Tuesday, 14 June 2016

Dischographi

Artikel Opini : Radikalisme OPM: Separatisme atau Perjuangan Kemanusiaan?

Radikalisme OPM: Separatisme atau Perjuangan Kemanusiaan?
Sejak 28 April 2013 gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) resmi membuka kantor di Oxford Inggris. Sontak hal itu membuat protes dan keberatan dari pemerintah Indonesia yang dilayangkan pada 4 Mei 2013 kepada pemerintah Inggris. Sikap Inggris yang telah mengakomodir gerakan yang dianggap sebagai gerakan separatis itu dinilai telah  menciderai hubungan bilateral antar kedua negara selama ini. Mungkin memang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk melayangkan protes atas sikap Inggris semacam itu, akan tetapi tepat pulakah bahwa gerakan OPM sejatinya dianggap sebagai gerakan separatis?
Menurut hemat penulis, gerakan OPM semata-mata bukanlah gerakan separatism, melainkan  lebih merupakan sikap protes yang mewakili warga papua  atas perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sendiri. Mereka tidak memperoleh pembagian hasil pembangunan yang adil, padahal Papua telah menjadi penyumbang besar atas hasil tambang bagi pembangunan Indonesia. Menurut data yang disampaikan oleh Sekretariat Kabinet dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) hingga 2012, tanah Papua terbukti mengandung cadangan  mencapai 2,52 Miliar ton bijih terdiri dari 0,97 persen Tembaga 0,83 gram/ton emas 4,13 gram/ton perak Maka gerakan OPM adalah bentuk tuntutan hak atas kekayaan alam yang selama ini telah dikuras dan tidak dirasakan oleh warga Papua sendiri.
Data Indikator Kesejahteraan Daerah Provinsi Papua  yang dirilis oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2011, menunjukan tingkat rata-rata  kemiskinan di Papua mencapai 36,80 persen lebih tinggi dibanding tingkat rata-rata kemiskinan nasional sebesar 13,33 persen pada tahun 2010 atau jumlah penduduk miskin  di Papua meningkat dari  709.388 jiwa pada tahun 2009 menjadi 972.454 jiwa pada tahun 2010. Kondisi ini terjadi justru ketika jumlah penduduk miskin secara nasional telah mengalami penurunan dari 32.530.000 jiwa pada tahun 2009 menjadi 31.023.390 jiwa pada tahun 2010. Indek Pembangunan Manusia tercatat paling rendah dibanding dengan provinsi lainya dengan angka indek sebesar 64,94 persen dibawah rata-rata nasional sebesar 72,27 persen pada tahun 2010. Dari segi ketahanan pangan pada tahun 2009 tercatat hanya lima daerah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus yaitu Kabupaten/Kota Tolikara, Merauke, Jayawijaya, Waropen dan Yahukimo dari Sembilan belas Kabupaten/Kota yang ada,.
Lebih dari itu, kehadiran PT. Freeport McMoran Indonesia yang telah mengeksplorasi tambang emas, tembaga dan perak disana, mengusai saham sebesar 81,28 persen, sedangkan untuk PT. Indocopper Investama dan Pemerintah Indonesia hanya sebesar 9, 36 persen saja. Bahkan  dengan kegiatan eksplorasinya di Papua dinilai telah banyak memberikan kerugian dibanding manfaat bagi warga Papua sendiri. Menurut Tim Riset Global Future Institute tahun 2009, lahan pertambangan yang dikuasai merupakan lahan gusuran dari tujuh suku adat di pegunungan tengah yang merupakan sumber penghidupan bagi suku adat disana. Disamping itu, limbah yang  dihasilkan telah mencemari lingkungan. Setidaknya 20-40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur akibat pembuangan limbah disana.
Demikianlah kiranya situasi yang dihadapi oleh warga Papua jauh tertinggal di tengah modernisasi pembangunan yang sedang kita jalankan. Ketika telah mencapai pada suatu tingkat ketimpangan pembangunan yang semakin tinggi dirasakan oleh warga Papua, maka pembukaan kantor OPM di Oxford Inggris merupakan puncak dari kekecewaan itu semua. Mereka menyuarakan kemerdekaan bagi Papua dan berharap simpati Dunia Internasional terhadap nasib rakyat mereka yang merasa telah ‘tertindas’  oleh pemerintah mereka sendiri yaitu Indonesia.
Menuju perdamaian demi kemanusiaan
Belajar dari pengalaman penyelesaian konflik beberapa tahun yang silam terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh dengan kekuatan senjata, tentunya hanya akan memberikan kerugian bagi negara secara lebih besar. Tentunya dibutuhkan anggaran dari APBN yang cukup besar guna melaksanakan misi tersebut yang sebenarnya lebih berdaya guna untuk mengentaskan masalah kemiskinan dan persoalan urgent lainnya. Maka dalam hal ini perlu kearifan dalam menyelesaikan kasus gerakan OPM ini. Jalan perundingan merupakan jalan terbaik sebagaimana pengalaman penanganan kasus atas GAM.
Keberhasilan perundingan ini, sangat ditentukan oleh pemahaman akan visi masing – masing pihak, Pemerintah RI dan OPM. Pemerintah RI bervisi untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedang OPM bervisi untuk memperjuangkan kemerdekaan dan terlepas dari NKRI. Maka perbedaan visi ini harus dikerangkai dalam nilai kemanusiaa sebagai dasar perundingan. Sebab tidak penting lagi merdeka atau masih menjadi bagian integral dari NKRI, selama nilai-nilai kemanusiaan itu tidak pernah dijunjung tinggi.
Fakta berbicara bahwa selama menjadi wilayah kesatuan NKRI masyarakat Papua masih miskin dan tertinggal dalam pembangunanya. Ini merupakan bukti rasa kemanusiaan yang belum terwujud di papua. Namun demikian, seandainya telah melepaskan diri dari NKRI dan menjadi bangsa yang merdeka, adakah jaminan bahwa rasa kemanusiaan itu juga akan lebih mewujud bagi masyarakat Papua nantinya. Maka apapun cara dan hasil dari penyelesaian konflik yang sudah berkepanjangan ini hendaknya dapat memberikan angin segar dan perubahan yang signifikan bagi Papua yang lebih sejahtera dan lebih humanis. Semoga.


Ngaglik, 15 Mei 2013

FX. Hengki Parahate

Artikel Opini :Membangun Habitus Politik Demi Indonesia

Membangun Habitus Politik Demi Indonesia
Oleh: FX. Hengki Parahate



Politik tak ubahnya merupakan sebuah proses tawar menawar antara para “pengemis”, yang mengemis akan kekuasaan untuk kepentingan mereka. Demikianlah kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi perpolitikan kita saat ini yang penuh diliputi oleh kebohongan karena adanya sandera-menyandera kepentingan para elit politik kita saat ini. Hati nurani telah tertutup oleh napsu kekuasaan yang tamak.
Secara nyata, kondisi ini berdampak pada kondisi hidup manusia di Indonesia yang masih jauh dari sejahtera. Memang benar, tingkat pembangunan ekonomi tumbuh dengan rata-rata sebesar 6 % pertahun, akan tetapi kue pembangunan ekonomi tersebut tidak terbagikan secara nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara nyata kemiskinan juga semakin menonjol dalam lingkungan kita dalam segala bentuknya. Lebih dari itu indikasi keruntuhan nilai – nilai budaya kebangsaan yang santun serta toleran dalam khazanah pluralisme juga semakin luntur adanya. Jelas bagi kita bahwa kondisi tersebut sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan untuk mencapai kesejahteraan yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.   
Berdasarkan situasi kebangsaan tersebut, semakin jelas bagi kita bahwa demokrasi politik yang seharusnya sebagai seperangkat tatanan alat sosial yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan tidak terbukti. Saat ini tiga alat sosial demokrasi dalam bernegara yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif telah berbudaya korup. Meminjam istilah Budiharto Sambassy wartawan senior Metro TV, ketiga pilar sistem demokrasi kenegaraan tersebut, disebut sebagai Trias Koruptika.
Demokrasi politik yang telah bergulir saat ini, sebenarnya merupakan bangunan demokrasi politik yang begitu rapuh dan sangat jauh dari visi kesejahteraan rakyat. Sebagaimana kita ketahui bersama, euforia demokrasi pasca tumbangnya rezim orde baru sebenarnya tidak menemui tempat yang tepat. Ibarat sebuah benih, benih demokrasi itu telah tersebar pada tanah yang berbatu. Benih itu tumbuh kemudian mati karena tidak mengakar dengan kuat. Hal ini menunjukan pemahaman demokrasi yang begitu dangkal dalam alam pikir politik kita. Demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan bertindak semau gue tanpa menghiraukan kepentingan hak orang lain maupun umum. Demokrasi hanya menjadi legitimasi bagi mereka yang memiliki modal dan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Maka sesungguhnya demokrasi yang kita bangun ini merupakan demokrasi yang tidak mengakar dari budaya dan karakter kebangsaan kita sendiri. Dia hanya merupakan demokrasi fotocopy Barat yang diterapkan di alam Indonesia yang tidak mengalami kesesuaian dan tetap dipaksakan.
Lebih dari itu, buruknya kinerja bangunan demokrasi politik yang ada saat ini terjadi oleh karena ketiadaan seseorang yang memiliki jiwa kepemimpinan. Politikus memang banyak, Presiden juga punya, tetapi pemimpin tidak kita miliki. Maksdunya sederhana saja, bahwa pemimpin yang kita maksud adalah mereka yang mau melayani bukan dilayani. Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang rela menyerahkan segala-galanya bahkan nyawanya sendiri jika perlu, demi kepentingan bangsa dan negaranya tanpa pamrih mengharapkan imbalan. Pemimpin yang kita butuhkan ialah mereka yang memiliki keutaman dalam hidup yang berdasar pada cinta terhadap sesama sebagai manusia. Maka pemimpin harus dapat memberdayakan bukan memperdaya sesamanya sendiri (humanis).
Berdasarkan semua hal di atas, persoalannya kemudian adalah bagaimana cara kita membangun model demokrasi politik yang lebih sesuai dengan karakter dan kepribadian bangsa kita? Jawabanya adalah dengan membangun habitus (budaya) politik yang sesuai dengan jiwa kepribadian bangsa kita sendiri. Dan hal ini dapat kita mulai dengan mengelola sistem pendidikan secara benar, yang lebih mengedepankan nilai-nilai humanis dan membangun kesadaran kebangsaan yang kuat. Pendidikan harus dibangun berdasarkan model dialektis antara pendidik dengan anak didik dengan berdasarkan prinsip kemanusiaan. Pendidikan harus mampu mengolah semua manusia yang terlibat didalamnya hingga mencapai pada kesadaran yang praxis. Artinya, mereka menyadari keberadaan mereka sebagai bagian dari entitas sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara, mampu menganalisa persoalan yang ada di lingkungan sekitarnya, serta mampu merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah nyata untuk memperbaiki keadaan yang tidak adil. Karena pendidikan pada dasarnya merupakan proses mengolah manusia secara utuh serta melatih keselarasan dalam cara berfikir dan bertindak untuk mengupayakan situasi yang lebih adil dan beradab bagi kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, harapanya bahwa dari sistem pendidikan tersebut akan dapat melahirkan generasi manusia Indonesia yang dapat dipercaya sebagai pemimpin di masa yang akan datang. Sehingga dengan sumber daya manusia yang sedemikian rupa, pada akhirnya kita akan dapat membangun kepeloporan demokrasi politik yang asli dan benar-benar tumbuh dari akar budaya bangsa kita sendiri, bukan sistem demokrasi fotocopy. Jika hal ini yang terjadi, maka habitus politik yang terbangun juga akan bernfaskan akan falsafah hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila. Maka sistem pendidikan yang diharapakan tersebut, sudah layak dan sepantasnya untuk dapat segera dilakukan dalam rangka membangun keseluruhan sistem demokrasi politik kita secara utuh. Pendidikan merupakan kunci utama.
Namun demikan, upaya tersebut memerlukan sinergi antara seluruh komponen anak bangsa agar dapat berhasil. Diperlukan sinergi dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), institusi penegakan hukum, serta masyarakat secara luas baik tokoh agama, seniman, budayawan dan masyarakat biasa, sehingga dengan segala macam perbedaan yang melekat dalam setiap komponen anak bangsa tersebut merupakan sebuah tantangan. Artinya upaya sinergi ini harus diletakan dalam kerangka mencapai kepentingan bangsa yang lebih mendesak dan sudah menjadi keharusan untuk segera dilakukan. Sebab, jika tidak segera dilakukan maka akan mengancam keberadaban kita sebagai entitas bangsa. Maka seyogyanya khazanah pluralisme yang ada justru dapat menjadi kekuatan pemersatu bangsa, bukan menjadi batu sandungan.



Artikel Opini :Kebangkitan Nasional dalam Gerusan Globalisasi

Kebangkitan Nasional dalam Gerusan Globalisasi
Tanggal 20 Mei 1908 merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Momentum tersebut dianggap penting karena menjadi pioner yang meletakan dasar kesadaran nasional dalam gerakan perjuangan kemerdekaan, mengingat corak gerakan perjuangan kemerdekaan sebelumnya masih bersifat sporadis dan kedaerahan. Inilah awal lahirnya semangat kebangkitan nasional melawan rezim penindasan  kolonialisme dan imperalisme Belanda yang telah mencapai puncak kejayaannya pada pencapaian proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Namun demikian, didalam era pembangunan dewasa ini momentum 20 Mei kehilangan kekuatan magisnya. Semangat kebangkitan nasional tidak lagi menjadi dasar perjuangan pembangunan dewasa ini. Ia hanya menjadi agenda ritual peringatan sejarah setiap tahunnya, dan gerusan arus globalisasi yang semakin mengakar dan membudaya dalam sendi kehidupan kita.
Globalisasi merupakan gerakan liberalisasi yang mencakup sektor perdagangan dan sektor keuangan. Melalui lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organitation (WTO), mengatur sedemikian rupa sistem perdagangan dan sistem keuangan internasional yang semata-mata demi kepentingan kapitalisme. Melalui korporasi-korporasi internasional berskala besar (MNCs/TNCs) telah menguasai lahan-lahan pertambangan dan mineral startegis di berbagai negara tak terkecuali Indonesia. Banyak negara maju seperti Amerika dengan sekutunya mendukung globalisasi ini, namun tidak sedikit pula negara-negara di dunia yang juga menolak kehadiran globalisasi bagi bangsanya, seperti Venezuela dan Kuba karena globalisasi lebih memberikan dampak negatif daripada positifnya.
Terlepas dari pro dan kontra atas globalisasi tersebut, nampaknya Indonesia merupakan negara yang tidak sepenuhnya menyatakan secara tegas mendukung maupun menolak kehadiran globalisasi. Namun demikian, setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dalam berbagai bidang lebih cenderung berpihak pada kepentingan modal dibanding rakyat, seperti UU  No.1 Tahun 1967 tentang  Penanaman Modal Asing, UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara,  UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kurang menjamin kesejahteraan bagi buruh dengan adanya sistem kontrak, dan UU No. 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang meski sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2010 tetap memberikan praktek diskriminasi pendidikan bagi masyarakat kita. Inilah karakter bangsa kita, sebagai bangsa komparador.
Berdasarkan laporan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal 2012 dalam periode Januari – September 2012 realisasi nilai PMA mencapai 71,4 persen atau senilai Rp. 164,2 triliun lebih besar dari PMDN yang hanya mencapai 28,6 persen atau senilai Rp. 65,7 triliun di berbagai sektor. Hal ini menunjukan bahwa betapa besarnya kita bergantung pada modal asing dibanding modal dalam negeri sendiri sebagai penggerak bagi pembangunan.
Setidaknya ada PT. Freeport McMoran, PT. Newmont Nusa Tenggara dan Minahasa Raya asal Amerika yang menguasai tambang emas di Indonesia. PT. Exxon dan ChevronTexaco asal Amerika menguasai migas di Riau dan di Blok Cepu hingga Geothermal di Jawa Barat. China dengan CNOOC SES Ltd  yang menguasai penambangan minyak di Kepulauan Seribu hingga Brasil dengan PT. INCO-nya yang menguasai pertambangan timah di Sorowako Sulawesi selatan. Dan dari sistem kontrak karya tersebut, saham yang dimiliki Indonesia hanya sebagian kecil saja dan tidak banyak diuntungkan. Dalam kasus kontrak karya dengan Freeport, kepemilikan saham sepenuhnya dikuasai oleh Amerika sebesar 81,28 persen, PT. Indocopper Investama 9,36 persen dan Pemerintah Indonesia sebesar 9,36 persen saja.
Masa depan di tangan kita sendiri
Demikianlah kiranya globalisasi telah menjadi batu sandungan daripada peluang bagi pembangunan kita. Saat ini rakyat telah dihadapkan pada kondisi krisis akan pangan dan  energi serta kerusakan ekologi dewasa ini. Inilah ironi pembangunan di era modernisasi yang suka tidak suka harus kita akui sebagai negara yang sebenarnya kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini terjadi sebagai akibat dimana kita lebih menggantungkan nasib kita kepada pihak asing dibanding kekuatan bangsa sendiri.
Dalam kerangka inilah, momentum peringatan HUT Kebangkitan Nasional ke – 105 tahun pada 20 Mei 2013 ini, hendaknya mengingatkan kembali arah dan dasar perjuangan pembangunan bangsa kita ditengah hegemoni globalisasi yang semakin kuat menggerus ekonomi maupun budaya kita. Hendaknya kita disadarkan oleh amanat penderitaan rakyat dalam riwayat kesejarahan kita sebagai dasar pembangunan kesejahteraan bangsa dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita kaya akan sumber daya alam serta bisa mengelolanya sendiri.
Untuk itu diperlukan upaya pembangunan semangat persatuan dan kesatuan dalam semangat nasionalisme bangsa ditengah keberagaman budaya, adat, suku dan agama. Selanjutnya upaya pemutusan kontrak karya atas pengelolaan sumber daya alam kita dari penguasaan asing bukan lagi moratorium. Dan untuk itu semua, yang dibutuhkan adalah seorang negarawan bukan seorang politikus. Sebab “nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat,  akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan; nasionalis yang menerima rasa nasionalisme itu sebagai wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti”, kata Soekarno  dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Jayalah Indonesia.



Ngaglik, 14 Mei 2013-05-23

FX. Hengki Parahate

Artikel Opini :Indonesia; Negara di Ujung Kegagalan

Indonesia; Negara di Ujung Kegagalan

Menonton salah satu siaran televisi kemaren malam dengan "Indonesia menuju Negara di Ujung Gagal", terlintas pemikiran yang mengutarakan persepsi secara pribadi yang cenderung setuju dengan judul dialog tersebut. Akan tetapi rasa-rasanya saya sudah sangat jenuh dan bosan mendengarkan cerita yang memilukan tentang kondisi masayarakat di negara ini. Keputusannya, saya lewatkan begitu saja acara tersebut.

Namun demikian, ketika bangun tidur dan langsung membuka Fb dan membaca status dari teman2 ternyata hanya ada satu teman saya yang mengangkat kembali tema tersebut dalam statusnya, entah apa motivasinya. tetapi saya salut dengan kawan itu, ternyata dari sekian banyak rekan muda yang berteman di Fb hanya dia seorang yang mau mengususng isu tersebut dalam media sosial itu. Maka saya masih percaya bahwa negeri ini masih ada harapan untuk bangun dari keterpurukan oleh karena ada orang2 seperti kawan saya yang ternyata masih peduli akan nasib bangsanya sendiri. Bartolomeus Ferdian Vihara Palma....mantap kawan.

Kembali lagi ke tema tentang Indonesia; Negara di Ujung Kegagalan. Sekilas saya berfikir judul tersebut begitu lugas dalam membungkus persoalaan pelik yang melanda bangsa ini dan  telah  gagal dituntaskan oleh negara. Saya berfikir bahwa sebenarnya kurang apa bangsa dan negara ini dalam keadaanya. Segala potensi sumber daya alam, sumber daya manusia bahkan ideologi yang begitu luhur Pancasila.

Saya setuju dengan para politisi kita dengan  pandangan politik yang menyatakan bahwa bangunan bangsa dan negara ini harus berdiri dan ditegakkan dalam empat pilar utama yaitu Pancasila, UUD 1945, Penegakan Hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya saja, aktualisasi dari keempat pilar tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita masih jauh dari harapan. Kegaduhan politik yang begitu luar biasa antar partai politik hari - hari ini telah mengebiri demokrasi yang menjadi jargon politik mereka. Toh pada kenyataanya rakyat hanya dijadikan obyek demi politik kekuasaan. Politik kita adalah politik bernegara yang kotor dan paling busuk.

Segala potensi yang ada di negeri ini sebenarnya sudah disediakan oleh cuma2 oleh Tuhan Yang Esa dengan segala kelimpahannya.Bahkan saya berfikir jangan - jangan bangsa ini adalah bangsa pilihan, karena memang begitu mengagumkan keberadaanya. Apa yang tidak ada di Bumi Pertiwi?. Sejarah membuktikan, betapa bangsa2 eropa berlomba-lomba untuk menemukan tanah air kita ini karena kelimpahan kekayaan yang begitu luar biasa.Hanya sayang, kelimpahan ini tidak dengan baik dikelola oleh negara untuk kepentingan bangsa dan rakyatnya sendiri. Para elite politisi kita adalah para komparador kepentingan asing yang ingin meraup sebanyak-banyaknya keuntungan dari kekayaan negeri ini melalui penjajahan secara ekonomi. Kebusukan keserakahan ekonomi yang dibungkus dalam globalisasi dan liberalisasi adalah tonggak kehancuran ekonomi kita. Mungkin ini yang dimaksud oleh Soekarno dengan apa yang disebut dengan neoliberalisme dan neokolonialisme yang ternyata lebih efektif dalam melakukan penghisapan atas kekayaan bangsa dan negara di tanah air kita. Dampaknya, rakyat masih saja miskin dan berkubang dalam kebodohan yang tersistem. 

Kesesatan Trias Paradigma adalah sumber kekacauan yang sesungguhnya.
Menurut Dr. Hidayat Nataatmadja, dalam dunia modern dewasa ini ada tiga bentuk paradigma yang berpengaruh dalam kultur masyarakat kita. Ketiga paradigma tersebut adalah Paradigma agama, paradigma ilmu pengetahuan dan paradigma ideologi. Saya berfikir tidak ada yang salah dengan ketiga paradigma tersebut, hanya saja dalam prakteknya ketiga paradigma tersbut tidak dapat salaing mendukung melainkan justru malah saling bertentangan satu dengan yang lain. 

Paradigma adalah sebuah azas pandangan yang dianggap benar oleh sendirinya. Sehingga aktualisasi paradigma tersebut ditekankan pada metode bukan pada nilai yang terkandung di dalam masing2 muatan paradigma tersebut. Saya menduga bahwa kondisi ini terjadi oleh karena banyak orang yang tidak memahami nilai. Konsepsi-konsepsi yang dibangun dan digunakan sebagai kajian teoritis mereka hanya merupakan 'gelembung udara yang hampa'. Jadi saya berfikir para elit politik kita saat ini sedang melakukan lawakan dan berakting saja, karena mereka sesungguhnya tidak pernah tahu apa yang sedang mereka lakukan dalam politik dengan landasan konsep 'gelembung udara' yang mereka yakni sebagai kebaikan bagi kelompoknya dan bukan sebuah kebenaran yang hakiki.

Sehingga pada dasarnya bangsa in sudah gagal. Kenapa kita baru merasa bahwa kita sedang menuju kapada sebuah kegagalan? 

Pendidikan Sebagai Pondasi Pembangunan
Bangsa dan negara ini sudah gagal dalam mengelola dan menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya sendiri, karena kebebalan para manusia komparador para elit politik kita. Menurut hemat saya sudah saatnya kita berevolusi dengan mengganti para generasi tua yang hari ini mengacau dengan generasi muda yang lebih konkret memberikan solusi perubahan dalam kekacauan dalam masyarakat dan tidak hanya beretorika.

Pendidikan seyogyannya mampu membuka kesadaran bagi setiap insan yang berkecimpung didalamnya. Kesadaran ini harus pada sampai pada kesadaran diri setiap manusia sebagai hakikat kemanusiaan dan mendorong setiap manusia bertanggung jawab pada kemanusiaannya itu sendiri. Jadi pendidikan tidak penting apakah pendidikan itu formal atau tidak, akan tetapi lebih pada muatan pendidikan yang memang mengusung humanisasi. 



"Sesungguhnya, bentuk - bentuk pemerintahan dan pendidikan sangat tergantung pada kita manusia.
Masalah ini adalah yang paling sulit dan luar biasa pentingnya dewasa ini,
tetapi banyak orang mencari penyelesaian - penyelesaian yang mudah".
- L. O. Kattsoff -

 


Ngaglik - Yogyakarta, 21 Juni 2012
FX. Hengki Parahate


Artikel Opini :“MENABUNG POHON UNTUK MISI KEMANUSIAAN”

“MENABUNG POHON UNTUK MISI KEMANUSIAAN”
Tanpa kita sadari, dewasa ini keberlangsungan kehidupan kita telah terancam  diambang kehancurannya. Bumi yang dulu sebagai tempat kita hidup dan menjadi sumber penghidupan bagi kita, seolah tidak lagi bersahabat dengan kehidupan manusia. Berbagai fenomena alam sering terjadi akhir-akhir ini  seperti banjir, tanah longsor, tercemarnya laut, sedimentasi sungai, bahkan udara yang kita hirup telah terpolusi. Semua itu merupakan ancaman serius bagi kelangsungan kehidupan kita.
‘Kegersangan’ bumi yang tidak lagi mampu memberikan penghidupan bagi kehidupan manusia terbukti nyata dengan krisis yang sedang kita hadapi dewasa ini, yaitu krisis akan energi serta krisis akan ketahanan pangan bagi kita. Krisis akan energi serta akan pangan tersebut ditandai dengan semakin susahnya akses masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan energi dan kebutuhan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan saja kita harus tergantung dari impor. Sebagaimana di kutip dalam www.detik.com kamis, 03/01/2013, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor pangan di bulan November 2012 mencapai 1,8 juta ton atau senilai US$ 921 juta. Secara komulatif (Januari - November 2012) impor komoditas ini adalah 16 juta ton atau US$ 8,5 miliar atau Rp 80,75 triliun. Agustus, impor pangan mencapai 1,2 juta ton atau US$ 589 juta. September terus naik ke angka 1,5 juta ton atau US$ 743 juta dan bulan sebelumnya (Oktober), impor pangan tercatat 1,7 juta ton atau US$ 907 juta. Sedangkan dalam kontek krisis akan energi yang ditunjukan dengan tingkat konsumsi energi primer per kapita di Indonesia dalam lima tahun terakhir masih rendah dibandingkan rata-rata dunia, berfluktuasi 5,4  –  5,8 SBM dan  konsumsi energi final 2,0  –  3,0 SBM (Indonesia Energy Outlook ,2010). Bahkan akhir-akhir ini kita juga sedang mengalami kelangkaan akan ketersediaan gas LPG dan BBM. Untuk listrik saja, tingkat rasio eletrifikasi nasional hingga 2010 baru mencapai 67,20 persen, yang berarti belum semua masyarakat kita menikmati akan listrik.
Kondisi tersebut merupakan warning atas keberlangsungan kehidupan sekaligus tanggung jawab bagi kita saat ini demi kehidupan  generasi di masa yang akan datang. ‘Kegersangan’ bumi yang tidak lagi memberikan manfaat tetapi justru menjadi ancaman bagi kehidupan kita, merupakan dampak dari perlakuan kita yang kurang arif terhadap bumi dengan segala kekayaan alam yang ada didalamnya. Dimana telah terjadi pengeksploitasian kekayaan alam atas bumi kita secara berlebihan tanpa memperhatikan kelestariannya. Hutan sebagai sumber kekayaan alam dengan berbagai manfaatnya telah dikuras habis demi ekonomi. Banyak hutan dirusak demi kepentingan industri, pertanian liar yang berpindah-pindah, dan pembalakan liar. Hal ini menyebabkan kerusakan ekologi bumi yang luar biasa. Dan kerusakan ekologi inilah penyebab utama pemicu peningkatan pemanasan global.
Seperti kita ketahui dampak dari pemanasan global ini telah mengancam sendi-sendi kehidupan bagi manusia. Banjir, bencana tanah longsor, kekeringan, serta kekurangan air bersih di sejumlah wilayah di Indonesia merupakan bukti nyata ancaman bagi kelangsungan hidup kita dewasa ini. Lebih dari itu, dampak dari adanya pemanasan global ini dapat memicu terjadi konflik sosial akibat perubahan sumber daya lingkungan hidup serta akses untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik semakin sulit (Baca: Perspektif Baru Pembangunan untuk Menanggulangi Krisis Pangan dan Energi, IPB, 2008, hal; 46).

Dengan demikian, peran hutan menjadi penting dalam menyelamatkan kita dari degradasi kualitas kehidupan dewasa ini. Menurut laporan Badan Lingkungan PBB (United Nations Environment Program) berjudul “Green Economy”  yang dikutip dalam www.redaksihijau.com tanggal 14/06/2011, menyebutkan bahwa hutan adalah salah satu sektor penting untuk menciptakan ekonomi rendah karbon dan ekonomi hijau yang mampu memanfaatkan sumber daya secara efisien. Bahkan dalam laporan terbarunya, PBB menyebutkan, berinvestasi – walau dalam jumlah minimal – di sektor kehutanan, bisa mengurangi lebih dari separuh tingkat penggundulan hutan, menciptakan jutaan lapangan kerja baru dan membantu memerangi dampak perubahan iklim. Pada tahun 2007, menurut  buku laporan State of the World Forets, FAO (Food and Agriculture Organitation), Indonesia merupakan negara urutan ke-8 atas kepemilikan hutan alam terbesar di dunia, sekaligus negara urutan ke-2 dengan laju kerusakan hutan tertinggi dari sepuluh negara. Sepanjang tahun 2000-2005 laju kerusakan hutan kita telah mencapai 1,87 juta hektar.
Maka gerakan menabung pohon merupakan langkah nyata sebagai bentuk tanggung jawab dan keinsyafan kita atas perlakuan tamak kita terhadap bumi. Hal ini perlu dilakukan guna menyelamatkan kehidupan di masa sekarang dan kehidupan di masa yang akan datang, demi kamanusiaan itu sendiri. Kendati demikian, gerakan menabung pohon tidak semata dipahami sebagai pragmatisme penghijauan hutan dalam jumlah tertentu. Lebih dari itu, gerakan ini seyogyanya menjadi keterpanggilan kemanusiaan demi misi penyelamatan akan kehidupan bagi kita semua seluruh lapisan masyarakat dan juga pemerintah. Sehingga dibutuhkan sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam misi kemanusiaan ini. Sebab percuma saja bagi kita yang telah insyaf dan sadar untuk melakukan gerakan manabung pohon sekecil apapun itu, akan tetapi pemerintah sebagai regulator tidak mampu memberikan jaminan kelestarian bagi hutan kita melalui peraturan dan perundang-undangan yang ada. Secara politik, kerusakan hutan terjadi karena adanya perilaku politik aparatur negara baik di tingkat pusat maupun daerah dalam memberikan izin pengolahan hutan untuk kepentingan ekonomi. Maka ketika kesadaran gerakan menabung pohon itu telah tumbuh di kalangan masyarakat, bahkan pemerintah sendiri telah memberikan teladan dengan gerakan menanam satu miliyar pohon melalui kementrian kehutanannya, akan percuma ketika tidak ada peraturan dan kepastian hukum bagi mereka pelaku perusakan hutan kita.
Dengan demikian, gerakan menabung pohon ini merupakan tanggung jawab kita semua sebagai anak bangsa. Adalah tanggungjawab kita bersama guna memajukan kesejahteraan umum dengan meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi kita semua. Karena bumi adalah milik kita, segala kekayaan yang ada didalamnya dikelola sedemikian rupa sebagaimana diatur dalam konstitusi UUD 1945 demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Maka gerakan manabung pohon merupakan bagian integral pembangunan ‘hijau’ yang tentunya akan lebih menjamin kesejahteraan di masa depan. Mari kita gemakan di seluruh pelosok negeri hingga ke seluruh penjuru dunia demi kehidupan dan kemanusiaan!.

Yogyakarta, 10 Mei 2013
FX. Hengki Parahate





Artikel Opini :Partai Politik dan Pembangunan

Partai Politik dan Pembangunan
Sebagaimana telah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke – IV, salah satu tujuan adalah menciptakan kesejahteraan umum bagi seluruh takyat Indonesia dengan berdasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada dasarnya pembangunan itu sendiri meliputi pembangunan dalam aspek ekonomi, aspek sosial serta aspek politik. Maka tolok ukur untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari tingkat kualitas kehidupan ekonomi, sosial maupun politik dari masyarakat yang ada.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham welfare state, hendaknya mengatur sedemikian rupa sistem dan perangkat penyelenggaraan negara guna mendorong pencapaian tujuan dari pembangunan itu sendiri. Oleh Karena itu, sistem dan perangkat penyelenggaraan negara baik dalam bentuk sistem pemerintahan, hukum dan lembaga kenegaraan harus dapat menunjang bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Dengan melihat situasi dan perkembangan pembangunan dewasa ini, nampaknya kualitas pembangunan di negara kita ini masih rendah. Pembangunan itu sendiri pada dasarnya meliputi pebangunan pada aspek ekonomi maupun sosial-politik. Maka tanpa mengesampingkan peran penting pembangunan pada aspek ekonomi yang ada, pembangunan demokrasi sebagai bagian pembangunan nasional pada aspek sosial-politik , kiranya menjadi isu yang amat penting dewasa ini. Ya, sadar atau tidak sadar sistem demokrasi yang telah berhasil diperjuangkan pasca  reformasi, kini tidak cukup memberikan angin perubahan pada peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Demokrasi yang kita capai ini tidak dipahami secara benar dan semestinya.
Sebagaimana kita ketahui  akhir-akhir ini tentang  adanya wacana pembubaran partai politik. Isu ini berkembang seiring sejalan dengan semakin banyaknya  beberapa kasus besar korupsi yang menjerat para petinggi partai yang terkuak. Dari kasus Hambalang yang menyeret nama Nazarudin, Angelina sondakh, Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum, dimana semua itu merupakan politisi dan petinggi partai demokrat. Sedangkan kasus paling terkini adalah kasus suap impor daging yang menyeret nama mantan presiden PKS Lutfi Hasan Isqak serta Ahmad Fatanah. Namun perilaku korupsi para kader partai politik di Indonesia tidak hanya menjangkiti kedua partai tersebut, hampir sebagian besar partai politik yang ada saat ini juga terjangkiti perilaku korup tersebut. Hanya waktu dan soalnya saja yang membedakan, serta ada tidaknya kesempatan. Dan kesempatan untuk melakukan korupsi itu identik dengan adanya kekuasaan. Hampir tidak mungkin rasanya bagi kita untuk menemukan partai politik yang benar-benar bersih sepak terjangnya dalam sistem perpolitikan kita dewasa ini.
Kondisi demikian merupakan siyalemen yang menunjukan kepada kita akan  kemunduran demokrasi. Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang ada, selama ini telah menunjukan perilaku kontra-produktif akan cita –cita demokrasi yaitu memajukan kepentingan rakyat melalui kekuasan dari rakyat, oleh rakyat dan kepada rakyat. Namun, dalam era demokrasi yang berkembang dewasa ini, partai politik kurang merepresentasikan kepentingan rakyat selain kepentingan golongan atau kelompok untuk mencapai kekuasaan. Rakyat tak lebih sebagai komoditas politik semata.
Lebih dari itu, partai politik dewasa ini tidak memiliki urat malu. Lihat saja reaksi para petinggi partai-partai politik menghadapi aksi yang dilakukan KPK dalam pengusutan kasus korupsi yang menimpa kader partai politik  yang bersangkutan. Pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonya seperti tidak berlaku bagi partai politik. Dengan berbagai upaya mereka bersikeras menunjukan bahwa perilaku korup kadernya lebih merupakan persoalan orang – perorang, melemparkan tanggung jawab moral partai atas kewajiban membentuk serta menjaga moralitas para kadernya sebagai organisasi secara utuh. Mereka menggunakan hukum sebagai jalur untuk membela kebenaran menurut mereka sendiri.
Demikanlah kiranya kebenaran itu bagi masyarakat awam seperti kita yang sangat bertolak belakang dengan kebenaran menurut partai politik kebanyakan tentang  hakikat partai politik. Gila akan kekuasaan dan berperilaku korup merupakan dua hal yang erat berasosiasi dengan entitas partai politik saat ini. Itulah kebenaran bagi rakyat. Sedang  kebenaran bagi partai politik adalah perlindungan akan eksistensi partai meski berperilaku korup dengan dalih demokrasi. Maka sesungguhnya memang terjadi ketidaktersambungan antara partai politik  dengan  rakyat secara signifikan dalam membangun demokrasi, sebaliknya partai tak lebih dari sebuah kebohongan demokrasi bagi rakyat. Inilah wajah demokrasi kita adanya.
Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia, perlu adanya upaya pembangunan demokrasi yang semestinya dengan merubah mindset dan budaya dari partai politik yang ada saat ini tentang kebenaran akan demokrasi. Dimana rakyat adalah substansi dari sistem demokrasi tersebut. Namun kebenaran saat ini adalah kepunyaan mereka yang memiliki kekuasaan bukan kepunyaan rakyat karena rakyat sendiri tidak memiliki kekuasaan. Inilah bangunan demokrasi berlandaskan kebenaran kekuasaan sehingga rakyat tidak lagi menjadi bagian substansi melainkan bagian yang tersubordinat dari  kekuasaan politik dan hanya merupakan komoditas politik. Maka usaha ini tentunya tidak akan mudah tercapai dalam waktu yang singkat.
Perubahan mindset atau cara berfikir parpol tentang demokrasi dapat terwujud apabila setiap partai politik yang ada saat ini dapat merombak segala perilaku dan budaya partai yang cenderung feodalistis patronis. Berbicara PDIP tentu maka Megawati Soekarno Putrilah sebagai titik sentral setiap kebijakan dan sikap partai. Demikianhalnya  dengan Partai Demokrat, SBY-lah sang aktor utama dari setiap kebijakan dan sikap partai tersebut. Kondisi inilah yang menyebakan mesin regenerasi partai politik cenderung macet, sehingga partai politik tidak progresive sebagai penggerak dalam pembangunan demokrasi kita.
Dengan demikian, ditengah gencaran wacana pembubaran akan partai politik yang berperilakuk korup dewasa ini, serta menjelang persiapan pesta demokrasi untuk menentukan para calon wakil rakyat dan presiden pada 2014 mendatang, hendaknya partai politik menginsyafkan diri dengan melakukan berbagai upaya perbaikan dan pembenahan sistem partai yang rusak, daripada hanya melakukan manuver-manuver politik untuk pencitraan. Semoga.
FX. Hengki Parahate
Ngaglik, Jogjakarta, 2013



ArtikelOpini :Mahasiswa dan Perubahan Sosial

Mahasiswa dan Perubahan Sosial
Sedih rasanya akhir-akhir ini bila kita melihat aksi-aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di beberapa wilayah di Indonesia, yang selalu berkahir ricuh bahkan bersifat destruktif terhadap fasillitas umum. Kesedihan ini muncul karena menyayangkan tindakan para mahaiswa sebagai kaum intelektual tapi telah menunjukan perilaku yang jauh dari kesan intelektual.
Persoalanya adalah bukan ketidaksetujuan pada aksi-aksi demontrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa dalam menolak kebijakan publik yang cenderung tidak berpihak pada rakyat, akan tetapi ketidaksetujuan itu muncul untuk menolak gerakan demontrasi yang bersifat destruktif. Maka perlu dipahami bahwa kebebasan dalam berdemokrasi dewasa ini, bukan pengaktrualisasian  kebebasan tanpa memperhatikan ketertiban umum. Ini menjadi penting untuk kita, guna menunjukan bahwa demokrasi pada dasarnya bukanlah kebebasan individu/kelompok tertentu yang dilindungi melainkan kepentingan rakyat banyak.  Banyak dari kita baik sebagai politisi, pejabat pemerintahan, dan mahasiswa yang kadang salah kaprah dalam menafsirkan demokrasi dewasa ini.
Namun demikian, masih beryukur rasanya bagi kita dengan adanya aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menolak dan mengkritisi kebijakan publik yang tidak merakyat tersebut. Dengan hal itu setidaknya masih menunjukan kepada kita akan harapan di masa depan untuk bisa dikelola oleh mereka yang memang peduli dan memahami persolaan bangsa, yaitu kepada mahasiswa. Ditengah hegemoni globalisasi masih ada sebagian anak muda yang adalah mahasiswa masih memiliki kesadaran untuk berfikir dan mengkritisi situasi negaranya. Paling tidak agen perubahan yang tersemat dalam identitas intelektual mahasiswa bukan sebagai isapan jempol belaka di masa sekarang ini.
Dalam perjalanan sejarah panjang bangsa ini, mahasiswa memiliki peran strategis dalam menentukan arah perubahan bangsa dan negara dalam kapasitasnya sebagai golongan intelektual. Munculnya organisasi – oraganisasi pergerakan nasional seperti Boedi Utomo, Perhimpunan Indonesia dan sebagainya merupakan manifestasi kaum intelektual pertama pribumi seperti Soekarno, Moh. Hatta, dr. Soetomo, Sutan Syahrir dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tergulingnya rezim demokrasi terpimpin Sokearno pada akhir tahun 1965 hingga rezim orde baru pada akhir 1998, merupakan bukti nyata peran kaum intelktual (mahasiswa) dalam membawa angin perubahan nasional. Dengan demikian semakin kita sadari betapa penting peran kaum intelektual dalam pembangunan bangsa saat ini dan di masa yang akan datang.
Reorientasi Kaum Intelektual
Melihat perkembangan pembangunan dewasa ini, paling tidak setelah 15 tahun reformasi kondisi kehidupan bangsa ini belum juga sejahtera. Patut dipahami bahwa pembangunan tidak sebatas pada pencapaian kestabilan ekonomi secara statistik, akan tetapi lebih luas mencakup sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam segala hal, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun politik. Fakta dilapangan menunjukan bahwa, kemiskinan, kriminalistas, kekerasan sosial, korupsi para pejabat publik masih masih tumbuh subur di bumi Indonesia kita tercinta ini. Dalam kondisi demikianlah peran kaum intelektual (mahasiswa) yang adalah kaum terdidik itu sendiri seharusnya menggenapi keterpanggilan sebagai agen perubahan, tentunya dengan tata cara yang santun.
Ditengah gerusan budaya hedon dan materialistik dalam segala sendi kehidupan termasuk dalam pendidikan dewasa ini, hendaknya mahasiswa tidak terjerumus didalam pusaran tersebut. Maka  hendaknya kampus dapat dijadikan sebagai ruang ideologisasi kebangsaan, bukan hanya sekedar ‘bank’ pengetahuan. Kampus merupakan ruang radikalisasi kaum intelektual dalam mengoperasionalisasikan segala macam teori yang diterima oleh mahasiswa dalam mengkritisi persoalan kebangsaan yang ada. Ini yang dinamakan dengan kaum intelektual (mahasiswa) organik yang bersifat elastis terhadap situasi sosial yang berkembang, bukan kaum intelektual (mahasiswa) robot atau dalam bahasa gaul hari ini disebut mahasiwa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang).
Pendidikan merupakan gerakan humanisasi, maka kesadaran akan panggilan kemanusiaan dalam agen perubahan bagi setiap mahasiswa bagi setiap kaum intelektual adalah sebuah keniscayaan. Menurut Pramoedya Ananta Toer, setiap kaum terpelajara harus bersikap adil sejak mulai dalam pikiran, apalagi dalam sikap praksisnya. Maka sebagai mahasiswa, sebagai golongan terdidi, golongan terpelajar dari golongan masyarakat kita yang masih belum terdidik, menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai kaum terdidik untuk memimpin mereka menuju masa kebahagiaan bagi manusia Indonesia sekarang dan di masa yang akan datang. Inilah tugas mulia kita sebagai mahasiswa. Viva Mahasiswa Indonesia.
FX. Hengki Parahate

Ngaglik, Jogjakarta, Mei 2013

ArtikelOpini :Pendidikan Yang Berpijak

Pendidikan merupakan sebuah sistem budaya yang berkembang dalam masyarakat yang beradab. Ada tiga cara pandang untuk dapat memahami arti pendidikan dalam keberadaannya bagi peradaban manusia dewasa ini. Pertama, secara definitif pendidikan dipandang sebagai budaya ilmiah yang begitu erat kaitanya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga orientasi nilai yang berkembang adalah nilai kebenaran secara ilmiah. Kedua, secara operasional pendidikan dipandang sebagai kegiatan belajar – mengajar, dimana orientasi nilai yang dituju adalah soal pemahaman secara konseptual melalui proses pengajaran. Yang ketiga, secara filosofis pendidikan dipandang sebagai gerakan budaya humanisasi, dimana orientasi nilai yang hendak dicapai adalah kemanusiaan dengan segala nilai yang ada didalamnya.
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, karena pendidikan akan menentukan bagaimana corak peradaban manusia yang ada. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai output yang dihasilkan dalam proses pendidikan sangat membantu proses peradaban kemanusiaan yang lebih maju. Secara faktual dapat kita lihat dalam sejarah perkembangan masyarakat dunia pada tahun 1750-1850, dimana dalam periode tahun itu merupakan periode awal tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong terjadinya revolusi industri  di Inggris. Perubahan modernisasi tersebut kahirnya telah menjalar hingga ke seluruh dunia dan betapa hebatnya hasil gerakan modernisasi tersebut seperti yang dapat kita rasakan sekarang ini. Berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi dapat kita nikmati saat ini dan begitu bergunanya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Tiga Isu Sentral
Namun demikian, dalam era post-modernisasi ini muncul berbagai persoalan seperti peperangan, kelestarian alam, dan keadilan yang mewarnai corak kehidupan peradaban manusia. Sebagaimana kita ketahui bersama, meski zaman kolonialisasi di dunia telah berakhir, tetapi dunia yang kita tempati ini belum dalam suasana damai. Masih banyak merebak kasus peperangan saudara, invasi negara ke negara lain dengan berbagai macam alasan yang terjadi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memilki andil besar dalam kondisi ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan untuk menciptakan senjata supercanggih seperti senjata nuklir  dalam perang dewasa ini.
Disamping itu, saat ini keberadaan manusia juga sangat terancam oleh adanya berbagai bencana alam yang melanda hampir seluruh negara di dunia dalam berbagai macam bentuk dan jenisnya. Kondisi ini merupakan akibat rusaknya keseimbangan ekologi alam oleh karena proses eksploitasi alam yang tidak memperhatikan kelestariannya. Perlombaan pencapaian pertumbuhan ekonomi negara-negara di  dunia dengan melakukan pengeksploitasian alam secara berlebihan demi keuntungan ekonomi tersebut telah membawa petaka bagi perdaban umat manusia. Inilah bukti nyata dari kesesatan ilmu ekonomi dan teknologi dalam dewasa ini.
Lebih dari itu, peradaban manusia di zaman ini juga dipenuhi dengan corak kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan. Ditengah kemajuan pembangunan ekonomi, serta kelimpahan kekayaan alam yang ada, namun di sisi lain masih banyak terdapat warga penduduk di belahan dunia manapun yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan bahan makanan.  Hal ini menunjukan betapa segala sumber daya yang mendukung bagi kehidupan setiap manusia dan tersedia di dunia, telah dikuasi oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan modal dan kuasa. Padahal setiap manusia berhak untuk dapat hidup secara layak. Inilah tanda – tanda hancurnya peradaban kemanusiaan dengan segala nilai yang ada didalamnya. Manusia dewasa ini terlihat sebagai ‘homo homini lupus’ dan kehilangan nurani dan akal budi yang sehat.
Persiapkan Masa Depan
Demikianlah kiranya situasi peradaban manusia dewasa ini. Di tengah kegemilangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu kita agungkan, ternyata telah menghantarkan peradaban manusia kepada jurang kehancuran. Maka, dalam konteks inilah pendidikan sebagai segala sumber ilmu pengetahuan dan teknologi yang berpengaruh dalam menentukan kelangsungan hidup peradaban manusia, hendaknya harus dimaknai secara tepat.
Berdasarkan ketiga cara pandang di atas, cara pandang secara filosofis merupakan cara pandang yang paling tepat dalam memahami hakekat dari sebuah pendidikan. Dalam segala bentuk dan jenisnya, hendakya pendidikan harus mengutamakan kemanusiaan dengan segala nilai yang terkandung didalamnya. Sebab, pendidikan tidaklah akan berarti jika tidak memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas kehidupan manusia. Maka semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat suatu negara, belum tentu semakin beradab pula masyarakat tersebut. Semua bergantung dari cara dan bagaimana kita memahami dan menghidupi pendidikan itu sendiri. Tantanganya adalah bagaimana mengupayakan keberlangsungan peradaban kemanusiaan kita secara bermartabat dan berkeadilan.
FX. Hengki Parahate

Jogjakarta, Mei 2013