Tuesday, 14 June 2016

Artikel Opini :Kebangkitan Nasional dalam Gerusan Globalisasi

Kebangkitan Nasional dalam Gerusan Globalisasi
Tanggal 20 Mei 1908 merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Momentum tersebut dianggap penting karena menjadi pioner yang meletakan dasar kesadaran nasional dalam gerakan perjuangan kemerdekaan, mengingat corak gerakan perjuangan kemerdekaan sebelumnya masih bersifat sporadis dan kedaerahan. Inilah awal lahirnya semangat kebangkitan nasional melawan rezim penindasan  kolonialisme dan imperalisme Belanda yang telah mencapai puncak kejayaannya pada pencapaian proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Namun demikian, didalam era pembangunan dewasa ini momentum 20 Mei kehilangan kekuatan magisnya. Semangat kebangkitan nasional tidak lagi menjadi dasar perjuangan pembangunan dewasa ini. Ia hanya menjadi agenda ritual peringatan sejarah setiap tahunnya, dan gerusan arus globalisasi yang semakin mengakar dan membudaya dalam sendi kehidupan kita.
Globalisasi merupakan gerakan liberalisasi yang mencakup sektor perdagangan dan sektor keuangan. Melalui lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organitation (WTO), mengatur sedemikian rupa sistem perdagangan dan sistem keuangan internasional yang semata-mata demi kepentingan kapitalisme. Melalui korporasi-korporasi internasional berskala besar (MNCs/TNCs) telah menguasai lahan-lahan pertambangan dan mineral startegis di berbagai negara tak terkecuali Indonesia. Banyak negara maju seperti Amerika dengan sekutunya mendukung globalisasi ini, namun tidak sedikit pula negara-negara di dunia yang juga menolak kehadiran globalisasi bagi bangsanya, seperti Venezuela dan Kuba karena globalisasi lebih memberikan dampak negatif daripada positifnya.
Terlepas dari pro dan kontra atas globalisasi tersebut, nampaknya Indonesia merupakan negara yang tidak sepenuhnya menyatakan secara tegas mendukung maupun menolak kehadiran globalisasi. Namun demikian, setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan dalam berbagai bidang lebih cenderung berpihak pada kepentingan modal dibanding rakyat, seperti UU  No.1 Tahun 1967 tentang  Penanaman Modal Asing, UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara,  UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kurang menjamin kesejahteraan bagi buruh dengan adanya sistem kontrak, dan UU No. 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang meski sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2010 tetap memberikan praktek diskriminasi pendidikan bagi masyarakat kita. Inilah karakter bangsa kita, sebagai bangsa komparador.
Berdasarkan laporan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal 2012 dalam periode Januari – September 2012 realisasi nilai PMA mencapai 71,4 persen atau senilai Rp. 164,2 triliun lebih besar dari PMDN yang hanya mencapai 28,6 persen atau senilai Rp. 65,7 triliun di berbagai sektor. Hal ini menunjukan bahwa betapa besarnya kita bergantung pada modal asing dibanding modal dalam negeri sendiri sebagai penggerak bagi pembangunan.
Setidaknya ada PT. Freeport McMoran, PT. Newmont Nusa Tenggara dan Minahasa Raya asal Amerika yang menguasai tambang emas di Indonesia. PT. Exxon dan ChevronTexaco asal Amerika menguasai migas di Riau dan di Blok Cepu hingga Geothermal di Jawa Barat. China dengan CNOOC SES Ltd  yang menguasai penambangan minyak di Kepulauan Seribu hingga Brasil dengan PT. INCO-nya yang menguasai pertambangan timah di Sorowako Sulawesi selatan. Dan dari sistem kontrak karya tersebut, saham yang dimiliki Indonesia hanya sebagian kecil saja dan tidak banyak diuntungkan. Dalam kasus kontrak karya dengan Freeport, kepemilikan saham sepenuhnya dikuasai oleh Amerika sebesar 81,28 persen, PT. Indocopper Investama 9,36 persen dan Pemerintah Indonesia sebesar 9,36 persen saja.
Masa depan di tangan kita sendiri
Demikianlah kiranya globalisasi telah menjadi batu sandungan daripada peluang bagi pembangunan kita. Saat ini rakyat telah dihadapkan pada kondisi krisis akan pangan dan  energi serta kerusakan ekologi dewasa ini. Inilah ironi pembangunan di era modernisasi yang suka tidak suka harus kita akui sebagai negara yang sebenarnya kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini terjadi sebagai akibat dimana kita lebih menggantungkan nasib kita kepada pihak asing dibanding kekuatan bangsa sendiri.
Dalam kerangka inilah, momentum peringatan HUT Kebangkitan Nasional ke – 105 tahun pada 20 Mei 2013 ini, hendaknya mengingatkan kembali arah dan dasar perjuangan pembangunan bangsa kita ditengah hegemoni globalisasi yang semakin kuat menggerus ekonomi maupun budaya kita. Hendaknya kita disadarkan oleh amanat penderitaan rakyat dalam riwayat kesejarahan kita sebagai dasar pembangunan kesejahteraan bangsa dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita kaya akan sumber daya alam serta bisa mengelolanya sendiri.
Untuk itu diperlukan upaya pembangunan semangat persatuan dan kesatuan dalam semangat nasionalisme bangsa ditengah keberagaman budaya, adat, suku dan agama. Selanjutnya upaya pemutusan kontrak karya atas pengelolaan sumber daya alam kita dari penguasaan asing bukan lagi moratorium. Dan untuk itu semua, yang dibutuhkan adalah seorang negarawan bukan seorang politikus. Sebab “nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat,  akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan; nasionalis yang menerima rasa nasionalisme itu sebagai wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti”, kata Soekarno  dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Jayalah Indonesia.



Ngaglik, 14 Mei 2013-05-23

FX. Hengki Parahate

No comments:

Post a Comment