masing sehingga menumbuhkan sikap fanatik sempit.

Penghayatan agama dan aktualisasi agama

Pemahaman agama yang baik mustahil dapat tercapai apabila tanpa dibarengai penghayatan agama yang sungguh – sungguh. Dalam rangka inilah, sekiranya dapat kita sadari tingkatan penghayatan dari setiap agama yang akan sangat berpengaruh pada pengaktualisasian penghayatan akan agama. Tingkatan tersebut dapat terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu tingkatan teoritis, tingkatan ritual budaya, dan tingkatan praxis.

Tingkatan teoritis adalah tingkat penghayatan agama yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dengan cara hanya memahami isi ajaran agama saja. Contoh orang membaca kitab suci, mempelajari ajaran agama sehingga dia sungguh memahami isi ajaran agama yang dianutnya. Akan tetapi hanya sebatas memahami isi ajaran saja.

Pada tingkatan yang kedua yaitu tingkatan ritus budaya adalah tingkat penghayatan agama oleh individu atau kelompok yang telah memahami isi ajaran agamanya lalu mempraktikannya dalam bentuk – bentuk ritual dan budaya peribadahan agama. Sedangkan pada tingkat yang ketiga yaitu penghayatan agama secara praxis yang adalah penghayatan agama oleh individu maupun kelompok untuk mewujudnyatakan isi ajaran agamanya dalam kehidupan sehari – hari agar peranan agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia sungguh dapat dirasakan. Dalam konteks inilah agama akan menjadi semakin relevan bagi kehidupan manusia, bukan sebagai candu masyarakat sebagaimana yang dituduhkan. Dalam proses praxis inilah terkadang ditemui berbagai macam hambatan. Bisa dikatakan bahwa setiap agama berangkat dari cara pandang yang berbeda sesuai dengan kekhasanya masing – masing, yang memang terkadang tidak bisa disinkretiskan. Maka titik temunya adalah pada tingkat religiousitasnya.


Religiousitas (keberagaman) adalah derajat keterkaitan seseorang dengan nilai – nilai agama, keyakinan dan kemampuanya dalam mempraktikan serta menggunakannya dalam kehidupan keseharian (Worthington Jr, et al, The Religious Comitment Investor, 2003). Menurut Mohamad Nuh (Jawa Pos, Selasa, 5 Juli 2016), menjelaskan bahwa pengabaian (ketidakpedulian) terhadap urusan kemasyarakatan bisa dikategorikan pendustaan terhadap agama. Dari pengertian – pengertian tersebut, maka dapat kita pahami bahwa kualitas relgiousitas seseorang dapat dilihat dan ditentukan dari peranya untuk mau terlibat dalam menangani persoalan kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, penindasan, serta ketidakadilan. Demikianlah harapanya.

Monday, 10 October 2016

Puisi : Kaktus di Padang Pasir

Kaktus di Padang Pasir
Aku ingin menjadi seperti kaktus
Meski berada pada padang pasir nan kering dan tandus tiada ia memberontak
Tetapi ia berjuang untuk mencari sumber – sumber air hidup
menjulurkan akar – akarnya ke dalam lorong tanah meski berbatu

Aku ingin menjadi seperti kaktus
Walau dihantam badai ia tetap tegak berdiri dan tiada meronta ataupun mengeluh
Ia gagah menantang ketidaknyamanan itu walau sakit dirasa tentunya

Aku ingin menjadi kaktus berduri meski tiada menawan
namun batangku tambun menyimpan air penawar dahaga jiwa yang tersesat di padang ketandusan

namun aku tetaplah mahkluk kecil yang merasa terbesar dari seluruh jagat ini
mahkluk paling sombong karena kemampuan akalnya yang kerdil
mahkluk paling serakah namun enggan berbagi
mahkluk termalas dengan banyak keinginan namun paling suka menggerutu serta mengeluh
lalu  menyerah pada nasib hidup yang dianggap sebagai takdir
berbahagialah yang tidak buta dan tuli hatinya
berbahagialah semua mahkluk di jagat raya ini

FX. Hengki Parahate

Rabu, 23 Agustus 2016

Puisi : Jejak Langkah

Jejak Langkah
Kala wangimu semerbak ke segala arah mata angin
Kurasakan hembusan angin kesesakan
Kupijakan kaki langkah demi langkah
menyusuri jejak – jejak  tanah berpasir di tepian pantai itu
Yang mulai hilang bersama redupnya cahaya senja
Dan wangimu semakin mewangi menusuk batin nan lara

Aku membisu di antara alam raya nan bergemuruh
Meratapi kesendirian yang tiada seorang pun mampu mengerti,
Hatiku dingin dan membeku, hilang rasa atas segala sesuatu
Semakin keras dan membatu

Ingatanku mulai porak – poranda
Terhempas segala kegelisahan tak berkesudahan
Tiada lagi keindahan dan tiada lagi kenangan manis

Sejujurnya memang aku akan menjadi manusia yang berbahagia
Sekalipun langkahku terhuyung – huyung diterpa badai
Dan hatiku berkecamuk lunglai  menelan terlalu banyak kepahitan


FX. Hengki Parahate

Minggu, 21 Agustus 2016

Puisi :Jalan Tak Bertuan

Jalan Tak Bertuan
Sore itu mendung menggelayut begitu gelap
Menyelubung kedalaman batin yang meredup
Sinarnya mulai goyang terhempas angin kefasikan
Hampir – hampir padam menenggelamkan pengelihatan

Gelaplah sudah semua
Banyak jalan jiwa tersamar dalam bayang tak jelas
Berbahagialah mereka yang ‘eling lan waspadha’
Kaki akan berpijak pada jalanya meski harus terantuk batu
Ceroboh, celakalah kiranya
Sebab kaki dapat terjerembab dalam lumpur nan kotor
Meski tiada aral menghadang

Bijaksana adalah lentera hati
Yang akan menuntun dalam kegelapan jalan jiwa
Mengenal jalan yang tiada pernah bertuan

Pageruyung, 1 Juni 2016
FX. Hengki Parahate



Puisi :Hagia Sophia

Hagia Sophia
Engkau melegenda dengan segala cerita heroisme
Menjulang bermahkota kemegahan
Siapa tak takjub melihatmu?
Orang buta pun tersungkur diterpa cahyamu agung
Mendengar saja tentangmu orang akan kasmaran hendak berteduh di bawah atapmu
Kini engkau tetap gagah
Batu – batumu kian kokoh bersusun pada sendi – sendinya
Di tengah duniamu yang berkecamuk karena angkara murka
Engkau tetap pongah dan tiada mau membiuskan angin sophiamu
Tapi bukanlah salahmu
Mungkin saja engkau malu membagikannya kepada mereka yang tiada pernah mengenalmu
meski lantang dan riuh mendongeng tentangmu
Biarlah engkau tetap membisu dengan kemegahan dinding – dinding batumu
Menyimpan segala kebijaksanaanmu untuk kau taburkan kembali
Setelah dunia runtuh dengan segala tingkahnya

Pageruyung, 30 Agustus 2016

FX. Hengki Parahate

Puisi : Diam


Diam

Aku diam ... aku diam dalam kebisuan
Menatap mimpi yang seakan tersamar
Aku ingin berteriak...
Menceritakan kepada angin
Namun malam lebih pekat sehingga ia enggan menampakan diri

Hatiku tak siap
Hatiku berontak
Tapi siapakah aku?
Aku hanyalah boneka wayang yang bermain sesuai peran
Bergerak seirama dengan kehendak Sang dalang kehidupan
Langkahku dan takdirku hanyalah sebuah kepasrahan
Kepasrahanku hanyalah sebuah baktiku pada Sang kehidupan
Dan baktiku adalah sebuah kebaikan kecil dari segala raya kebaikan Sang pemberi hidup
Aku diam
Aku diam dalam kebisuan dan pengertian

Pageruyung, 15 Mei 2016
FX. Hengki Parahate

Puisi : Banyu Dewa

Banyu Dewa
Malam ini sejuk
Tersirami air surga, membasahi kering kerontang padang buana
Membiuskan aroma kesegaran dedaunan dan rerumputan hijau
Membaur bersama desiran angin yang melegakan jiwa
Biarkanlah kiranya semua  tersirami
Hingga menelisik dalam segala dan memenuhi segala kekosongan
Agar tidak kering
Agar tidak merana
Agar tumbuh lagi rinai tunas kebaikan
Tunas – tunas cinta
Tunas – tunas kembang hati yang damai
Air inilah air para dewata yang agung
Yang akan memperbaharui segala yang usang
Menghidupkan kembali yang layu dan mati oleh karena kefasikan
Dengan segala cara – cara yang tidak akan pernah kita mengerti
Sebagai manusia yang senang menggumuli kegelapan
Dimanakah kiranya sumber mata air ajaib itu?
Di dalam palung hatimu sajalah ia berada
Timba dan reguklah!

Pageruyung, 1 Juni 2016
FX. Hengki Parahate


Puisi : Atma Jaya

Atma Jaya
Aku memujamu bukan karena kecantikan
pun pula bukan karena kegelimangan harta
tak jua karena nasib putus asa
Kesadaranku menderu laksana angin selaksa
Pengelihatanku tajam menembusi relung jiwa paling gelap
Dan hatiku bergelora laksana ombak di samudera
Dengan segala kupuja engkau beserta jiwaku
walau hati teriris dan jiwa tertatih
Sebab pikirku tak menemui jodohnya
Kupuja engkau dalam segala angan dan mimpi – mimpi


Pageruyung, 30 Agustus 2016

FX. Hengki Parahate

Puisi : Atas Nama Jiwa

Atas Nama Jiwa
Tak adil rasanya jika hanya menerima,
tanpa  mau memberi
Tak elok juga rasanya mengkritisi
 tanpa mau ikut serta dalam upaya
Tak wibawa pula sepertinya diberi kuasa
Namun tanpa daya membangun sejahtera

Akal kehilangan roh
Dan roh kehialngan timbangannya
Jikalau demikian, akal tiada lagi guna
Atas nama jiwa, mari heningkan cipta

Senin, 15 Agustus 2016

FX. Hengki Parahate

Puisi : Aku Pun Bermimpi


Aku Pun Bermimpi
Aku pun bermimpi
Akan suatu masa dimana semua menjadi tenang dan damai
Tiada lagi jeritan dan tangis pilu menyayat hati
Meratapi kelaparan

Tiada lagi luapan cucuran peluh dan keringat kenistaan karena kemiskinan
Tiada lagi olokan dan cibiran terumbar sebagai tontonan
Bagi mereka yang nestapa bergumul dengan hidup mereka yang sedih

Tiada lagi pertunjukan peperangan
Yang diringi sorak – sorai nyanyian keserakahan berpadu dengan arogansi
Menjadi reffren solusi perselisihan paham

Tiada lagi terjuntai benang kusut tegaknya keadilan
Tiada lagi isak tangis dan bayang ketakutan bagi anak – anak kita untuk bermain

Ya itu semua hanya mimpi.
Dan sekali lagi hanya sebuah mimpi, yang katanya bunga tidur
Adakah itu suatu pertanda bagi negeri kita yang terberkahi ini?
Tidak jelas bagiku, sebab ini hanya mimpi dan sekaligus menjadi tanda
Dan siapakah yang mampu memahami keduanya?
Hanya mereka manusia, yang memiliki kedalaman batin dan hati yang bersih

Pageruyung, 1 Juni 2016

FX. Hengki Parahate

Artikel Opini : Pendidikan Hati Nurani

Pendidikan Hati Nurani
“Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukan pendidikan sama sekali”
Aristoteles, Filsuf Yunani.

Keberadaan pendidikan memiliki peranan penting dalam pembangunan multidimensional bangsa dan negara. Terlepas dari segala macam terori tentang hakikatnya, pendidikan sesungguhnya menitikberatkan pada pengolahan manusia (sebagai proses humanisasi), agar lebih bermartabat dan beradab. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat melahirkan manusia – manusia yang dapat menjadi motor peradaban hidup yang semakin bermartabat. Namun demikian, pendidikan
Secara ekonomis, pendidikan merupakan variabel independen yang sangat berpengaruh pencapaian pembangunan. Dalam kepustakaan pendidikan, A. Coleman menyatakan bahwa fungsi pendidikan sebagai sarana pengembangan dan  pertumbuhan ekonomi, sarana sosialisai nilai dan rekonstruksi sosial, serta sarana penyadaran dan pembangunan politik (A. Coleman, Education and the Political Development, Princeton, New Jersey, 1969). Maka pendidikan pada dasarnya merupakan aspek sentral yang akan menentukan wajah  pembangunan bangsa dan negara dalam segala bidang. Sebab, pendidikan hakikatnya proses menggarap realitas masyarakat, sehingga terjadi refleksi dan aksi guna memperbaiki realitas masyarakat yang kurang manusiawi agar lebih manusiawi. Sederhananya, secara matematis kualitas pembangunan merupakan fungsi dari pendidikan.
Namun demikian, kenyataan berbicara lain dari teori. Nampak bahwa pendidikan selama ini mengalami irrelevansi atas perkembangan dan pembangunan masyarakat dewasa ini yang mengalami berbagai persoalan dan mendesak untuk segera di atasi, seperti kemiskinan, ketidakadilan, separatisme, sikap esklusifisme sektarian, intoleran, budaya korup dan egoisme sosial yang semakin akut dan menghambat pembangunan. Inilah potret konstruksi masyarakat kita dewasa ini. Maka, dalam hal ini pendidikan telah gagal menjadi sarana sosialisasi nilai dan rekonstruksi sosial yang telah berimbas pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang terus mengalami demoralisasi (kehilangan nilai – nilai moral dalam hidup bersama untuk kebaikan bersama), sekaligus sarana penyadaran dan pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Dengan kata lain, pendidikan telah gagal memobilisasi manusia – manusia lulusanya menjadi agen perubahan, sebaliknya menciptakan disinherited masses (Paulo Freire, 2007), yaitu manusia – manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitar.
Akar persoalan
Kegagalan pendidikan sebagai lokomotif perubahan dalam masyarakat yang kurang beradab seperti diuraikan di atas, menurut hemat penulis terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena kurangnya pemahaman tentang hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Hal ini berdampak pada bangunan fondasi sistem pendidikan kita yang rapuh, sehingga orientasi pendidikan kita lebih pada pencapaian nilai akademik saja, tetapi kurang menggarap karakter manusianya secara utuh meski selalu di dengung – dengungkan. Kita dapat melihat dan rasakan bagaimana pendidikan kita lebih mengutamakan transfer pengetahuan yang tidak dibarengi dengan proses penyadaran manusia – manusia yang terlibat di dalamnya, yaitu proses memahami pertentangan – pertentangan sosial ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur – unsur yang menindas dari situasi pertentangan itu. Dalam hal inilah pendidikan kita kurang mengolah rasa dan hati manusia – manusia di dalamnya, sehingga cenderung mencetak generasi yang cenderung buta akan jati dirinya sebagai mahkluk sosial yang mengusahakan bonum commune (kebaikan bersama) bukan hanya untuk mengejar kebaikan sendiri maupun kelompok tertentu.
Kedua,  tidak adanya politic will dari pemerintah untuk menggarap pendidikan kita dengan serius. Terbukti dari realisasi anggaran untuk pendidikan yang tidak pernah mencapai dua puluh persen sebagaimana yang diamanatkan undang – undang. Padahal anggaran tersebut diperlukan untuk melakukan pembangunan infrastruktur pendidikan yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, pendidikan telah terpolitisasi sehingga bersifat tidak netral. Karena penyelenggaraan pendidikan rentan ditunggangi dengan kepentingan politis untuk mencari status quo kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika sendi –sendi pendidikan kita begitu keropos dan kehilangan sense – nya untuk mengolah daya, cipta dan karsa manusia secara utuh pada hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian seharusnya kesadaran pemerintah harus dan wajib dihidupkan dengan semangat konstitusi yaitu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tidak hanya anggaran yang perlu didorong sesuai amanat undang – undang, tetapi perlu grand designe kurikulum pendidikan nasional yang tetap dan menunjang pada prioritas pembangunan bangsa, bukan kurikulum proyek, dimana setiap ganti menteri mesti selalu ada perubahan kurikulum dan kebijakan tentang pendidikan nasional kita.
Pendidikan hati nurani sebagai solusi
Dengan melihat dan merasakan bagaimana kondisi pendidikan kita yang sangat jauh menyimpang dari hakikatnya tersebut, tentu kita akan bertanya, lalu apa solusi dari persoalan ini? Tentu tidak cukup hanya beretorika dengan teori – teori, namun harus diwujud nyatakan dalam langkah konkret untuk membangun pendidikan kita yang relevan dan signifikan dalam konteks masyarakatnya sendiri. Akan tetapi tindakan tanpa dasar teori yang jelas dan valid juga tidak akan berguna. Maka kedua – duanya harus seiring dan sejalan. Dengan demikian perlu pengkajian lebih lanjut untuk mereorientasi pendidikan kita kembali pada hakikatnya yang sesuai dengan kondisi peradaban masyarakat Indonesia guna menemukan sebuah desain pendidikan yang holistik, yang tidak hanya memerangi buta aksara dan pengetahuan, tetapi juga mampu memerangi buta sosial dan buta ekologi atau lingkungan.
Tidak sepatutnya pendidikan hanya mengolah intelengensia pikiran tanpa mengasah intelegensia hati nurani. Jika demikan yang terjadi maka, pendidikan hanya membangun manusia itu secara separo saja, tidak penuh. Dan hal ini akan sangat berbahaya bagi perkembangan manusia itu sendiri dan juga orang lain. Contohnya adalah setiap pendidikan kita selama ini telah menghasilkan sekian juta orang pandai dari tingkat sarjana, master hingga doktor dan profesor. Namun demikian, apa yang dapat kita harapakan dari para kaum elit pendidikan ini bagi masyarakat yang sedang berjuang untuk tetap hidup? Selama ini jawabnya belum jelas. Adakah keberadaan mereka mampu memberikan kontribusi sebagai ‘agent of change’ bagi masyarakat yang sakit ini? Saya kira belum nampak nyata kontribusinya. Paling kentara, mereka hanya mampu menyumbang ide, gagasan, dan mau mengabdi pada masyarakat lewat jalur pendidikan formal yang tidak semua rakyat bisa menjangkau. Artinya pendidikan telah menjadi komunitas ekslusif dari masyarakatnya.
Dari segala keprihatinan di atas, kita dapat menyadari bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus berani mengakui bahwa pendidikan kita selama ini berjalan ‘out of track’. Sistem pendidikan kita lebih menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir (teoritis) sekaligus teknis operasional dari suatu alat, tapi pengajaran atau pendidikan hati dan jiwanya tidak pernah terjadi. Pendidikan jauh dari tujuan mulianya untuk membangun manusia secara utuh sehingga memiliki kesadaran untuk menjadi agen – agen perubahan pada masyarakatnya yang tertindas. Disinilah sentuhan penting yang terabaikan dalam sistem pendidikan kita.
Hal ini bukan perkara mudah untuk diobati. Namun mengobati sekarang lebih bijak daripada nanti setelah penyakit ini menjadi lebih akut. Hanya tinggal menunggu keberanian dari mereka yang diberi kuasa untuk memikirkan perkara ini dengan bijaksana serta menentukan arah yang tepat bagi pendidikan nasional kita, sehingga pendidikan sungguh – sungguh menjadi relevan bagi pembangunan suatu bangsa.

Pageruyung, 23 September 2016

FX. Hengki Parahate

Cerpen : Lelaki Berpayung Kabut

Lelaki Berpayung Kabut
Terkadang kematian lebih mempesona daripada menakutkan. Ia bagaikan hujan yang dinantikan petani di musim kemarau nan gersang untuk segera bertanam dan bagaikan pembebasan bagi orang – orang yang tertawan hatinya. Ia kemilau termegah dari segala kemilau yang ada di dunia ini, sehingga ia begitu menggiurkan untuk dicumbui bagi mereka yang menghendaki keabadian, pun juga bagi mereka yang bosan dengan dunia dan berputus asa.
Sebentar lagi surya segera berlabuh dalam peraduan senja jingga. Dan malam menanti untuk menampakan diri dalam keperkasaannya gelap menyelubung. Tiada jiwa manapun yang mampu melawan geliat malam yang perkasa, pun tiada guna menyangkal diri sebab malam akan menguak dan menelanjangi segala pedalaman jiwa. Malam pun tiba menggelayut bersama kabut dalam keremangan menyentuh relung jiwa.
Lelaki paruh baya itu, berdiri tercenung seakan sedang meratapi nasib hidupnya yang menyakitkan. Layaknya pohon jati yang meranggas di musim kemarau, ia merasakan kedinginan jiwanya yang telah mengerak di palungnya. “masihkah ada harapan itu bagiku?”, gumamnya membatin dan meratap.
Sesekali ia mendongak ke atas awan yang berkabut. Hanya gambaran buram yang terbentang di hadapanya, sesuai dengan nasib yang ia alami. Sedih, pilu dan sesal bercampur menjadi sebuah batu yang menggumpal di tenggorokannya lalu turun mengendap di dalam dada, sehingga tiada lagi mampu berkata dan hanya mencucurkan air mata. “Biarlah kiranya malam meredakan segala risau yang menjadi ini bersama dengan segala kemauannya”, batinya pasrah menahan kesesakan batin tiada terkira.
Angin berhembus bersama balutan kabut malam nan dingin, ia berjalan ke dalam hutan dan besembunyi dalam keremangan, seakan tiada mampu menjalani lagi kenyataan hidupnya yang memilukan itu. Ia menyusuri lorong gelap masa lalunya yang kelam dan kini menyisakan penyesalan yang tiada terperikan. Cahya rembulan tiada mampu meyibak bayangannya dalam kegelapan itu, dan tak tahu apa yang ia lakukan dan terjadi di sana. Semua begitu sunyi. Hanya gemericik air yang mengalun – alun, menyanyikan lagu – lagu pujian kepada malam yang  gelap, dingin dan berkabut itu. Ia hilang dalam keremangan dan tiada satu pun pernah mengetahui dimana rimbanya.
Segagah apa pun malam menancapkan keperkasaan gelapnya, rembulan pancaran dewi kelemah – lembutan akan meruntuhkannya.  Terang akan senantiasa mengalahkan gelap walau hanya setitik. Ia akan menyingkap segala gelap bahkan yang paling pekat dengan pancaran sinar kasihnya nan lembut menyapa. Perlahan ia mulai memberi terang alam di bawahnya dan memberikan terang pengharapan pada jiwa – jiwa yang dirundung kegelapan dosa. Tak ayal keremangan itu pun menyibak keberadaan lelaki paruh baya yang terkoyak itu di tepi danau di dalam hutan tak bernama.
ia sedang mengiba kepada malam, tertelungkup kepada tanah di tepian danau itu dan mengharap belas kasihan atas nasib. Ia sedang memohon indulgensi dan pengampunan atas dosa – dosa di masa lalunya. “Oh malam nan agung, jangan biarkan jiwa malang ini tenggelam dalam kegelapanmu nan agung. Percikanlah setitik cahya terangmu untuk menembusi segala relung gelap jiwaku yang terbekap oleh penyesalan ini!”, katanya di tengah kesunyian rimba sambil terus telungkup dan bercuruan air mata.  Malam pun tiada bergeming menanggapi jiwa yang meronta tiada henti itu hingga malam semakin larut. Tiada jawaban atas segala kegundahan itu. Dan malam masih bersembunyi dalam ribaanya yang perkasa dalam keremangan.
“Sungguh aku telah menyesal atas semua yang kulakukan pada masa itu. Aku telah salah meninggalkan istri dan anak – anaku tanpa peduli lagi pada mereka!”, rintihnya pilu.
“aku telah salah menelantarkan jiwa – jiwa yang tiada berdosa itu! Aku telah berdosa !”, pekiknya miris dan  malam masih tetap membisu.
Semakin meronta, semakin malam menancapkan perih pada rasa sesal yang menggumpal di dalam jiwanya itu. Dan itu semua sungguh tak tertahankan lagi bagi jiwa si lelaki paruh baya itu.
Sejenak lelaki itu mulai memberanikan diri menatap malam yang tiada bersahabat baginya itu. Ia berdiri memanggul segala beban sesal yang memilukan itu. Langkahnya terhuyung – huyung mendekati tepian danau di tengah rimba itu, lalu rubuh kembali dalam simpuh layu.
Lelaki paruh baya itu menyemburatkan tatapan kosong, menembusi genangan air danau nan tenang. Lentera jiwanya semakin meredup menembusi pandangan pada air danau itu, yang semakin lama, semakin jelas ia melihat seraut gambaran masa lalunya yang menyedihkan. Dalam cerminan itulah ia semakin jelas menjelajah masa lalunya, menghadirkan kembali ingatan akan peristiwa demi peristiwa bagaimana ia telah salah mengambil keputusan untuk meninggalkan istri dan anak – anaknya yang tiada berdosa itu, dan lalu pergi bersama semilir angin kefasikan yang memabukan.
Ia semakin hanyut dalam pusaran masa lalunya itu dan tiada lagi tahu apa yang harus ia perbuat sekarang. Hanya menunggu pengadilan nasib sajalah kiranya harapnya. Dan kematian merupakan hal yang sungguh ia rindukan untuk mengkahiri segala perih jiwa yang tiada termaafkan itu. Namun demikianlah hidup, apa yang terjadi tidak selalu seperti yang kita harapkan.  Kepasrahan atas hidup hanya berlaku bagi orang – orang yang seharusnya tidak berhak untuk dilahirkan, sebab hidup membutuhkan keberanian untuk menjawab segala tanda tanya.
Gelap sudah semua itu, dan lelaki paruh baya itu tenggelam bersama segala rasa sesal masa lalu dan bermaksud pula menenggelamkan dirinya ke dalam pusaranya hingga tiada berbekas dalam kesunyian malam. Namun tiba – tiba angin berhembus semakin kencang hingga air danau menjadi beriak – riak terhempas angin yang dingin dan membawa debu – debu kehampaan. Lelaki paruh baya itu pun rebah tak kuasa menahan terpaan badai malam dan telungkup merunduk rendah kepadanya.
Setelah beberapa saat berlalu, badai pun reda. Tetapi lelaki paruh baya itu tetap rebah meniduri tanah dan terpejam.  Ia  melayang dalam mimpi yang melelapkan tidurnya dan seakan tak ingin kembali lagi ke alam nyata. Entah sampai kapan ia akan terbangun lagi. Dan angin masih saja berdesis menyanyikan nyanyian pilu penyesalan lelaki paruh baya itu yang tak pernah diketahui ribaannya. Hanya malam yang akan meyimpan segala rahasianya dalam keremangan dan kebisuan.


  FX. Hengki Parahate