Kebangkitan
Nasional dalam Gerusan Globalisasi
Tanggal 20 Mei 1908
merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Momentum tersebut dianggap penting
karena menjadi pioner yang meletakan dasar
kesadaran
nasional dalam
gerakan perjuangan
kemerdekaan, mengingat corak gerakan perjuangan kemerdekaan
sebelumnya masih bersifat sporadis dan kedaerahan. Inilah awal lahirnya
semangat kebangkitan nasional melawan rezim penindasan kolonialisme dan imperalisme Belanda yang
telah mencapai puncak kejayaannya pada pencapaian proklamasi kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945.
Namun demikian, didalam
era pembangunan dewasa ini momentum 20 Mei kehilangan kekuatan magisnya. Semangat kebangkitan nasional tidak
lagi menjadi dasar perjuangan pembangunan dewasa ini. Ia hanya menjadi agenda ritual
peringatan sejarah setiap tahunnya, dan gerusan arus globalisasi yang semakin mengakar dan membudaya dalam
sendi kehidupan kita.
Globalisasi merupakan gerakan
liberalisasi yang mencakup sektor perdagangan dan sektor keuangan. Melalui
lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia (World Bank), International
Monetary Fund (IMF) dan World Trade Organitation (WTO), mengatur
sedemikian rupa sistem perdagangan dan sistem keuangan internasional yang
semata-mata demi kepentingan kapitalisme. Melalui korporasi-korporasi
internasional berskala besar (MNCs/TNCs) telah menguasai lahan-lahan
pertambangan dan mineral startegis di berbagai negara tak terkecuali Indonesia.
Banyak negara maju seperti Amerika dengan sekutunya mendukung globalisasi ini,
namun tidak
sedikit pula negara-negara
di dunia yang juga menolak kehadiran globalisasi bagi bangsanya, seperti
Venezuela dan Kuba karena globalisasi lebih memberikan
dampak negatif daripada positifnya.
Terlepas dari pro dan kontra
atas globalisasi tersebut, nampaknya Indonesia merupakan negara yang tidak
sepenuhnya menyatakan secara tegas mendukung maupun menolak kehadiran
globalisasi. Namun demikian, setiap kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan
dalam berbagai bidang lebih cenderung berpihak pada kepentingan modal dibanding
rakyat, seperti UU No.1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, UU Nomor 4 tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kurang menjamin kesejahteraan
bagi buruh dengan adanya sistem kontrak, dan UU No. 9 Tahun 2009 Badan Hukum Pendidikan
(BHP) yang meski
sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2010 tetap memberikan praktek
diskriminasi pendidikan bagi masyarakat kita. Inilah karakter bangsa kita,
sebagai bangsa komparador.
Berdasarkan laporan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman
Modal 2012 dalam periode Januari – September 2012 realisasi nilai PMA mencapai
71,4 persen atau senilai Rp. 164,2 triliun lebih besar dari PMDN yang hanya
mencapai 28,6 persen atau senilai Rp. 65,7 triliun di berbagai sektor. Hal ini
menunjukan bahwa betapa besarnya kita bergantung pada modal asing dibanding
modal dalam negeri sendiri sebagai penggerak bagi pembangunan.
Setidaknya ada PT. Freeport McMoran, PT. Newmont Nusa Tenggara
dan Minahasa Raya asal Amerika yang menguasai tambang emas di Indonesia. PT.
Exxon dan ChevronTexaco asal Amerika menguasai migas di Riau dan di Blok Cepu
hingga Geothermal di Jawa Barat. China dengan CNOOC SES Ltd yang menguasai penambangan minyak di Kepulauan
Seribu hingga Brasil dengan PT. INCO-nya yang menguasai pertambangan timah di
Sorowako Sulawesi selatan. Dan dari sistem kontrak karya tersebut, saham yang
dimiliki Indonesia hanya sebagian kecil saja dan tidak banyak diuntungkan.
Dalam kasus kontrak karya dengan Freeport, kepemilikan saham sepenuhnya
dikuasai oleh Amerika sebesar 81,28 persen, PT. Indocopper Investama 9,36
persen dan Pemerintah Indonesia sebesar 9,36 persen saja.
Masa depan di tangan kita sendiri
Demikianlah kiranya globalisasi telah menjadi batu
sandungan daripada peluang bagi pembangunan kita. Saat ini rakyat telah
dihadapkan pada kondisi krisis akan pangan dan
energi serta kerusakan ekologi dewasa ini. Inilah ironi pembangunan di
era modernisasi yang suka tidak suka harus kita akui sebagai negara yang
sebenarnya kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini terjadi sebagai akibat dimana
kita lebih menggantungkan nasib kita kepada pihak asing dibanding kekuatan
bangsa sendiri.
Dalam kerangka inilah, momentum peringatan HUT Kebangkitan
Nasional ke – 105 tahun pada 20 Mei 2013 ini, hendaknya mengingatkan kembali arah
dan dasar perjuangan pembangunan bangsa kita ditengah hegemoni globalisasi yang
semakin kuat menggerus ekonomi maupun budaya kita. Hendaknya kita disadarkan
oleh amanat penderitaan rakyat dalam riwayat kesejarahan kita sebagai dasar
pembangunan kesejahteraan bangsa dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kita kaya akan sumber daya alam serta bisa mengelolanya sendiri.
Untuk itu diperlukan upaya pembangunan semangat
persatuan dan kesatuan dalam semangat nasionalisme bangsa ditengah keberagaman
budaya, adat, suku dan agama. Selanjutnya upaya pemutusan kontrak karya atas
pengelolaan sumber daya alam kita dari penguasaan asing bukan lagi moratorium. Dan
untuk itu semua, yang dibutuhkan adalah seorang negarawan bukan seorang
politikus. Sebab “nasionalis yang sejati,
yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari
nasionalisme Barat, akan tetapi timbul
dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan; nasionalis yang menerima rasa
nasionalisme itu sebagai wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti”,
kata Soekarno dalam buku Di Bawah
Bendera Revolusi. Jayalah Indonesia.
Ngaglik,
14 Mei 2013-05-23
FX.
Hengki Parahate
No comments:
Post a Comment